16 Juni 2008

PP 02/2008 Marjinalkan Masyarakat Lokal

*Soal Izin Penambangan di Hutan Lindung

Oleh FRANS OBON

Ketika Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono meneken Peraturan Pemerintah Nomor 02/2008 tanggal 4 Februari 2008 yang memberi ijin kepada korporasi untuk menambang di hutan lindung, sudah bisa dibayangkan dampak negatifnya akan ditanggung oleh masyarakat lokal. Inilah contoh konkret tata kelola hutan yang meminggirkan rakyat lokal namun mereka dipaksa untuk menerima dampak buruk dari keputusan pemerintah yang mengijinkan perusahaan tambang melakukan penambangan di kawasan hutan lindung.

Kesan umum akan segera terlihat bahwa pemerintah pusat tidak memperhitungkan risiko bagi masyarakat lokal. Karena bagaimanapun Jakarta tidak akan pernah merasakan langsung dampak kerusakan kawasan hutan lindung, namun sebaliknya masyarakat lokal akan menerima kerugiaan materiil dan immateriil dari bencana ekologis yang ditimbulkan dari eksplorasi pertambangan.
Dari keputusan ini juga akan segera tampak pula bahwa pemerintah pusat yang memiliki kewenangan dalam menetapkan batas kawasan hutan lindung dan kewenangan memberikan ijin bagi korporasi untuk melakukan pertambangan hampir tidak memperhitungkan kepentingan masyarakat lokal. Padahal masyarakat lokal ketika penetapan kawasan hutan lindung oleh pemerintah memberikan persetujuannya karena juga menyadari pentingnya keseimbangan ekologis, senafas dan sejalan dengan kearifan lokal mereka mengenai pentingnya memelihara relasi harmonis antara manusia dan alam.
Tampak dengan jelas bahwa dengan keputusan ini pemerintah meninggalkan konsep community development dalam pembangunan sektor kehutanan, menggantikannya dengan kekuasaan “tunggal” pemilik modal. Tetapi risiko penambangan tidak dipikul oleh korporasi, melainkan dipikul masyarakat lokal. Ibarat manisnya diambil perusahaan tambang, ampasnya tersisa untuk masyarakat setempat.
Dengan ditekennya Peraturan Pemerintah No. 02/2008 oleh Presiden Yudhoyono, ini berarti pula pemerintah hanya mementingkan fungsi ekonomis hutan. Demi penerimaan negara bukan pajak, pemerintah memberikan ijin penambangan di kawasan hutan lindung melalui sistem kompensasi sebesar Rp1,2 juta hingga Rp3 juta per hektare per tahun atau satu meter luas hutan lindung dihargai Rp300. Memang ada kompensasi lain yang akan dipungut negara, namun tidak sebanding dengan daya rusak hutan lindung oleh perusahaan penambang.
Undang-Undang No. 41/1999 tentang Kehutanan sebagaimana tertuang dalam pasal 38 ayat (4) menyebutkan bahwa, “Pada kawasan hutan lindung dilarang melakukan penambangan dengan pola pertambangan terbuka”. Undang-undang ini sudah menjamin keamanan masyarakat lokal (sekitar kawasan hutan lindung) dari bencana ekologis.
Hutan lindung yang didefinisikan sebagai kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai sistem perlindungan, sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, dan memelihara kesuburan tanah diberikan ijin oleh pemerintah pusat untuk dieksplorasi. Meski UU No. 41/1999 tentang Kehutanan melarang melakukan penambangan di hutan lindung, namun Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perpu) No 1 Tahun 2004 yang disahkan menjadi UU No. 19/2004 menjadi dasar pijak bagi pemerintah memberikan ijin bagi 13 perusahaan tambang untuk menambang di kawasan hutan lindung. Hak uji materiil ke Mahkamah Konstitusi (MK) oleh aktivis pencinta lingkungan akhirnya kandas karena MK menolak gugatan ini dalam putusan judicial review.
Pengalihan fungsi kawasan hutan lindung untuk pertambangan memberikan implikasi serius bagi masyarakat lokal.
Pertama, hancurnya fungsi hutan lindung sebagai penyeimbang hidrologis, ekologis dan penyanggah keberagaman hayati. Perambahan hutan lindung oleh masyarakat di beberapa daerah telah menimbulkan bencana ekologis dengan daya rusak yang besar. Bencana banjir tidak terkendali, longsor menimbulkan korban jiwa dan kerugian material tidak sedikit. Pemerintah juga mesti menggelontorkan dana bantuan bencana triliunan rupiah. Dana rehabilitasi pasca bencana jauh lebih besar daripada dana kompensasi yang diterima. Negara di satu sisi mau mendapatkan dana dari usaha penambangan, tetapi di sisi lain anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) disedot triliunan untuk membiayai program rehabilitasi pasca bencana.
Mengingat kerusakan yang ditimbulkan aktivitas penambangan sangat masif, maka dampak pertambangan yang dipikul masyarakat lokal akan jauh lebih besar pula. Memulihkan kembali kawasan hutan lindung, mengembalikan keseimbangan ekologis dalam kehidupan masyarakat lokal membutuhkan jangka waktu yang panjang. Dengan kata lain, bukanlah urusan mudah untuk mengembalikan fungsi hutan ke posisi semula. Bencana tanah longsor secara langsung berkaitan dengan hilangnya daerah resapan air akibat pembabatan hutan.
Kedua, keadilan antargenerasi dan keadilan ekologis. Kerusakan hutan lindung akibat pertambangan membuat kita mesti memikirkan ulang konsep keadilan antargenerasi. Generasi sekarang memiliki tanggung jawab terhadap generasi berikutnya. Adalah suatu bentuk ketidakadilan antargenerasi, dan secara moral tidak dapat dibenarkan bahwa kita mewariskan hutan yang rusak kepada generasi berikutnya atau anak cucu kita. Kemiskinan yang diderita generasi ini akibat bencana alam akan dirasakan dampaknya oleh generasi berikutnya. Sumber daya masyarakat lokal tersedot oleh bencana. Daya rusak yang hebat yang ditimbulkan bencana tanah longsor dan bencana alam lainnya akan merugikan masyarakat setempat secara ekonomis dan budaya. Kemiskinan yang ditimbulkan oleh bencana, misalnya akan berdampak pada lemahnya daya beli masyarakat, kehilangan daya saing ekonomi, dan ketiadaan biaya pendidikan anak-anak. Ini sama artinya kita sedang menciptakan kesenjangan antargenerasi dan menciptakan ketidakadilan.
Selain keadilan antargenerasi, pengalihan fungsi hutan lindung ke fungsi ekonomis mengharuskan kita juga berbicara mengenai keadilan ekologis. Kita memiliki kewajiban moral untuk menjaga kelestarian hutan lindung sebagai penyanggah kehidupan, pengatur tata air, dan keanekaragaman hayati. Secara moral kita diwajibkan untuk bertindak adil dengan alam.
Ketiga, janji manis korporasi pertambangan sekaligus munculnya gagasan tanggung jawab sosial korporasi terhadap masa depan keseimbangan ekologis hanyalah janji dan isapan jempol belaka. Belum ada bukti otentik bahwa korporasi pertambangan sukses merehabilitasi hutan akibat pertambangan, selain meninggalkan kerusakan lingkungan. Laporan manis rehabilitasi pasca penambangan akan menyenangkan pihak tertentu, tetapi dampak langsung akan dirasakan masyarakat lokal. Sebab bagaimanapun dampak pertambangan berupa lubang tambang, air asam tambang, dan limbah tailing akan tetap menjadi ancaman kelestarian ekosistem dan keamanan masyarakat setempat. Kasus Buyat adalah contoh konkret bagaimana dampak pertambangan terhadap kehidupan dan keamanan masyarakat lokal.
Keempat, pertambangan akan menimbulkan bencana ekologis yang besar. Kalau sebuah daerah hutan lindung dibuka, maka kawasan pertambangan itu akan sulit dipulihkan kembali. Kondisi ini akan berpotensi menimbulkan bencana ekologis bagi masyarakat di sekitar kawasan hutan.
Di beberapa daerah, longsoran, banjir, dan bencana ekologis lainnya telah memaksa masyarakat setempat meninggalkan tanah kelahiran mereka melalui program relokasi. Program ini seringkali gagal karena masyarakat enggan berpindah dari kampung halaman mereka. Kendati mereka sadar bahwa dengan tidak bersedia pindah dari lokasi bencana, setiap tahun nyawa mereka terancam pada musim hujan. Akibatnya masyarakat hidup dalam ketakutan, kecemasan, dan kekhawatiran yang tidak terkira.
Kelima, konflik. Tidak dapat dimungkiri bahwa pertambangan telah memicu konflik antara perusahaan tambang dan masyarakat lokal mengenai tata kelola dan posisi masyarakat lokal dalam operasi pertambangan. Rencana pertambangan di Kabupaten Lembata di Nusa Tenggara Timur (NTT) oleh Merukh Enterprises bekerja sama dengan pemerintah Lembata telah menimbulkan protes masyarakat lokal. Masyarakat lokal yang umumnya petani dengan karakter pertanian subsisten dipaksa melepaskan lahan pertanian mereka untuk usaha pertambangan. Padahal Lembata adalah sebuah pulau kecil dengan topografi berbukit-bukit. Namun korporasi pertambangan melalui tangan pemerintah daerah memaksa petani melalui cara-cara manipulatif untuk menerima pertambangan.
Rencana eksplorasi tambang ini juga telah merusak relasi dalam suku. Masyarakat lokal terpecah dan terpolarisasi antara masyarakat yang setuju dan terpikat dengan janji manis perusahaan tambang dan masyarakat yang ingin mempertahankan tanah mereka. Sementara itu pemerintah daerah di satu sisi memaksakan kepada masyarakat untuk membiarkan mereka pindah dari tempat tinggal mereka dan membujuk rakyat untuk menerima pertambangan dengan janji kesejahteraan. Namun pemerintah meyakinkan masyarakat melalui cara-cara manipulatif. Masyarakat tidak mendapatkan penjelasan yang memadai dan rinci mengenai risiko pertambangan. Pemerintah sengaja menyembunyikan risiko yang dipikul masyarakat dengan menjanjikan kemakmuran kepada rakyat yang masih miskin. Di sini telah terjadi pelanggaran hak atas informasi yang benar, yang mesti diterima masyarakat.
Di beberapa daerah misalnya, penanganan konflik perusahaan tambang dan masyarakat lokal melibatkan aparat keamanan (militer dan polisi dan preman). Keterlibatan aparat keamanan jelas berpotensi terjadinya kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia. Dalam konteks penegakan HAM, masyarakat lokal sering tersisihkan kepentingannya.
Oleh sebab itu pemberian ijin penambangan di lokasi hutan lindung tidak saja merusak ekosistem dan keseimbangan ekologis tetapi kebijakan pemerintah ini dapat dipandang sebagai proses memarjinalkan masyarakat lokal dan mencabut pengetahuan dan kearifan tradisional masyarakat lokal. Marjinalisasi itu akan terlihat jelas di mana pemanfaatan hutan diserahkan kepada korporasi “asing” yang bekerja sama dengan pemilik modal nasional, yang umumnya mengabaikan kearifan lokal. Hutan tidak lagi dipandang dalam satu kesatuan dengan manusia, tetapi mengambil keuntungan ekonomis. Alam dieksploitasi demi kepentingan ekonomis semata. Kepentingan ekonomis inipun bukan kepentingan ekonomi masyarakat lokal, melainkan kepentingan pemilik modal. Negara memberikan kemudahan kepada pemilik modal yang bergerak di usaha pertambangan, tapi di satu sisi negara gagal melindungi kepentingan masyarakat lokal.
Kita terkejut sebetulnya ketika Presiden Yudhoyono meneken Peraturan Pemerintah No. 02/2008 ini karena disertasi doktoral Presiden di Institut Pertanian Bogor (IPB) berbicara mengenai pertanian. Artinya presiden memandang pentingnya pertanian bagi pemenuhan kebutuhan dasar rakyat. Namun dalam kasus pertambangan di hutan lindung ini, presiden mengabaikan kepentingan masyarakat lokal (petani setempat). Orientasi ekonomi presiden lebih memihak pemilik modal (pertambangan).
Kesimpulan yang paling jelas di sini adalah masyarakat lokal bersama-sama dengan orang-orang yang peduli dengan lingkungan hidup bergandengan tangan memperjuangkan agar pemerintah pusat mempertimbangkan kembali pemberian ijin pertambangan di hutan lindung. Kita memerlukan suara yang lebih banyak dan lebih keras lagi untuk menyuarakan suara masyarakat lokal yang hilang oleh semangat kapitalisme negara.


Pemda
Kewenangan menetapkan hutan lindung dan batas-batasnya sampai sekarang masih menjadi kewenangan pemerintah pusat. Namun data-data mengenai kawasan hutan lindung dan batas-batasnya tentu saja didasarkan pada usulan pemerintah daerah. Tujuan penetapan ini jelas untuk melindungi kepentingan masyarakat lokal dalam hal pengaturan tata air, keanekaragaman hayati dan ekosistem. Penetapan itu untuk menjaga agar masyarakat lokal tidak mengalihkan fungsi hutan ke lahan produksi pertanian, melainkan diatur fungsinya untuk menjaga kepentingan luas dan umum masyarakat setempat.
Patut memang dipertanyakan dalam konteks penambangan di hutan lindung ini adalah posisi pemerintah daerah. Kendati kewenangan pemberian ijin penambangan di hutan lindung adalah kewenangan pemerintah pusat, tetapi adalah juga kewajiban pemerintah daerah untuk menyuarakan kepentingan masyarakat lokal. Tugas pemerintah daerah adalah melindungi kepentingan masyarakat lokal. Semestinya pemerintah daerah berada di garda terdepan untuk melindungi kepentingan masyarakat lokalnya, karena pemerintah daerah diandaikan lebih mengetahui kebutuhan masyarakatnya, mengetahui harapan dan kecemasan mereka.
Fungsi ini gagal dilaksanakan pemerintah daerah karena ketakutan para pejabat di daerah terhadap pemerintah pusat di Jakarta dan ketidakmampuan mereka mengartikulasikan kepentingan masyarakat lokal. Sangatlah disayangkan bahwa pejabat daerah yang adalah putra-putra daerah tidak berani memperjuangkan kepentingan masyarakat lokalnya.
Kesulitan ini terjadi karena pemerintah daerah dalam banyak hal bersekutu dengan pemilik modal baik bagi kepentingan dana kampanye politik mereka maupun kepentingan pribadi dan kelompok kepentingan lainnya. Maka akan tampak dengan jelas bagi kita bahwa masyarakat lokal berada pada posisi marjinal. Bersekutunya negara (pemda) dan pemilik modal jelas memarjinalkan masyarakat lokal. Malah dalam praktiknya, pemerintah daerah menjadi juru bicara dari kepentingan pemilik modal. Dengan menggunakan jargon kesejahteraan rakyat, pemerintah menjadi corong pemilik modal. Akibatnya pemerintah daerah berhadapan dengan rakyatnya sendiri.

Flores Pos | Opini | Tambang | 29 April 2008 |

Email: franscoid@yahoo.com

Tidak ada komentar: