16 Juni 2008

Bencana: Garam di Atas Luka


Direktur FIRD Roni So (kiri) dan Frans Obon


Oleh FRANS OBON


KEDUA kalinya Harian Flores Pos dan Flores Institute Resources Development (FIRD) secara bersama menggelar diskusi di aula Bung Karno Penerbit Nusa Indah.
Desember lalu temanya mengenai global warming (pemanasan global) dan respon lokal. Global warming, sebuah isu begini besar, tidak sepenuhnya dipahami masyarakat Flores-Lembata. Tetapi dampak buruknya mereka harus pikul.

Saat itu panelisnya P Alex Ganggu SVD dari Komisi Keadilan dan Perdamaian Serikat Sabda Allah (Societas Verbi Divini/SVD) Provinsi SVD Ende ikut serta dalam pertemuan pemanasan global di Denpasar-Bali sebagai peninjau. Dia bisa ikut serta karena Vivat International, sebuah Non Governmental Organisation/NGO milik SVD dan SSpS terdaftar secara resmi di Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Panelis kedua adalah Melky Koli Baran dari FIRD Flores. Dia pernah pimpin Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) NTT, seorang aktivis lingkungan hidup.
Meski isunya begitu kompleks bagi masyarakat di Flores, sebuah remote area dalam konteks Indonesia, gagasan diskusi bersama untuk menemukan solusi lokal dari keprihatinan mondial ini tetap dilakukan. Peserta diskusi di kala itu punya pandangan yang hampir sama bahwa betapapun kecilnya, Flores-Lembata perlu memberi kontribusi bagi isu dan keprihatinan mondial mengenai pemanasan global. Barangkali inilah implementasi sederhana dari jargon berpikir global, bertindak lokal (think gobally act locally).
Apakah Flores-Lembata ikut menyumbang pada masalah pemanasan global, jawabannya tentu ya. Kecil sekalipun. Namun kita tidak bisa ingkar bahwa dampak pemanasan global kita rasakan. Masyarakat kita mungkin tidak terlalu tahu bahwa kekeringan di Ile Ape di Lembata dan tanah longsor di Gapong dan Gologega di Manggarai, adalah contoh kecil dampak perubahan iklim global. Dunia tidak bisa lagi dilihat sepenggal-penggal.
Selepas itu, Sabtu (31/5) diskusi kedua digelar di tempat yang sama. Kalau kali pertama di dalam ruang ber-AC, kali ini tanpa AC tapi bebas asap rokok.
Direktur FIRD Roni So dan Kepala Badan Perlindungan Masyarakat (Kesbanglinmas) Kabupaten Ende Gabriel Tobi Sona berjejer di depan sebagai panelis, dipandu Frans Obon (Flores Pos). Di deret peserta, anggota DPRD Ende Heribertus Gani, Kepala Akper Ende Hendrik Mbira, Melky Koli Baran dari FIRD, Hironimus Pala dari Yayasan Tananua, Ibnu Alkhatab dari Universitas Flores, Elias Cima dari Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat (STPM) Santa Ursula.
FIRD membawa mitra kerjanya Yayasan Bina Daya Mandiri (YBDM) dari Manggarai, Yayasan Bina Sejahtera (YBS) dari Lembata, dan Yastim dari Ende. Mereka menyajikan sepintas penanganan bencana di daerah kerja mereka dan menceritakan respon pemerintah dan masyarakat lokal setempat.
Sebas Parut dari YBDM Manggarai, Ibu Neli dari YBS Lembata dan Andre Ave Minggus dari Yastim Ende melihat ada kearifan lokal di masyarakat yang dapat menjadi pintu bagi penanganan bencana. Paling tidak kearifan lokal yang lagi dihayati masyarakat dapat digunakan untuk membawa energi masyarakat dalam sebuah solidaritas sosial untuk mencegah bencana.
Nusa Tenggara Timur, begitu Direktur FIRD Roni So bilang, telah jadi supermarket bencana. Potensi bencana begitu besar, mulai dari banjir, longsor, gelombang pasang, angin kencang, kebakaran, konflik sosial, gempa dan tsunami, busung lapar, malaria, diare, rabies, antraks dan masih banyak potensi bencana lainnya.
“Bencana longsor, banjir, gempa bumi dan tsunami dan berbagai bencana lainnya telah menghancurkan sumber-sumber pendapatan masyarakat, yang mengakibatkan masyarakat kita bertambah miskin” kata Roni.
Bolehlah dibilang bencana akan memperparah kemiskinan masyarakat. Karena masyarakat sudah miskin, dibuat lebih miskin lagi. Ibarat kita menaruh garam di atas luka.
Namun celakanya, manajemen bencana keliru. Setelah bencana, baru kita runggu-rangga ke sana kemari. Kita lebih fokus pada fase emergency respons (tanggap darurat) dan recovery (perbaikan). Memang pada tahap ini bantuan dan dana-dana rehabilitasi dikucurkan. Bencana lalu jadi proyek baru. Penyelewengan bisa terjadi di setiap sudut. Karena di mana gula, di situ semut berada. Hampir tidak pernah tidak ada cerita korupsi di balik dana bantuan bencana. Bencana berubah jadi proyek yang menggiurkan.
“Kita tangani bencana mulai dari emergency dan rehabilitasi, bukan pada fase siap siaga dan mitigasi,” kata Roni.
Idealnya, manajemen bencana mulai dari fase litigasi dan mitigasi. Cara ini lebih efektif. Karena mencegah lebih baik daripada menyembuhkan.
Ketua Komisi Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Agung Ende Romo Rony Neto Wuli bilang, kalau lihat siklus bencana, terbanyak kita mulai dari fase emergency dan rehabilitasi. Kurang sekali perhatian pada fase litigasi dan mitigasi. Dia bilang, JPIC juga lakukan hal serupa.
Hironimus Pala dari Yayasan Tananua juga memberi kritik yang sama. Kelemahan kita dalam menangani bencana adalah menunggu mendung baru cari daun pisang dan payung. Sekarang masalahnya adalah bagaimana kita pikirkan saat situasinya masih terang benderang. Bencana itu terjadi dari satu generasi ke generasi, padahal di satu pihak masyarakat kita punya kearifan lokal soal pengurangan risiko bencana.
Sebenarnya ini dosa kolektif. Pemerintah yang mengurus kehidupan dan kebijakan publik tidak terlalu serius menyentuh fase litigasi dan mitigasi dalam manajemen bencana. Titik fokusnya pada emergency respons dan recovery.
Sekarang paradigmanya, kata anggota DPRD Ende Heribertus Gani, mesti bergeser dari responsif ke preventif, sehingga yang diharapkan adalah pemerintahan yang sensitif bencana.
Paradigma begini tidak muncul sama sekali dalam kebijakan pemerintah. Hal itu bisa dilihat dalam rencana pembangunan jangka panjang atau rencana pembangunan jangka menengah daerah. “Rencana pembangunan Kabupaten Ende belum berperspektif bencana. Kita belum akomodasi hal-hal terkait bencana,” katanya.
Pemerintah berkelit karena belum ada payung hukum. Namun dia bilang, ini bukan masalah. Karena pemerintah bisa bikin renstra indikatif sebagai sebuah aturan transisi. Akibat tidak adanya renstra indikatif ini, kita tidak bisa alokasikan dana bencana. Ini beri kesan pemerintah tidak kreatif.
Ketika rencana kerja jangka menengah daerah tidak akomodasi masalah bencana, pemerintah juga tidak punya peta bencana dan analisis kerentanan bencana. Hal itu merambat ke tingkat Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). SKPD tidak punya program manajemen bencana. “Saya kira tidak ada pemetaan dan analisis kerentanan bencana mulai dari desa hingga kabupaten,” kritik Melky Koli Baran.
Menurut Melky, di setiap SKPD selalu ada alokasi dana untuk penanganan darurat bencana. Meski nomenklaturnya berbeda-beda. Masalahnya, SKPD juga tidak punya peta dan analisis bencana. Hanya ada dua yang tidak bisa kita duga yakni gempa dan gunung api. Tapi selebihnya bisa kita duga. Terpenting adalah tiap SKPD punya rencana program dan pembangunan responsif bencana. Dinas Kehutanan, Dinas Pertanian, Dinas Kesehatan bisa berperan penting. Repotnya prioritas rencana dan program kerja SKPD ditentukan oleh faktor kepentingan politik.
Heri Gani bilang, jika terjadi distorsi bisa dimengerti. Sebab respon terhadap bencana belum terintegrasi di dalam rencana pembangunan jangka menengah daerah. Jika dalam RPJMD tidak tercantum, maka sulit dijabarkan oleh SKPD-SKPD.
Menurut dia, Renstra indikatif akan jadi ajang untuk aksi daerah bagi pengurangan risiko bencana. Heri dan kawan-kawannya di legislatif lagi membuat Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) mengenai bencana ini, bekerja sama dengan GTZ. Dia tidak ingin terjadi copy-paste dalam proses pembuatan Perda ini. Karenanya dia membutuhkan naskah akademik. Dia berjanji akan membawa Ranperda tersebut ke panel diskusi seperti Sabtu itu untuk mendapatkan tanggapan dan umpan balik.
Perencanaan yang berperspektif bencana itu, kata Roni So, tidak hanya dilihat dalam satu aspek, tetapi SKPD-SKPD juga masukkan program yang berperspektif bencana. Ini bukan berarti dibuat proyek bencana baru. Kita efektifkan saja dana yang ada. Bangun jembatan misalnya, bagaimana konstruksi jembatan yang tahan banjir atau tahan longsor.
Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa (BPMD) punya desa siaga, mengapa tidak manfaatkan itu untuk membuat perencanaan strategis penanganan bencana di pedesaan.
SKPD-SKPD, kata Gabriel Tobi Sona, punya prosedur tetap (protap) menangani bencana dan sudah diinstruksikan untuk menyisihkan dana bagi penanganan bencana.

DARI presentasi mitra kerja FIRD dari Manggarai, Ende, dan Lembata, masyarakat lokal memiliki kapasitas mengorganisasi diri, punya solidaritas, kemampuan membaca tanda-tanda bencana, dan kearifan meredam bencana, dan punya sistem peringatan dini terhadap bencana.
Meski masyarakat punya kapasitas, tapi masih diperlukan campur tangan pemerintah dan berbagai pihak untuk menciptakan cara yang lebih sistematis.
Kelemahan justru terletak di organisasi dan manajemen bencana oleh pemerintah. Selama ini, begitu kata Kepala Akademi Keperawatan Ende Hendrik Mbira, tidak ada koordinasi. Setiap orang berjalan sendiri-sendiri.
Kita hadapi begitu banyak bencana seperti rabies, antraks, diare, malaria. Respon pemerintah? “Saya belum lihat,”. Potensi-potensi yang ada di masyarakat tidak digerakkan semua. Baku ribut di lokasi bencana terjadi karena ketidaksiapan. Kalau organisasinya baik, respon pasti ada. “Benahi dulu organisasinya. Tentu hal ini tergantung pada bupatinya,” ujarnya.
Kasus Ndungga di Kabupaten Ende tahun 2003, kata Pater Steph Tupeng Witin SVD, terjadi penyesatan informasi. Kala itu, ada laporan yang menyebutkan posko sudah terbentuk Ternyata, di lapangan jauh panggang dari api.
Beda halnya ketika terjadi bencana kelaparan di Lembata, seorang camat menghidupkan kembali pasar tradisional yang menggunakan sistem barter. Cara ini efektif untuk saling memenuhi kebutuhan antarmasyarakat lokal.
Karenanya, kendala tidak terletak di aturan, tetapi hati para pemimpin. Kemanusiaan harus bisa mengalahkan aturan. Kita butuh pemimpin yang respon atau peka terhadap bencana. “Atas nama kemanusiaan, dia bisa langkahi aturan-aturan formal,” katanya.

Pilkada: Bikin Kita Gemas

BUKAN karena latah. Barangkali karena momentumnya saja diskusi ini menyentuh tema yang lagi hangat sekarang: pemilihan kepala daerah (pilkada). Di satu pihak, orang bisa saja kecewa dengan paket-paket yang ditentukan partai, tetapi di pihak lain pilihan yang diberikan akan menentukan NTT lima tahun ke depan.
Pemimpin bisa saja menyalahgunakan kekuasaan yang mereka miliki seperti kata Lord Acton power tends to corrupt, absolutely power tends to corrupt absolutely, yang artinya kekuasaan cenderung korup, kekuasaan yang mutlak akan cenderung korup secara absolut. Bisa juga janji kampanye hanyalah alat untuk mendapatkan kekuasaan, bukan sebagai komitmen yang bisa dipegang teguh.
Seperti dikatakan Ketua Komisi Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Agung Ende, Romo Rony Neto Wuli bahwa kekuasaan lagi mesra atau bertengkar, rakyat tetaplah jadi korbannya. Imam Diosesan ini mengatakan, situasinya sama saja, entah gajah bercinta atau gajah berkelahi, rumput tetap saja mati terinjak. Meski kemudian dia menganjurkan agar diskusi ini memberikan rekomendasi, termasuk pula soal pilkada. Rekomendasi itu tidak saja menyangkut Pilkada Gubernur, melainkan pilkada bupati dan wakil bupati.
Cerita Pater Steph Tupeng Witin SVD mengenai penanganan korban banjir bandang Ndungga di Kabupaten Ende dan kasus kelaparan di Ile Ape, Kabupaten Lembata pada tahun 2005 sama-sama berkisah tentang respon para pemimpin kita, sekaligus kreativitas para pemimpin untuk menjawab masalah yang dihadapi masyarakat korban bencana.
Cerita, harapan, dan kekecewaan yang muncul dalam ruang diskusi menunjukkan bahwa faktor kepemimpinan memegang peranan penting di dalam manajemen bencana. Pelaksana lapangan adalah prajurit dan pemimpin adalah pemegang tongkat komando. Komando yang keliru, bahasa yang tidak jelas akan menimbulkan salah tafsir di lapangan.
Berkali-kali ditekankan dalam diskusi bahwa koordinasi menjadi kelemahan dalam manajemen bencana kita. Kelemahan koordinasi itu tercermin amburadulnya manajemen bencana dilapangan. Kita telah mikir, telat pula penanganannya.
Jika memang pemimpin berperan dan amat menentukan, maka seleksi pemimpin adalah juga faktor penting yang tidak bisa diabaikan. Barangkali ini pula alasannya mengapa diskusi ini, bertepatan dengan Pilkada Gubernur dan Wakil Gubernur dan Pilkada Bupati dan Wakil Bupati Ende dan Nagekeo, mengangkat tema pemimpin dan bencana.
“Jika kita melihat kampanye para calon, paling tidak dari publikasi media dan sarana kampanye lainnya, tidak ada satu paket calon gubernur dan wakil gubernur yang berbicara mengenai bencana. Padahal NTT sangat rentan terhadap bencana,” kata Roni So.
NTT dan Flores-Lembata pada khusunya masuk dalam ring of fire, sehingga hampir tiap saat terjadi gempa bumi di wilayah ini. Dari Manggarai Barat hingga Flores Timur dan Lembata, berderet gunung api. Tanah vulkanik yang subur memungkinkan tanaman perdagangan bertumbuh subur di daerah kita. Kakao, kemiri, jambu mete begitu hijau. Tetapi serentak dengan itu pula, tanah ini juga mengandung ancaman gempa bumi, longsor, dan banjir. Jika kekeringan berkepanjangan, maka daya ikat tanah kita menjadi rapuh karena memang tidak ada pohon yang mengikatnya. Karenanya jika setelah kekeringan panjang hujan datang, maka akan terjadi banjir dan tanah longsor. Itulah yang terjadi di Gapong dan Gologega di Kabupaten Manggarai atau di Ndungga ataupun banjir bandang 1979 di gunung Ile Mandiri.
Bukan itu saja kelaparan, rawan pangan, gizi buruk, demam berdarah, rabies, dan sederetan bencana lainnya datang silih berganti. Bencana seperti menyayati luka lama. Luka di atas luka. Kepedihan di atas kepedihan.
Pemimpin tentu bukan saja berbicara mengenai gubernur dan wakil gubernur atau bupati dan wakil bupati. Tetapi pemimpin di segala level. Tetapi bedanya, gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati adalah pemimpin publik, yang diberi wewenang oleh rakyat untuk mengatur kebijakan publik. Karenanya para pemimpin dituntut untuk sensitif, peka terhadap bencana. Kepekaan tentu juga tidak cukup. Kita memerlukan pemimpin yang cakap memenej bencana, yang paham bencana.
Pemimpin yang peka dan paham bencana dapat terbaca dari program pembangunan yang mereka susun dan kebijakan yang mereka ambil. Hironimus Pala dari Yayasan Tananua mencontohkan bahwa ada pemimpin yang menandatangani kontrak tambang, padahal masyarakat sudah menentang tambang. Karena tambang tidak saja merusak lingkungan hidup dan ekosistem, melainkan merusak ekologi sosial dan tatanan masyarakat lokal.
“Pemimpin kita mengundang investor ke daerah, memberi konsensi tambang, menebar janji. Kita mau kumpulkan uang tetapi mendatangkan bencana sosial. Pemimpin jangan membuat bencana baru,” kata Hironimus Pala.
Penguasaan manajemen bencana oleh para pemimpin juga terlihat dari kebijakannya untuk mendorong inisiatif masyarakat lokal untuk terlibat di dalam penanganan dan pengurangan risiko bencana. Dari presentasi mitra kerja FIRD, terlihat bahwa masyarakat lokal memiliki kearifan lokal (local genius) soal manajemen bencana.
Tetapi Kepala Akper Ende Hendrik Mbira melihat justru lemahnya koordinasi di tingkat pemimpin menyebabkan amburadulnya penanganan bencana. Setiap elemen berjalan sendiri-sendiri. Barangkali di sinilah pemimpin yang cakap manajemen bencana perlu menghidupkan dan mendorong energi lokal ini untuk secara sinergis dibawa ke satu tujuan.
Masyarakat membutuhkan dukungan pemerintah dalam hal dana, fasilitas, prasarana dan kesempatan untuk berbicara bersama. Roni So bilang, pada satu pertemuan di Bappeda Ende, di mana pada kesempatan itu para guru dihadirkan, diusulkan agar manajemen bencana dan pengurangan risiko bencana diberikan kepada para siswa. Tetapi usulan ini kurang ditanggapi.
Diskusi ini kemudian salah satu rekomendasinya adalah memasukkan manajemen bencana dan pengurangan risiko bencana ke dalam kurikulum muatan lokal. Ignas Gowing dari Lembata, Hironimus Pala dari Yayasan Tananua dan Elias Cima dari Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat (STPM) Santa Ursula Ende mengusulkan agar manajemen bencana diberikan di sekolah-sekolah mulai dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi. STPM sendiri memprogramkan manajemen bencana sebagai mata kuliah.
Pemimpin dan bencana adalah wacana yang lahir dari keprihatinan dan konteks NTT. Bencana silih berganti datang. Tetapi tidak cukup menggugah para pemimpin kita untuk merespon bencana secara tepat. Penentuan calon pemimpin yang jauh dari jangkauan rakyat dan keterpaksaan kita untuk memilih calon yang disodorkan adalah sebuah kontras. Pilkada memang bikin kita gemas.

Flores Pos Feature Bencana 6-7 Juni 2008

Email: franscoid@yahoo.com

Tidak ada komentar: