09 Januari 2008

Tobat untuk Hidup Baru

Oleh FRANS OBON

Menurut kalender liturgi Gereja Katolik, sekarang umat Katolik sedang berpuasa. Puasa adalah unsur konstitutif tiap agama. Karena hal itu menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk menyejarah yang jatuh dan bangun. Tentu saja, jatuh-bangun itu menuntut satu hal lebih: membarui diri. Meremajakan diri. Sebuah pohon bila diremajakan, akan menghasilkan buah berlimpah. Peremajaan adalah proses memberi kualitas pada pohon itu sendiri.

Hidup kita juga demikian. Kita menjalaninya melalui proses jatuh bangun. Namun, proses jatuh bangun ini akan ditransformasikan untuk menjadikan kita manusia baru. Melalui proses ini, kita membentuk diri kita, tiap kali, agar menjadi pribadi yang utuh dan bermakna. Dengan demikian hidup adalah sebuah proses pembentukan diri yang terus menerus. Hidup bukanlah koinsidensia, satu kebetulan.
Dalam refleksi para uskup Nusa Tenggara di Ruteng 1999, tema bertobat untuk hidup baru ini menuntut umat Katolik dan semua yang berkehendak baik untuk terus menerus meremajakan diri dan lingkungan sosialnya, sehingga individu-individu mendapatkan semangat baru dan secara sosial, terdapat pembaruan demi peningkatan mutu hidup bersama.
Tampaknya, refleksi di awal reformasi ini mendapatkan kembali momentumnya. Karena tidak ada perubahan yang berarti selama otonomi berjalan. Pembangunan berjalan di tempat. Mentalitas belum berubah. Semangat kita masih yang lama. Akibatnya reformasi tidak beda dengan anggur baru dalam kerat lama.
Refleksi para uskup Nusa Tenggara itu mencakup enam aspek penting yakni, menjadikan komunitas basis sebagai kelompok perjuangan; membarui diri dalam bentuk pertobatan; membangun persaudaraan dengan semangat saling menghargai; mencintai lingkungan hidup; membangun semangat pengabdian dalam semangat demokratis, rela berkorban, tulus, dan jernih hati; kembangkan nilai-nilai budaya yang baik; dan membangun segala aspek kehidupan.
Momentum tepat karena bencana alam tanah longsor, adalah akibat dari ulah manusia yang tidak memperhatikan dan memperhitungkan kelestarian lingkungan. Kampung-kampung kita sering dibangun tanpa memperhitungkan risiko-risiko terhadap bencana lingkungan seperti ini. Ini terjadi karena warga tidak mengerti banyak soal ini. Itulah sebabnya kita terutama pemerintah berkewajiban memberitahukan masyarakat.
Dalam konteks Gereja Katolik, proses pencerahan seperti ini dapat dilakukan di komunitas basis, sehingga komunitas basis sungguh menjadi komunitas perjuangan. Wacana ini penting dibahas dalam komunitas basis agar terbangun satu solidaritas sosial. Agar masyarakat kita tidak menjadi masyarakat yang egoistis. Masyarakat yang tidak peduli dengan dampak yang terjadi dari tindakannya secara individu. Satu orang menebang hutan secara tidak bertanggung jawab, dampak buruknya akan dirasakan semua orang.
Api dari semua ini adalah keinginan kita untuk secara sosial bertobat, membarui diri dan mereformasi serta meremajakan diri kita agar kualitas hidup bersama kita makin baik.

Flores Pos| Bentara | Agama
| 10 Maret 2007 |

Tidak ada komentar: