28 Januari 2008

Bejana Pluralisme

Dari kiri: Rm Sipri Sadipun, Abdurahman Aroeboesman, Agus T Gempa, Irama Pelaseke, dan Frans Obon


Oleh FRANS OBON

MEMBANGUN keajekan dalam keberagaman di tingkat akar rumput atau lokal barangkali sama seperti kita menempatkan sebuah vas bunga di sebuah meja. Sebuah keteledoran kecil saja dapat menghancurkannya. Namun bila dijaga dengan baik, vas bunga itu akan memberikan keindahan, menyegarkan mata setiap orang yang memandangnya.

Tidaklah mudah menjaga vas bunga kemajemukan itu di dalam sebuah masyarakat yang juga rapuh, mudah pecah berantakan. Diskusi panel Departemen Agama Kabupaten Ende, 29 Desember 2007 di lantai I Kantor Bupati Ende ingin memberikan kontribusi bagi terpeliharanya masyarakat majemuk di tingkal lokal. Bagaimana menghindari gajah berkelahi, yang mati terinjak tetaplah rumput. Penegasan ini penting dan momennya tepat karena Kabupaten Ende pada tahun 2008 pertama kalinya memilih bupati dan wakil bupati secara langsung.
Acara ini dibuat dalam rangka hari ulang tahun Departemen Agama, 3 Januari. Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten Ende Agus T Gempa, Romo Sipri Sadipun Pr, Abdurahman Aroeboesman, Irama Pelaseke sebagai pembicara dan Frans Obon sebagai moderator.
Yosef Nganggo, Ketua Steering Committee memberi introduksi singkat bahwa diskusi panel ini bertujuan mencari alternatif-alternatif baru mengelola masyarakat majemuk di tingkat lokal. Sebab pluralisme di tingkat lokal dapat memperkaya kehidupan masyarakat, tetapi juga mengandung potensi konflik yang memiliki daya menghancurkan. Telah menjadi komitmen Departemen Agama untuk mendorong terbentuknya masyarakat plural yang cerdas mengharumkan, atau cerdas rukun mengharumkan.
Mengelola kemajemukan, kata Agus T Gempa, bukanlah perkara mudah. Karena kelompok-kelompok agama mau memelihara identitas mereka sebagai kelompok dan memperjuangkan aspirasi mereka. Namun di sisi lain komunitas agama dituntut memelihara keseimbangan antara kepentingan kelompok dan kepentingan nasional sebagai bangsa. Dalam beberapa kasus, konflik terjadi bukanlah lantaran karena agama, melainkan perebutan sumber daya ekonomi dan politik, namun membungkus konflik tersebut dengan baju agama untuk mendapatkan dukungan luas. Akibatnya eskalasi konflik meluas.
Agus mengusulkan perlu membangun dialog dan kerja sama sosial ekonomi lintas agama sebagai alternatif membangun kebersamaan itu. Spirit kekitaan dihidupkan agar kita tidak berada dalam kotak-kotak yang memisahkan yang membuat kita curiga terhadap satu sama lain.
Pluralisme agama, etnik, dan sosial budaya, bagaimana semua itu mendapat tempat dan ruangnya di dalam institusi politik negara dan bagaimana pluralisme menjadi bagian dari penghayatan hidup masyarakat (the way of life).
Abdurahman Aroeboesman mengatakan Pancasila sebagai ideologi negara dan bangsa merupakan kristalisasi dari nilai, norma, dan moral bangsa yang mesti dipertahankan. Karena Pancasila akan menjamin negara ini berkembang menuju masyarakat demokratis dan menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. Pemerintah bertugas mengelola kepentingan semua anak bangsa dan mendorong warga bangsa saling menghormati.
Pendidikan memegang kunci meluasnya wawasan dan pandangan serta menumbuhkan sikap saling menghormati, serta membuka akses yang sama bagi semua anak bangsa terhadap pelayanan kesehatan, kesempatan berusaha (ekonomi) dan pentingnya tatanan politik bangsa yang mengakomodasi semua kepentingan bangsa.
Dalam kaitan dengan hak asasi manusia, dia mengatakan konstitusi negara telah menjamin hak asasi manusia, sebagaimana tertuang dalam Pasal 28i dan 28j Undang-Undang Dasar 1945. Yang diperlukan sekarang adalah menciptakan kondisi objektif yang memungkinkan terimplementasinya jaminan konstitusi ini dalam kehidupan konkret. Sebab jaminan konstitusi ini akan dapat melapangkan semua usaha memelihara pluralisme sebagai modal sosial dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sikap dasar menghadapi pluralisme ini, kata Romo Sipri Sadipun, adalah menerima, menghargai, berdialog dan membangun kerja sama dalam kebebasan dan toleransi. Kebudayaan adalah jawaban manusia terhadap tantangan dan masalah yang ditemukannya dari lingkungan sosial dan lingkungan alam. Kebudayaan melingkupi cara hidup, cara berpikir, cara merasa, cara mengartikan atau memahami sesuatu, cara menghayati, cara mengungkapkan pikiran, dan lain-lain. Karena itu kebudayaan adalah perbuatan manusia agar hidup lebih manusiawi. Perbuatan manusia itu ditentukan oleh norma dalam salah satu lingkungan kebudayaan, sehingga kebudayaan berkaitan dengan keharusan fisik dan keharusan moral. Namun, kebudayaan perlu dikritik, dievaluasi agar kebudayaan itu berkembang. Kita perlu menata strategi kebudayaan agar kebudayaan itu bertahan dan mampu menjawabi masalah zaman.
Masalah muncul, kata dia, keberagaam suku, agama, ras menjadi konsumsi politik dan ekonomi. Masyarakat miskin, sederhana, penganggur, buta huruf dan tidak berpendidikan menjadi sasaran adu domba. Praktik politik yang kotor sering menuntut korban. Rakyat kecil menjadi korban kerakusan dan ketidakadilan. Kocek sejumlah pejabat dan kroninya makin tebal, rakyat jelata mengadu nasib dari hari ke hari tanpa masa depan. Gaya hidup pejabat yang penuh rasa puas diri.
Yang diperlukan dalam membangun masyarakat majemuk ini adalah membangun budaya hidup yang lebih manusiawi, dengan mengakui keberadaan sesama, menghargai martabat dan hak asasi manusia; dan kedua membangun landasan moral dan etika dalam menghayati kehidupan bersama dengan membangun budaya adil, jujur, benar, toleran, ikhlas, dan solidaritas.
Masalah pluralisme juga diteropong dari perspektif gender. Paling tidak topik pluralisme mesti juga melibatkan perempuan. Irama Pelaseke, Koordinator Universitas Terbuka di Ende membahas keterlibatan perempuan dalam membangun masyarakat majemuk ini. Gender, bagaimanapun, adalah konstruksi budaya. Masalahnya perempuan sering ditarik dan ditempatkan di ruang domestik, dan tidak diberi ruang di ranah publik. Akibatnya peran perempuan di wilayah publik tidak terlihat. Malah sebaliknya limbah dari pertikaian di wilayah publik berdampak negatif bagi kehidupan domestik, dengan korban terbesar adalah perempuan dan anak-anak.
Wacana gender tidak lain adalah usaha untuk menarik gerbong perempuan yang selama ini ditempatkan di wilayah domestik ke wilayah publik agar mereka juga memberikan kontribusi dalam membangun masyarakat. Bahkan konsep lama bahwa perempuan hanya bergerak sekitar dapur, sumur, dan kasur mesti segera ditinggalkan.
Sudah saatnya, kata Irama, perempuan dilibatkan mulai dari perencanaan, perumusan kebijakan, pelaksanaan, evaluasi dan pemantauan pembangunan. Hal ini penting karena jumlah perempuan jauh lebih banyak dari laki-laki. Karena itu dalam konteks lokal, pemerintah daerah sudah saatnya melibatkan perempuan dalam keseluruhan kebijakan pembangunan. Demikian halnya dengan membangun masyarakat plural yang damai, perlu melibatkan perempuan.

Kearifan Lokal
Ketegangan hubungan antarkelompok etnis dan agama dalam masyarakat majemuk sering tidak terhindarkan manakala kelompok-kelompok etnis dan agama gagal membangun kebersamaan tetapi menonjolkan identitas mereka dan memaksakan berbagai kepentingan kelompok kepada kelompok lainnya.
Bagaimana mengelola konflik ini? Menjawab pertanyaan seorang peserta mengenai manajemen konflik, Romo Sipri mengatakan, tidak perlu kita belajar teori-teori manajemen konflik. Dalam arti tertentu teori-teori manajemen konflik yang kita pelajari dari buku-buku teks adalah “sesuatu yang impor”.
Kita memiliki kearifan lokal (local genius) untuk mencari pemecahan atas konflik yang dihadapi masyarakat. Masyarakat lokal punya cara sendiri menyelesaikan konflik di antara mereka, termasuk cara bagaimana memelihara kemajemukan di antara komunitas-komunitas lokal itu. Ada banyak ungkapan-ungkapan dalam adat kita mengenai cara menangani konflik.
Dengan pernyataan ini, tentu saja Romo Sipri tidak menafikan pentingnya belajar manajemen konflik. Namun dia ingin mengatakan, terpenting adalah komitmen bersama masyarakat lokal untuk membangun kehidupan bersama yang plural.
Dasar dari komitmen bersama itu adalah menerima dan mengakui perbedaan itu sebagai fakta yang tak terhindarkan. Romo Domi Nong, salah seorang peserta dalam diskusi itu menganggap hal ini sebagai kekuatan utama dan dasar penting dalam membangun masyarakat majemuk.
Namun dia bertanya kepada Romo Sipri, apakah memang menjadi budaya orang Ende Lio yang belakangan ini sering menggunakan kategori pendatang (atamai) dan penduduk asli (atamera)? Romo Sipri mengatakan, sejarah masyarakat Ende Lio adalah sejarah masyarakat terbuka. Orang Ende Lio tidak pernah membenci orang luar. Ini kita bisa buktikan dalam sejarah Kabupaten Ende. Agama dan budaya menjadi pemicu konflik karena adanya kepentingan politik dan kekuasaan.
Meski pertanyaan ini ditujukan kepada Romo Sipri, moderator memberi kesempatan kepada Abdurahman Aroeboesman menjawabnya. Menurut Aroboesman, atamera dan atamai itu tidak ada, tapi itu hanya tindakan orang yang mau mengacaukan saja. Kita semua atamai, kita semua dari Indo-China. Karena itu perlu ada pembauran, sehingga kita perlu membentuk forum kebangsaan.

Politik Pilkada
Yang juga hangat dibahas adalah bagaimana kita membangun politik yang lebih damai ke depan, tanpa menggosok dan menggosongkan masyarakat akar rumput. Romo Domi Nong menanyakan bagaimana kita menghadapi fenomena preman-preman politik. Hal ini penting mengingat pada tahun 2008, masyarakat Kabupaten Ende untuk pertama kali akan memilih pemimpin daerahnya secara langsung.
Faktanya adalah, bagaimana kemiskinan di masyarakat akar rumput digunakan oleh politisi untuk meraih keuntungan politik kekuasaan. Aroeboesman mengatakan, partai memegang peran penting dalam proses politik ke depan. Bangunan politik ke depan harus dilandaskan pada etika, moral politik. Kalau partai politik berperan, maka seleksi pengurus partai politik menjadi jauh lebih penting.
Politik yang dilandaskan pada moral politik yang benar juga ditetakankan oleh Romo Sipri. Bagi dia, bersikap jujur adalah satu sendi mendasar dalam membangun hubungan antarkomunitas dalam masyarakat majemuk. Berhadapan dengan orang yang tidak jujur, katanya, tidak ada solusi. Politik mesti kembali ke prinsip dasarnya yakni menyelamatkan manusia.
Simpulan dari diskusi ini sederhana saja bahwa kalau unit-unit sosial dalam masyarakat sukses membangun kebersamaan mereka, maka pluralisme itu akan memperkuat kohesi sosial dan serentak pula memperkuat negara. Tetapi kalau mereka gagal, maka mereka akan berantakan baik sebagai komunitas maupun sebagai negara. Kita tentu tidak ingin bejana pluralisme itu berantakan oleh pengelolaan politik, ekonomi dan budaya yang tidak becus dan ambisi-ambisi yang tidak terkendali.


Flores Pos Feature Agama 22Januari 2008


1 komentar:

Sayed Mahdi mengatakan...

"..Masyarakat lokal punya cara sendiri menyelesaikan konflik di antara mereka, termasuk cara bagaimana memelihara kemajemukan di antara komunitas-komunitas lokal itu." (Romo Sipri)

Salam kenal Bung Frans. Saya setuju sekali dengan kutipan perkataan di atas. Satu hal yang saya ingat sewaktu masa kecil saya dulu di Aceh. Daerah yang identik dengan Islam, sehingga kadang disebut dengan serambi Mekah.

Kalau ada warga kampung kami yang meninggal dunia, maka pengurus langgar (mesjid kecil di kampung) mengumumkannya lewat loudspeaker langgar. Lalu ibu-ibu warga pun mengumpulkan beras, makanan, dan mengantarnya ke rumah warga yang mengalami musibah atau ada yang meninggal.

Di kampung kami itu mungkin tidak lebih dari 3 keluarga yang kristen. Suatu ketika ada tetangga yang agamanya kristen meninggal dunia. Lalu pengurus langgar pun mengabarkan berita duka itu lewat loudspeaker langgar, yang sehari-hari dipakai juga untuk adzan. Lalu ibu-ibu, termasuk ibu saya, mengambil beras dan makanan lain untuk diberikan kepada kuluarga yang berduka, sebagai ungkapan belasungkawa. Di sini batas-batas agama mencair dalam hubungan sosial, toleransi dan kebersamaan antar warga kampung terwujud walau pun rata-rata warga kampung saya berpendidikan tidak tinggi, mereka orang-orang sederhana yang mungkin masih "steril" dari konflik identitas dan persaingan politisasi agama seperti sekarang.

Hal-hal kecil, tapi punya makna mendalam seperti ini sedikit demi sedikit mulai tergerus. Digerus oleh banyak faktor, mulai dari formalisasi syari'ah, para pendakwah Islam fundamentalis yang tercabut dan mencabut orang lain dari kearifan adat istiadat lokal, hingga kepentingan politik.