10 Januari 2008

Ekosistem dan Tata Ruang

Oleh FRANS OBON

Bencana Manggarai telah menghancurkan hati kita semua. Tahun lalu, sekitar empat puluhan orang tertimbun tanah longsor di Rongket. Tahun ini bencana datang lagi. Puluhan orang kembali tertimbun tanah longsor. Lebih tragis lagi, ada keluarga yang semua anggotanya tersapu habis. Sangat menyedihkan. Kita berdoa semoga mereka semua beristirahat dalam damai.

Bagaimanapun bencana ini hendaknya mendorong kita untuk mengevaluasi, melihat kembali, memikirkan ulang dua hal ini yakni pemanfaatan tata ruang dan ekosistem kita. Dua hal ini saling terkait erat.
Selama ini, dalam menata tata ruang, pemerintah hampir tidak pernah melibatkan masyarakat. Bappeda sebagai otak yang merencanakan pemanfaatan tata ruang ini merasa diri bisa menyelesaikan sendiri semuanya. Dia menentukan berdasarkan priortas dan asumsi-asumsi pembangunan yang dibuat pemerintah sendiri, sehingga tidak heran bila dalam pemanfaatan tata ruang seringkali menimbulkan konflik antarmasyarakat dan pemerintah.
Kita percaya bahwa andaikata pemerintah melibatkan masyarakat dalam menentukan pemanfaatan ruang terutama di pedesaan, maka tidak akan ada konflik kepentingan antara masyarakat dan pemerintah. Argumentasi kita adalah hampir semua lokasi bencana bila diteliti kembali bukanlah lokasi yang cocok untuk permukiman. Mereka tinggal di jalur merah. Jalur yang tidak layak huni dan rentan terkena bencana.
Dari satu sisi, kita mungkin beralasan bahwa kepadatan penduduk dan ketiadaan lokasi pemukiman adalah alasan utama mengapa masyarakat tinggal di lokasi yang rawan bahaya. Tetapi bila kita memberikan pengertian baik kepada mereka dengan memberikan alasan rasional, kita yakin masyarakat akan mengerti. Tetapi kelemahan kita adalah kita tidak pernah memikirkan dan membicarakannya bersama masyarakat mengenai lokasi-lokasi pemukiman yang lebih aman.
Dalam kaitan dengan ini, penting pula kita berbicara mengenai kesadaran bersama untuk menjaga ekosistem. Hampir sebagian besar lokasi bencana itu terdapat di daerah-daerah pinggir hutan lindung. Dulu di masa Belanda, patokan-patokan pal menyertakan juga masyarakat setempat– meski tidak melibatkan mereka dalam analisisnya. Namun paling penting adalah patokan-patokan pal itu telah memperhitungkan terjaganya ekosistem. Hutan-hutan dijaga untuk melindungi masyarakat dari bencana. Saat ini seakan kita bermain-main dengan kelestarian ekosistem ini. Kita semua berbicara indah di atas kertas, tetapi lemah dalam implementasi. Hal itu terjadi karena ekosistem dikait-kaitkan dengan politik. Perlawanan terhadap penertiban hutan dari satu sisi haruslah kita akui karena ada interese politik. Politisi kita menggunakan isu-isu krusial yang berkaitan erat dengan keselamatan masyarakat untuk meraih kekuasaan.
Ke depan, kita perlu memikirkan ulang pemanfaatan tata ruang pedesaan dan usaha keras untuk menjaga ekosistem, dan melepaskan semua kepentingan politik di baliknya. Politik kita ke depan adalah keselamatan warga.

Flores Pos | Bentara | Lingkungan | 6 Maret 2007 |

Tidak ada komentar: