13 Januari 2008

Agama dan Negara (1)

Menggagas Masyarakat Plural

Oleh FRANS OBON

JUNI 2006 lalu, saya mengikuti seminar dan lokakarya (semiloka) jaringan kerja antariman di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, yang dihadiri para aktivis dari seluruh Indonesia yang peduli dengan pluralisme. Tajuk semiloka adalah “Agama dan Negara”. Semiloka ini ingin membahas agama dan negara dalam konteks masyarakat plural Indonesia. Sangat diharapkan tiap jaringan kerja baik secara pribadi maupun
bersama membantu proses transformasi di dalam masyarakat menuju masyarakat demokratis.
Pertemuan Banjarmasin merupakan pertemuan ketiga. Pertemuan Jaringan Kelompok Antariman – nama pertemuan ini -- pertama kali berlangsung di Malino (2002). Dalam pertemuan ini dikemukakan soal relevansi kehadiran dan kegiatan kelompok antariman dalam konteks hubungan antariman serta hubungan agama dan masyarakat. Sebab kelompok-kelompok yang peduli dengan masalah pluralisme agama bertambah banyak di tengah meningkatnya kekerasan berlatarbelakang agama. Bagaimana mengefektifkan kerja antarkelompok ini perlu dibentuk jejaring kerja sama sehingga energi menjadi lebih besar.
Pertemuan kedua berlangsung di Candi Dasa Bali (2003) yang menghasilkan tiga agenda utama yakni advokasi mengenai masalah-masalah yang berkaitan dengan isu agama dan masyarakat dalam hubungan dengan negara, menyelenggarakan pelatihan bagi pelatih sebagai sarana penguatan jaringan, dan mengembangkan pusat informasi dan komunikasi.
Pertemuan ketiga di Banjarmasin, Kalimantan Selatan ini dimaksudkan selain mengevaluasi tindak lanjut dua pertemuan sebelumnya, juga bagaimana Jaringan Kelompok Antariman ini menjadi sebuah gerakan sosial yang membantu masyarakat dalam proses transformasi agama dan kehidupan sosial.
Pertemuan empat hari (11-14 Juni) yang berlangsung di wisma Shikar milik Keuskupan Banjarmasin diselenggarakan Dian/Interfidei yang diketuai Elga Sarapung bekerja sama dengan Lembaga Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan (LK3) dan Forum Dialog (Forlog) Kalimantan Selatan.
Banjarbaru, tempat pertemuan berlangsung sedang bertumbuh menjadi sebuah kota modern. Kekayaan alam yang melimpah di bumi Kalimantan amat terlihat dari pembangunan kota tersebut. Martapura, misalnya, kota cukup megah. Tetapi seperti kota-kota lainnya di Indonesia yang tengah berubah menuju kota modern, kemiskinan selalu bertetangga dengan kemakmuran. Para pengemis datang dengan rantang menadah uang recehan dari para pembeli.
Sesi pertama pagi hari empat narasumber mempresentasikan makalah mereka yakni Trisno S Sutanto dari Masyarakat Dialog Antar Agama (Madia), Mariatul Asiah dari Lembaga Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan (LK3) Kalimantan Selatan dan Listia dari Dian/Interfidei. Sutanto membawakan tema “Menuntut Jaminan Kebebasan Berkeyakinan”, makalah Mariatul Asiah “Perda Syariat, Membebaskan atau Mengikat, Implikasi dalam Kehidupan Masyarakat”, sedangkan Listia mempresentasikan penelitiannya mengenai pendidikan agama di sekolah umum, dan H Azwar Hasan mengenai “Penegakan Syariah Islam di Indonesia, Pengalaman dan Perspektif KPPSI (Komite Persiapan Penegakan Syariat Islam) Sulawesi Selatan.
Sutanto mengatakan, konflik agama dan kekerasan atas nama agama oleh kelompok-kelompok dalam masyarakat telah melukai toleransi yang menjadi sendi kehidupan bersama. Toleransi dan sikap moderasi adalah sendi pluralisme. Persoalan inti yang menyanggah tatanan masyarakat multireligius adalah kebebasan berkeyakinan sebagai terjemahan dari kata religious freedom. Menurut dia, kebebasan berkeyakinan jauh lebih memadai dibandingkan dengan kebebasan agama. Karena jika menggunakan kebebasan beragama, negara bisa saja sewenang-wenang terhadap kelompok yang “belum beragama” menurut definisi negara.
Dalam konteks kekerasan atas nama agama, Sutanto melihat tiga pola dasar. Pertama, politik pembiaran baik oleh negara maupun aparat keamanan yang berada di lapangan saat peristiwa terjadi. Praktik politik pembiaran ini menjadi lebih kompleks ketika negara yang seharusnya menjadi pihak netral, justru terkesan kuat tidak memiliki sikap tegas dalam soal jaminan hukum kebebasan berkeyakinan.
Kedua, pada tataran legislasi terasa sekali kekosongan mekanisme produk hukum yang mengikat (legally binding products) yang melindungi hak-hak asasi kebebasan berkeyakinan, sekalipun proses reformasi berhasil mengamandemen UUD 45 dan memasukkan pasal HAM di dalamnya. Jaminan konstitusional ini masih bersifat normatif-etis, namun belum diterapkan secara konkret.
Ketiga, pada tataran masyarakat, terlihat beberapa kecenderungan yang mengkhawatirkan yakni radikalisasi paham keagamaan. Proses radikalisasi ini terlihat dengan maraknya organisasi milisi sipil.
Apa yang dilakukan ke depan. Sutanto menawarkan 5 agenda tindak lanjut. Pertama, mendesak terus menerus baik melalui gerakan politik maupun opini publik agar pemerintah mengambil sikap tegas dalam menjamin hak-hak kebebasan berkeyakinan, yang merupakan hak asasi setiap orang.
Kedua, mendesak terus aparat keamanan agar mengambil tindakan tegas terhadap aksi-aksi sekelompok kalangan yang mengambil cara-cara kekerasan baik fisik maupun simbolik dalam menyikapi perbedaan pandangan dan keyakinan.
Ketiga, sikap tegas pemerintah meninjau kembali keberadaan UU No. 1/PNPS/1965 yang memberikan “pasal-pasal karet” yang dijadikan alat untuk memberangus kebebasan berkeyakinan.
Keempat, mengambil inisiatif, mengajukan dan mendorong proses legislasi produk hukum yang mengikat untuk menjamin kebebasan berkeyakinan secara konkret seperti RUU Kebebasan Berkeyakinan atau RUU Anti Diskriminasi.
Kelima, kampanye dan pendidikan pluralisme pada masyarakat luas yakni kesediaan untuk menerima dan menghargai keberagaman dan keyakinan.

LISTIA dari Dian/Interfidei menyajikan hasil penelitian pendidikan agama di sekolah umum di Yogyakarta mulai April 2004 hingga Juli 2006. Penelitian ini menggunakan empat kategori yakni (1) sekolah negeri dengan siswa menganut berbagai agama dan proses belajar agama dipisahkan; (2) sekolah swasta dengan siswa menganut beragam agama tetapi mempelajari satu agama tertentu secara bersama; (3) sekolah swasta dengan siswa menganut beragam agama dan belajar agama secara terpisah; (4) sekolah swasta dengan agama siswanya sama dan belajar agama bersama-sama. Ada 34 sekolah yang diteliti.
Menurut Listia, asumsi bahwa pergaulan kelas yang hanya dengan satu kelompok agama dan mendapat informasi hanya satu agama dengan sendirinya membuat siswa sektarian, tidak sepenuhnya terbukti. Karena masih ada faktor luar yang ikut berperan. Namun penelitian ini juga memperlihatkan bahwa pemisahan siswa saat pembelajaran agama merupakan sebuah proses pembiasaan dan penanaman kesadaran bahwa agama adalah sesuatu yang memisahkan manusia.
Mengetahui cara pandang yang dibangun dalam pendidikan agama, penelitian juga dilakukan atas kurikulum pendidikan agama dari sekolah dasar hingga sekolah lanjutan tingkat atas. Kurikulum yang dikaji adalah Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) 2004.
Pada bagian tujuan, kurikulum ini memuat tentang pentingnya menghormati agama lain dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun tujuan ini tidak tergambar dalam bagian-bagian lain kurikulum.
Kurikulum pendidikan agama Hindu dan Budha hanya membahas aspek normatif dalam agama Hindu dan Budha. Kurikulum agama Kristen Protestan dan Islam, di samping membahas aspek normatif, aspek sosial keagamaan juga diangkat cukup jelas tetapi tidak ada pembahasan tentang hal-hal yang berkaitan dengan perbedaan agama kecuali ajaran untuk saling menghormati sebagaimana yang lain. Hanya kurikulum agama Katolik yang disamping membahas aspek normatif, dalam membahas aspek-aspek sosial terdapat juga tema-tema yang berkaitan langsung dengan konsekuensi hidup dalam masyarakat majemuk. Dalam kurikulum SMA dibahas masalah menjalin dialog dengan agama-agama lain dan juga tentang kemungkinan pernikahan beda agama berkaitan dengan hak-hak asasi manusia.
Di Yogyakarta, ada dua sekolah yang melakukan eksperimen tidak menyelenggarakan pendidikan agama, melainkan pendidikan religiusitas yakni di SMA BOPKRI I dan SMA Santa Maria. Saat pelajaran agama, para siswa tidak dipisahkan sesuai dengan jenis agama, melainkan secara bersama-sama mengkaji nilai-nilai dalam setiap agama melalui refleksi tentang kehidupan sehari-hari.
Penelitian ini juga menyampaikan bahwa pendidikan agama tidak otomatis bermanfaat membentuk cara berpikir dan beragama peserta didik. Peran media massa seperti televisi, majalah, dan internet sangat besar menentukan corak dan bersikap terhadap kelompok agama yang berbeda. Pelajaran agama yang disampaikan guru agama hanya menjadi salah satu alternatif sumber.
Karena itu guru agama, menurut penelitian ini, perlu pula mendapat pelatihan untuk memperluas wawasan tentang pluralitas dan multikulturalitas masyarakat.
Semua usaha ini tidak lain adalah hendak menggagas masyarakat plural, di mana perbedaan tidak menjadi jurang pemisah, namun memperkaya perspektif dalam melihat kehidupan. Namun seringkali suara menggagas masyarakat plural tenggelam di tengah kuatnya suara penonjolan identitas dengan menegasikan identitas lainnya.




Flores Pos Feature Agama 29 Desember 2007


Tidak ada komentar: