09 Januari 2008

Sengketa Kawasan Kupe Kapa

Oleh FRANS OBON

Empat suku mempersengketakan kawasan Kupe Kapa di Kabupaten Ngada. Sengketa yang lebih besar terkuak setelah suku Kile Desa Mengeruda Kecamatan Soa dan suku Deru Kelurahan Natanage, Kecamatan Boawae. Dua suku lainnya yakni Pou dan Ruda ikut mempersengketakannya. Dalam dialog yang digelar pemerintah kabupaten, Selasa (20/3) suku Pou dan Ruda mati-matian mau masuk dialog. Padahal pemerintah sudah mengatakan, karena suku Kile dan Deru yang mencuatkan masalah ini maka kedua suku ini yang terlebih dulu membahasnya. Tarik ulur terjadi dan memacetkan rencana dialog.

Proses mempertemukan suku-suku yang bertikai oleh pemerintah adalah langkah awal yang bagus. Setidaknya keempat suku bersedia memenuhi undangan pemerintah untuk membahas masalah ini dengan cara-cara damai. Suku-suku yang bersengketa juga sudah bertekad menyelesaikan masalah ini dengan damai. Meski ada suku yang melanggar kesepakatan untuk tidak mengerjakan dulu lokasi sengketa, tindak kekerasan tidak terjadi. Kita pun mendorong agar sikap ini menjadi prinsip dasar dalam menyelesaikan sengketa kawasan Kupe Kapa.
Konflik tanah pertanian di pedesaan kita telah menjadi masalah klasik di wilayah kita. Dalam beberapa kasus, masyarakat kita menyelesaikannya menggunakan kekerasan, sehingga korban berjatuhan. Beberapa kasus terselesaikan dengan damai.
Menilik pada ciri umum konflik pertanahan di pedesaan kita, terdapat satu ciri umum yakni semua kisah mengenai riwayat tanah didasarkan pada cerita lisan. Satu suku mengklaim wilayah kekuasannya dulu. Lokasi ini pernah dikerjakan nenek moyang kami dari dulu, ini tempat berburu raja-raja kami dulu, dan lain-lain kisah pembenaran klaim. Namun kisah-kisah ini hanya didasarkan pada ingatan. Tanpa ada bukti-bukti tertulis.
Tradisi lisan seperti ini mempersulit penyelesaian masalah. Karena kisah sering membias mengungkapkan kepentingan si pencipta kisah. Bersama rapuhnya tradisi lisan, klaim-klaim berdasarkan cerita lisan juga perlahan-lahan kehilangan daya legitimasinya.
Ambigutas terjadi di sini. Apakah masalah ini harus diselesaikan di pengadilan atau diselesaikan oleh masyarakat kita. Jika diselesaikan oleh pengadilan negeri (negara), pengadilan negara mendasarkan dirinya pada bukti-bukti otentik tertulis. Cerita-cerita yang diwariskan turun temurun amat sulit dipercaya. Seandainya juga melalui kesepakatan adat, apakah semua pihak menerimanya? Kalau menggunakan win-win solution, dampaknya orang yang mengarang kisah klaimnya akan mendapatkan keuntungan.
Amat rumit persoalannya. Meski demikian, pemerintah sudah membawa empat suku ke dalam satu meja perundingan. Kalau nanti masalahnya berlanjut hingga Nagekeo diresmikan, maka hendaknya masalah ini menjadi satu prioritas kedua pemerintah, sehingga masalah in tidak menjadi api dalam sekam.


FLORES POS | BENTARA | TANAH | 27-3-2007 |

Tidak ada komentar: