09 Januari 2008

Translok atau Relokasi

Oleh FRANS OBON

Korban bencana di Gologega, Kecamatan Lambaleda, Kabupaten Manggarai menolak rencana pemerintah untuk mengikuti transmigrasi lokal (translok). Mereka lebih menyukai program relokasi dan mereka memilih untuk tinggal di kampung-kampung sekitar. Pilihan akan relokasi ini, kita dengar dari mulut wakil rakyat, bukan dengar langsung dari mulut para korban. Meskipun kita percaya bahwa wakil rakyat yang menyampaikan permintaan ini mendengar dengan baik keinginan warga. Tetapi kita juga belum tahu persis apakah ini kehendak seluruhnya atau sebagian saja.

Pilihan di mana mereka tinggal setelah bencana adalah kebebasan warga. Kebebasan tentu saja mengandung tanggung jawab untuk memikul konsekuensi dari penggunaan kebebasan itu. Ini berarti rakyat korban bencana bersedia menerima risiko untuk disisipkan di kampung-kampung tetangga.
Dari segi cara pikir orang Manggarai dengan pusatnya pada kehidupan kampung menunjukkan bahwa ada hubungan yang mistis antara penghuni dan kampung. Rumah gendang tidak sekadar menjadi tempat tinggal otoritas kampung, tetapi memiliki nilai mitis-magis. Compang sebagai mesbah yang menyimbolkan kehidupan keagamaan suku. Kubur menghubungkan kehidupan seberang dan kehidupan kini, dan sumber mata air (wae teku) adalah sumber kehidupan yang tak terpisahkan. Kebun sebagai sumber pendapatan juga penting. Jadi kampung, kebun, dan kubur adalah hubungan segitiga yang erat.
Apa pentingnya kita sampaikan hal ini? Tidak lain adalah amat sukar bagi orang Manggarai untuk membentuk satu kampung baru dan meninggalkan begitu saja. Kisah Gologega sendiri mengatakan hal itu. Orang-orang di sana kembali ke pemukiman mereka yang lama, meski itu berisiko.
Disamping faktor kultur ini, juga kasus ini memperlihatkan cara berpikir masyarakat miskin pedesaan kita. Orang-orang desa dengan pola ekonomi subsisten sering enggan meninggalkan tempat mereka yang lama menuju sebuah dunia baru yang serba tak pasti. Riwayat translok yang sering gagal begitu mempengaruhi rasa aman mereka terhadap kepastian masa depan. Rasa aman itu sudah hancur dan digoncangkan bencana alam dan sekarang mereka hendak masuk ke masa depan yang juga belum pasti. Kekhawatiran konflik dengan masyarakat lokal di tempat translok mungkin juga membayangi kehidupan mereka.
Dengan ini kita ingin mengatakan bahwa tidak mudah memindahkan orang yang telah berurat akar di tempat mereka ke tempat lain.
Belajar dari sini, dua hal ingin kita garisbawahi. Pertama, jika pemerintah peduli akan masa depan mereka, maka pemerintah harus bisa meyakinkan para korban bahwa pindah ke kampung baru yang bernama translok itu akan memberikan jaminan bagi masa depan mereka. Di sini pentingnya pemerintah bersikap transparan mengenai program translok.
Kedua, pemetaan tata ruang dan penjagaan ekosistem. Kita ingin menegaskan kembali sikap kita bahwa pemerintah harus menata kembali ruang dan pemanfaatnya dan menjaga kelestarian ekosistem. Pemerintah perlu menyadarkan rakyat kita akan pentingnya ekosistem sebagai penyangga kehidupan kita. Kita percaya, jika dijelaskan dengan baik dan menggunakan bahasa sederhana yang dimengerti rakyat, program pemerintah akan diterima dengan baik. Syarat utama tentu saja kejujuran dan hati jernih pemerintah.



FLORES POS | BENTARA | RELOKASI
| 11 – 4- 2007 |

Tidak ada komentar: