10 Januari 2008

Agama dan Politik (3/habis)

Politik Lintas Batas

Oleh FRANS OBON


PERTANYAAN terpenting lainnya dalam diskusi ini adalah bagaimana agama-agama di Flores dan Lembata dalam konteks yang lebih mikro berperan mengoreksi politik yang telah berjalan melampaui daya penjelas politik yang logis? Bagaimana agama-agama di Flores dan Lembata membangun relasinya dengan politik negara dalam konteks lokal?
Diskusi yang digelar Dian/Flores tiap bulannya punya satu tujuan yakni mencari relevansi lokal dari setiap masalah yang dianggap berdampak langsung pada masyarakat lokal. Ini jauh dianggap penting karena dengan itu masyarakat lokal terbantu untuk membuat keputusan mengenai apa yang mereka harus lakukan. Karena memang tugas utama media adalah membantu masyarakat agar dapat mengambil keputusan yang berkualitas. Kontribusi media justru di sini bahwa media membantu masyarakat mengerti masalah mereka dan membantu memberikan solusi.

Flores dan Lembata terkenal kental dengan religiusitasnya, kendati demikian masyarakat dihadapkan dengan kenyataan bahwa politik sering diselewengkan oleh kepentingan diri dan kelompok. Lalu, dapatkah agama-agama berdiam diri? Tentu saja tidak bisa. Agama tidak bisa cuci tangan dari semua kotor motor yang melumpuri dunia politik. Kalau politik diarahkan sebagai sebuah pengabdian, maka agama juga mesti mengambil bagian untuk membersihkan politik yang kotor itu.
Terlepas dari dimensi transendentalnya, agama-agama memiliki dimensi imanensi, bahwa agama memberikan arah pada kehidupan bersama. Masing-masing agama memiliki ajaran mengenai keterlibatan mereka di dalam wilayah publik, yang dinamakan ajaran sosial. Dalam perspektif Katolik, ada ajaran sosial Gereja.
Gereja Katolik terkenal dengan struktur atau hirarki yang tersusun rapi. Gereja memiliki ajaran sosialnya, yang disampaikan oleh wewenang mengajar yang dimiliki Magisterium Gereja yakni para paus. Refleksi para teolog atau ahli-ahli Katolik terhadap masalah sosial tidak disebut sebagai ajaran sosial Gereja.
Ajaran sosial Gereja adalah ajaran resmi Gereja Katolik mengenai satu masalah sosial. Karenanya para politisi Katolik hendaknya merasa wajib untuk mengetahui ajaran sosial Gereja ini agar keterlibatan mereka di dalam wilayah publik negara terinspirasi oleh sikap resmi Gereja Katolik.
Pendeta Tarully mengaku bahwa di kalangan Prostestan sekarang ini sedang diusahakan untuk memiliki satu ajaran sosial Gereja. Dengan ini umat akan memiliki satu pegangan dasar dalam menyikapi suatu masalah sosial.
Di dalam Islam, kata Ibnu Alkhatab, Islam sebagai rahmat bagi semua makhluk harus mampu memberikan arah bagi perkembangan ke depan. Ini berarti umat Islam harus meningkatkan kapasitas sosial atau apa yang disebut juga dimensi sosial dari ajaran Islam. Dimensi sosial ini adalah manifestasi dari ajaran Islam dalam kehidupan bermasyarakat. Dimensi sosial ini memperoleh porsi yang jauh lebih besar daripada dimensi ritual.
Menyitir Kuntowijoyo, Ibnu Alkhatab mengatakan, ada dimensi relasional di dalam Islam yakni keberlanjutan yang tak terputuskan antara keimanan dan kenyataan. Surat al-Baqarah ayat 2 dan 3 mengungkapkan tanda-tanda orang yang bertakwa yakni orang bertakwa adalah orang yang percaya kepada kenyataan ghaib, shalat, dan rezeki. Menurut dia, ada hubungan keberlanjutan antara kepercayaan, shalat, dan zakat atau ada hubungan antara iman dan amal shaleh. Pikiran ini menegaskan bahwa orang Islam dapat sekaligus menjadi muslim dan politisi, bahwa antara iman dan amal itu terkait satu sama lain.
Ibnu mengakui, di dalam Islam tidak ada hirarki sebagaimana di dalam Katolik. “Islam tidak mengenal struktur. Setiap individu adalah pemimpin, sehingga tidak ada satu fokus yang bisa menggerakkan”.

DISKUSI perlahan-lahan berarkhir. Pada sesi terakhir diskusi, peserta melihat perlunya kerja sama lintas agama agar daya transformatif dari agama lebih kuat bergema di wilayah publik.
“Gerakan ini perlu lintas agama dan membentuk satu jaringan kerja sama guna membahas dimensi sosial dari ajaran keagamaan,” begitu Romo Feri mengarahkan diskusi. “Kita perlu membangun kerja sama lintas agama untuk kebijakan publik yang berpihak kepada kepentingan umum,” kata Meggy Sigasare.
Namun Romo Sipri mengingatkan peserta bahwa pada tataran konsep gagasan kerja sama lintas agama ini bagus, namun dalam tataran praksis di lapangan konsep ini tidak mudah dilaksanakan. Jangankan lintas agama, menyatukan persepsi dalam kelompok yang punya kesamaan agama pun luar biasa pula sulitnya.
“Menyamakan persepsi itu luar biasa susahnya. Bagaimana kita meyakinkan dan menjaga agar kepentingan pribadi dan kelompok tidak masuk dalam gerakan. Menyamakan persepsi dari kelompok yang punya pekerjaan sama jauh lebih mudah,” katanya. Meski begitu, kerja sama lintas agama dalam memperbaiki praktik politik negara mutlak diperlukan.
Ibnu Alkhatab mengatakan, meski Islam minoritas di Flores, namun Islam telah memberikan kontribusi dalam pembentukan masyarakat yang beradab. “Karena itu tidak ada jalan lain kecuali kita bergandengan tangan melepaskan segala curiga, bersama-sama membangun pulau tercinta ini. Banyak sekali persoalan di dalam masyarakat kita yang membutuhkan kerja sama kita,” katanya.
Menurut dia, salah satu pilar terpenting dalam realitas politik adalah hadirnya kelompok kepentingan yang kuat di dalam masyarakat sehingga masyarakat memiliki basis untuk turut serta mengambil bagian dalam kontrol dan koreksi terhadap kekuasaan. Jika kontrol tidak efektif, semua lapisan masyarakat akan dirugikan.
Relasi agama dan politik dalam konteks lokal ke depan, begitu kata Ibnu, adalah pentingnya membangun hubungan simbiosis mutualistik antara agama dan politik. “Saya kira inilah tugas kita ke depan,” katanya.
Diskusi ini memang pada salah satu kesimpulan akhirnya mengatakan perlunya agama-agama membangun kerja sama lintas agama untuk membangun kesejahteraan bersama. Namun seperti diingatkan oleh Romo Sipri, tidak mudah dalam praksisnya membangun kerja sama lintas agama agar agama dengan daya transformatifnya membarui politik lokal di Flores. Setiap agama memiliki ruang dimana prinsip-prinsip tidak dapat dinegosiasikan atau ditawar-menawarkan. Memang terkadang agama mendesakkan nilai-nilai mereka ke dalam wilayah publik negara sehingga menimbulkan benturan di antara komunitas agama.
Kendati ada hal yang tidak dapat dinegosiasikan, namun ada pula ruang di mana mereka bisa bekerja sama yakni ruang melawan ketidakadilan dan ketidakbenaran serta melawan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) di wilayah Flores dan Lembata, serta menentang segala bentuk penyalahgunaan wewenang. Tentu di sini kita perlu membangun kesadaran bersama bahwa praktik politik yang koruptif akan dapat merusak masa depan kita bersama.
Kalau agama ingin memainkan peran transformatifnya, maka agama harus bisa menarik garis pisah yang jelas dari kekuasaan, atau tidak ikut berkolusi dengan kekuasaan. Ini akan menuntut mereka untuk menjaga independensi mereka dari kekuasaan, sehingga mereka tidak memiliki beban ketika mengontrol kekuasaan.
Pada titik lain, politisi-politisi membangun koalisi lintas agama untuk sebuah pemerintahan yang bersih. Dengan ini politisi kita melintasi batas dan sekat keagamaan mereka untuk mengulurkan tangan kepada satu sama lain.
Membangun politik lintas batas seperti ini akan dapat menangkal segala bentuk penyekatan-penyekatan dalam menyikapi satu masalah, sehingga satu masalah tidak mudah digiring dan dilokalisasi sebagai masalah kelompok agama tertentu.
Keberanian untuk keluar dari politik kesukuan seperti ini memang tidak mudah. Kita memerlukan keberanian besar untuk memulai semua ini. Diskusi ini hanyalah awal dari kemungkinan-kemungkinan yang bisa kita gunakan untuk membangun basis politik lokal yang lebih egalitarian ke depan.

Flores Pos FeatureAgama dan Politik 22 Desember 2007

1 komentar:

ben mengatakan...

Tulisan yang bagus. Paling tidak membuka wawasan baru untuk membagun sebuah dialog yang sungguh komunikatif bagi para pembaca. Sikap eksklusf dan ekstremisme bukanlah hal yang baik karena akan membutakan dialog tersebut....