09 Januari 2008

Tanggung Jawab Parpol

Oleh FRANS OBON

Menggembirakan bahwa para pengurus partai politik (parpol) di Ende sudah memperbincangkan calon pemimpin Ende ke depan. Namun perbincangan itu masih sebatas dikotomi periferi.

Pekan lalu, fokus diskusi adalah bagaimana membawa partai politik ke dalam satu forum agar bersama-sama menyeleksi dan memilih figur pemimpin ke depan. Tetapi menyatukan parpol dengan ideologi masing-masing, kepentingan pengurus yang berbeda, bukanlah perkara mudah. Bahkan, hal ini cenderung mustahil.
Partai-partai kecil baik dilihat dari perolehan kursi di parlemen maupun jumlah suara yang diperoleh pada Pemilu lalu sudah pasti akan membentuk aliansi untuk mengusung calon. Calon-calon mereka akan berkompetisi dengan calon-calon dari partai-partai besar semisal PDI Perjuangan dan Golkar. Bersatunya partai-partai kecil dalam satu aliansi pada hemat kita sama sekali tidak dilandaskan pada visi membangun ke depan, tetapi tergantung pada pendekatan calon yang membutuhkan pintu partai. Kita belum melihat adanya ideologi dan visi bersama yang menjadi landasan pengusung calon.
Sekarang wacana sudah bergeser pada dikotomi birokrat-swasta. Sebagaimana berita media ini Kamis kemarin, ada asumsi dalam kepala pengurus partai politik, kalau birokrat menjadi bupati maka pembangunan akan berjalan di tempat. Karena birokrat cenderung akan mengikuti format birokrasi yang telah mapan.
Dikotomi ini dibungkus rapi dengan janji perubahan. Isi pesannya adalah kalau swasta yang memimpin, maka akan ada inovasi-inovasi dalam membangun. Dampaknya pembangunan tidak akan stagnan.
Ide pembaruan memang lagi laku sekarang ini. Calon dari swasta mengusung ide pembaruan, calon birokrat juga sama. Kita bertanya, konsep pembaruan yang mereka tawarkan itu apa? Bagaimana kita bisa mengukur ide pembaruan itu applicable dan masuk akal (reasonable)?
Pengalaman di beberapa daerah, ide pembaruan ini pada akhirnya hanya janji kosong belaka. Pembaruan infrastruktur, pembaruan ekonomi, kesehatan dan lain-lain sama sekali tidak tampak. Di mana kita bisa melihat kebohongan itu? Dari konstruksi APBD. Komposisi anggaran tetap saja sama. Itupun kita masih harus buktikan lagi, apakah anggaran untuk publik itu sungguh menjamin kepentingan publik atau anggaran publik itu ujung akhirnya jatuh kembali kepada birokrat? Yang kita perlu lakukan adalah mengetahui apakah calon itu sungguh memiliki konsep membangun atau tidak?
Masyarakat tentu menuntut hal ini dari partai politik. Sebagai gerbang bagi calon untuk masuk dalam ajang kompetisi, partai politik memiliki tanggung jawab. Di tangan partai politik, nasib dan masa depan rakyat Ende dipertaruhkan. Rakyat akan menuntut dari partai, meskipun sering ingatan masyarakat kita mengenai sepakterjang partai sering kabur.

Flores Pos |Bentara | Parpol | 9 Maret 2007 |

Tidak ada komentar: