13 Januari 2008

Agama dan Negara (3/habis)

Memperkuat Negara: Multikulturalisme

Oleh FRANS OBON

Pasar terapung tradisional di Banjar Baru


HARI kedua, tema agama dan negara ini dibahas dari sudut hak asasi manusia dan multikulturalisme. M M Billah dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia membahas relasi agama dan negara dari sudut HAM dan Daniel Sparringa dari Universitas Airlangga Surabaya mengupas tema “Multikulturalisme Indonesia: Jawaban terhadap Kemajemukan”.

Mengutip pasal 3 (1) UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, Billah mengatakan, tiap orang dilahirkan bebas dengan harkat dan martabat manusia yang sama dan sederajat serta dikarunai akal dan hati nurani. Kebebasan beragama dan berkeyakinan juga dijamin secara konstitusional sebagaimana tertuang dalam pasal 28E (1) UUD 45: “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya….” Pasal 28E (2) UUD 45: “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaannya, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya”.
Pasal 22 (1) UU No. 39/1999 mengatakan, “Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Pasal 22 (2) UU No. 39/1999 mengatakan, “Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.
Dalam konteks Hak Asasi Manusia, hak kebebasan beragama bersifat mutlak yang merupakan wujud dari freedom to be termasuk hak asasi manusia yang paling inti. Karena itu termasuk non derogable dan harus dihormati oleh negara dalam keadaan apapun dan kapanpun. Penangguhan penikmatan, pengaturan, pembatasan hanya dilakukan dengan undang-undang, tidak bisa dengan peraturan di bawahnya.
Billah menyajikan empat pola hubungan antara negara, pasar, dan masyarakat sipil dan dampaknya. Pertama, model negara sekuler, yang memberikan dua kemungkinan dampaknya pada relasi agama dan negara yakni (1) koeksistensi damai, terjadi pemisahan legal negara, agama, kegiatan ekonomi; (2) agama, negara, ekonomi saling mempengaruhi secara seimbang atau koeksistensi
Kedua, model statism, dengan kemungkinan dampaknya adalah negara tidak mengakui agama, perkumpulan dan kegiatan keagamaan disupervisi, dibatasi dengan undang-undang.
Ketiga, model ekonomisme, dengan tiga kemungkinan yakni (1) klas kapitalis memegang kekuasaan negara, dinamika ekonomi kapitalis mendominasi, dan menghegemoni kehidupan; (2) negara mengabdi pada kapital; (3) agama sebagai alat legitimasi moral dan kultural dari kapital.
Keempat, model teokrasi, dengan tiga kemungkinan yakni (1) tidak ada pemisahan agama dan negara; (2) agama (pemimpin & lembaga keagamaan) menguasai negara dan masyarakat ekonomi; (3) negara mengabdi pada (lembaga) agama; (4) hukum, politik, militer, ekonomi, administrasi dikendalikan (lembaga) agama.
Dalam UUD 45 yang telah diamandemen, agama-agama, katanya, memiliki peluang yang sama untuk memberi warna dan mempengaruhi sistem nilai yang (dapat) menjadi dasar dari kaidah penyelenggaraan negara dan kehidupan bernegara.
Setelah Billah, bahasan Daniel Sparringa dari Universitas Airlangga kemudian lebih terfokus pada bagaimana mengelola kemajemukan untuk menyokong langgengnya kehidupan bersama sebagai bangsa dan negara. Sparringa menawarkan multikulturalisme sebagai alternatif.
Menurut dia, istilah multikulturalisme merujuk pada dua hal yakni realitas dan etika. Dari segi realitas, multikulturalisme adalah representasi yang produktif dari interaksi elemen-elemen sosial yang beragam dalam sebuah tataran kehidupan kolektif secara berkelanjutan. Sedangkan dari segi etika, multikulturalisme adalah spirit, etos, dan kepercayaan bagaimana keberagaman unit-unit sosial yang berciri privat dan relatif otonom semestinya dikelola dalam ruang-ruang publik.
Multikulturalisme sering didefinisikan sebagai kepercayaan bahwa kelompok-kelompok etnik dan budaya (ethnic and culture groups) dapat hidup berdampingan secara damai dalam prinsip koeksistensi yang ditandai oleh kesediaan untuk menghormati budaya lain. Multikulturalisme kemudian dianggap sebagai revisiting and reinventing (mengunjungi kembali dan menemukan kembali) gagasan yang lebih masuk akal bagaimana sebuah masyarakat majemuk Indonesia dapat dikembangkan dalam sebuah masyarakat warna-warni, yang tidak hanya partisipatoris melainkan juga emansipatoris.
Persoalan dasarnya memang adalah bagaimana kelompok-kelompok etnik (yang lokal) itu dan budaya (yang partikular) memposisikan diri dalam sebuah kehidupan bersama dalam sebuah masyarakat nasional yang dikelilingi nilai-nilai universal (demokrasi, keadilan, persamaan, dan kemerdekaan). Kelompok-kelompok yang berbeda di dalam masyarakat memelihara identitas mereka sebagai kelompok, namun berinteraksi dalam ruang bersama yang ditandai pluralisme.
Dengan kata lain, bagaimana semua orang hidup berdampingan dalam sebuah habitat sosial, namun memberi tempat pada pemeliharaan identitas lokal itu, sementara di pihak lain memberi kesempatan bagi semua proses terjadinya integrasi sosial, politik, budaya, dan ekonomi pada tingkat nasional dan global.
Sparringa mengakui, konsep ini tidak mudah. Pertama, masalahnya karena bagaimanakah kesadaran bersama itu dibangun dalam sebuah ruang yang disamping memberikan kebebasan untuk melakukan interpretasi, juga mengandung elemen yang berbeda-beda untuk menemukan kebutuhan bersama bagi sebuah integrasi yang lebih tinggi.
Kedua, proses itu tidak terjadi dalam ruang yang terisolasi dari persoalan ketidakmerataan dan ketidakadilan, bagaimana sumber-sumber politik dialokasikan dan didistribusikan.
Ketiga, perubahan yang berlangsung di tataran global mendiktekan agenda-agenda politik dan ekonomi baru mempersempit kita dalam mendefinisikan kembali gagasan dasar mengenai negara-bangsa.
Karena itu Sparringa mengatakan, di tengah kesulitan-kesulitan ini multikulturalisme tetap menjadi sebuah agenda besar bersama dan kemungkinan-kemungkinan yang bisa dibuat demi perbaikan kesalahan dalam mengelola masyarakat majemuk di Indonesia pada masa lalu.
Menurut dia, dalam konteks pendekatan sosial budaya multikulturalisme menghadirkan dimensi ganda bahkan realitas ragam sekaligus yakni kebedaan-kemiripan, keragaman-kesatuan, identitas-integrasi, lokalitas/partikularitas-universalitas, nasionalitas-globalitas. Karenanya, multikulturalisme membuka jalan bagi dibangunnya ruang-ruang identitas , sekaligus membangun jembatan menuju sebuah integrasi sosial.
Di samping itu, koeksistensi di dalam konsep multikulturalisme dianggap tidak memadai sehingga mesti diganti dengan proeksistensi. Proeksistensi tidak saja menuntut hadirnya kualitas hidup berdampingan secara damai, melainkan juga sadar untuk ambil bagian dalam usaha memecahkan masalah yang dihadapi kelompok lain. Konsep ini akan mengakhiri kebisuan dan pembiaran atas nasib kelompok lain.
Masukan-masukan para narasumber pada hari kedua dan ketiga membantu peserta untuk merumuskan strategi-strategi mereka menggagas masyarakat plural. Pertemuan membahas kekuatan-kekuatan yang mereka miliki, kelemahan-kelemahan, peluang-peluang untuk dikelola bersama, dan ancaman-ancaman terhadap usaha-usaha konkret mereka menuju masyarakat plural yang damai.
Pagi hari 14 Juni, peserta mengunjungi pasar terapung dan pasar permata di Martapura. Pasar terapung ini adalah pasar di atas sungai, yang menjual berbagai barang kebutuhan pokok di antarkampung di sekitarnya. Air yang keruh dan sampan-sampan kecil yang sebagian besar pelaku pasarnya adalah perempuan. Di sepanjang sungai rumah-rumah suku Banjar berjejer. Dari sana peserta mengunjungi pasar permata di Martapura, sebuah kota modern yang ditata rapi. Namun, ada juga pengemis yang menadah uang recehan dari para pembeli di tempat penjualan batu permata tersebut.
Pertemuan Banjarmasin, yang hanya berlangsung beberapa hari, tentu saja tidak cukup untuk membangun fondasi besar kemajemukan Indonesia. Namun, pertemuan jaringan kelompok antariman memberi kemungkinan kepada setiap orang untuk menghayati keyakinan, pandangan, dan perspektifnya mengenai realitas bersama. Paling kurang ada energi baru yang dibawa ke tingkat lokal oleh peserta untuk mendorong terciptanya masyarakat plural yang saling menghargai secara jujur dan tulus
Pertemuan ini menjadi ruang bagi semua orang untuk meneguhkan kembali komitmen mereka bahwa perbedaan bukanlah hal yang dapat membuat mereka tercerai berai, melainkan bunga-bunga yang ditaruh di dalam satu pot. Tugas mereka adalah menjaga pot ini tidak pecah berantakan sehingga bunga juga tidak berserakan di lantai atau di tanah.
Dengan lain kata, multikulturalisme akan mmperkuat masyarakat dalam keberagaman, sekaligus memperkuat negara-bangsa. Sebaliknya jika mereka gagal, maka mereka akan terus berada dalam ketegangan hubungan antarkomunitas dan mengancam mereka sebagai sebuah negara-bangsa. Pertemuan ini pun hanyalah sebuah usaha untuk meletakkan satu batu di atas batu lain dari fondasi kemajemukan Indonesia.

Flores Pos Feature Agama 3 Januari 2008

Tidak ada komentar: