18 November 2007

Pilkada dan Politik Proyek

Oleh FRANS OBON

Pemilihan kepala daerah (Pilkada) mencakup banyak aspek. Tidak saja berkaitan teknik bagaimana mempengaruhi massa pemilih dengan mengandalkan kinerja dan performance pribadi para kandidat, teknik kampanye yang memikat, akses ke pintu partai, melainkan juga terutama mengenai pundi-pundi (uang) yang akan membiayai proses suksesi para calon. Karena itu tipislah perbedaannya antara apa yang disebut political cost (ongkos politik) dan politik uang (money politics).

Ongkos politik dan politik uang atau apapun namanya sama-sama membutuhkan sumber dana. Dalam soal pendanaan suksesi, kandidat yang sedang berkuasa memiliki peluang yang lebih besar dalam hal pengumpulan dana. Apalagi dalam lima tahun menjelang suksesi, para pejabat yang akan maju dalam suksesi ini akan menggunakan segala daya untuk mengumpulkan dana bagi kepentingan suksesi.
Salah satu sumber dana di dalam birokrasi adalah proyek-proyek pemerintah yang tiap tahunnya bernilai miliaran rupiah. Di sinilah untungnya bagi incumbent candidate (calon yang sedang berkuasa) karena memiliki peluang untuk menikmati sumber dana dari proyek-proyek pemerintah.
Karena itu promosi jabatan atau penempatan kepala dinas tidak terlepas dari kepentingan suksesi. Dengan kata lain pendukung-pendukung utama kandidat yang sedang berkuasa akan memonopoli semua sumber dana dari proyek pemerintah demi kepentingan kekuasaan.
Kongsi ini bertali temali dengan kepentingan para pencari kerja di sektor proyek pemerintah. Di sini ada negosiasi dan kompromi. Kongsi ini pun akan terus berlanjut seandainya calon bersangkutan memenangkan suksesi. Dengan demikian di sini terjadi politisasi proyek di mana uang dan kekuasaan menjadi dwifungsi.
Kita memang memiliki Badan Pengawas Pemilu (Panwas) sebagai lembaga yang mengajaga moralitas dalam perebutan kekuasaan ini. Tetapi Panwaslu hanya menangkap akhirnya yakni praktik penggunaan uang itu mulai dari pendafataran calon hingga pemilihan.
Lalu, siapakah yang menjadi penjaga moral dalam hal ini? Masyarakat sendiri. Masyarakat harus secara cerdas mengikuti rekam jejak para calon. Karena di tangan mereka, suksesi itu bisa mencerminkan moralitas politik atau tidak. Ini artinya mereka tidak akan menjatuhkan pilihan politiknya hanya berdasarkan iming-iming uang. Sebab mereka tahu bahwa uang yang akan digunakan itu akan dikembalikan lewat cara penggunaan kekuasaan yang korup. Jika rakyat menginginkan adanya pemerintahan yang bersih, maka rakyat juga harus bisa mendikte para kandidat bahwa suara mereka tidak bisa dibeli.

Bentara / Flores Pos /8 November 2006

Tidak ada komentar: