10 Januari 2008

Agama dan Politik (2)

Askese Politik

Oleh FRANS OBON

SATU dari dua Air Conditioner (AC) di ruang Bung Karno, Penerbit Nusa Indah tidak berfungsi sehingga pintu dan jendela aula dengan kapasitas 50-an orang itu dibuka. Hari itu cuaca agak panas. Namun moderator diskusi Romo Feri Dheidae Pr dengan tangkas memfokuskan diskusi sehingga diskusi berjalan lancar dan enak. Waktu 3,5 jam diskusi tidak terasa. Romo Feri mudah mengarahkan pembicaraan agar tidak melebar karena dia sendiri seorang sosiolog.

Meggy Sigasare dalam sesi diskusi menyebutkan sederetan nama (tokoh-tokoh Katolik) baik asal Flores dan Lembata maupun dari daerah lainnya di pentas politik nasional, yang menurut orang Katolik memiliki reputasi politik yang cukup baik. Mereka memainkan peran penting dalam periode sejarah bangsa ini. Frans Seda, Ben Mangreng Say, Jacob Nuwa Wea, JB Sumarlin, Cosmas Batubara, Sony Keraf – mengenai Sony Keraf, saya dengar sendiri dari anggota DPR RI dari PDI Perjuangan Tjahyo Kumolo di Hotel Aston di dekat kampus Atmajaya Jakarta pada bulan Juni lalu bahwa Sony Keraf tergolong tokoh yang bersih di PDI Perjuangan dan di DPR RI. Sangat konsisten dan memiliki moralitas politik yang cukup baik.
Menurut Meggy, jika melihat riwayat hidup tokoh-tokoh politik dari golongan Katolik ini tidak terlepas dari campur tangan Gereja (baca hirarki). Mengapa sekarang tidak ada lagi hirarki Gereja memiliki kepedulian seperti itu?. Paling tidak Meggy mau mengatakan bahwa ketika hirarki melepaskan diri dari proses pengkaderan dalam politik ini, hampir tidak ada lagi tokoh-tokoh Katolik sekaliber orang-orang yang disebutkan tadi. Dengan ini Meggy ingin menegaskan bahwa perlu sekali intervensi (hirarki) Gereja dalam mengkaderkan tokoh-tokoh politik Katolik.
Pembicaraan mengenai kontribusi agama untuk mengoreksi praktik politik yang menyeleweng dari tujuan sejatinya amat kuat terlihat dalam diskusi. Meski terdapat keraguan juga bahwa moralitas agama seakan tidak berpengaruh lagi dalam perilaku politik elite politik lokal kita.
Kanis Nangge mengatakan, sebelum mereka menduduki jabatan politik, semisal menjadi anggota DPRD, mereka amat dekat dengan tokoh agama dan berkomitmen untuk membarui praktik politik yang menyimpang. Bahkan hampir setiap hari selalu dekat dengan tokoh-tokoh agama. Tetapi begitu sudah duduk di Dewan, mereka sudah lupa dan hilang terus.
Perilaku habis manis sepa dibuang ini memang sedang menghinggapi banyak politisi lokal kita. Politik sebagai ruang dengan serba kemungkinan dimanfaatkan untuk tujuan kepentingan diri dan kelompok. Romo Sipri mengakui bahwa dia dan beberapa imam ikut mendorong beberapa orang partai untuk duduk di Dewan. Tapi begitu mereka mendapatkan tujuannya yakni duduk di kursi Dewan, mereka sudah lupa dan tidak pernah datang lagi. Kalau ada yang bilang Gereja perlu mengundang tokoh-tokoh Katolik untuk berdialog dan duduk bersama, itu semua sudah dilakukan. Tapi pertemuan hanya sekali saja, semua itu hilang. Tidak ada lagi yang datang.
Apa bedanya tokoh politik di masa lalu dengan yang sekarang? Pdt Tarully bilang, politisi pada saat negara ini merdeka dan masa-masa awal kemerdekaan memiliki perjuangan yang murni. Sekarang semua orang berjuang untuk kepentingan dan kekuasaan. Kita orang kristen harus belajar mengosongkan diri.
Bolehlah dibilang, sebagian besar peserta diskusi melihat agama berperan untuk mengoreksi praktik dan perilaku politik tanpa etika politik. Ketua Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat (STPM) Santa Ursula Ende Suster Mariana Ita Batmomolin OSU berpendapat bahwa agama akan mengembalikan politik ke fungsinya yang asali yakni mengabdi pada kesejahteraan rakyat. Politik itu juga harus berlandaskan iman dan institusi agama sebagai institusi moral mesti menjalankan fungsi kontrolnya. “Jika tidak ada moral dalam politik, agama bertugas mengembalikan politik ke tujuannya yakni kepentingan rakyat,” kata Suster Ita.
Dalam konteks Katolik, Gereja menjalankan fungsi kenabian agar politik mengabdi kepentingan umum dan mengembalikan politisi ke Tuhan.
Irama Pelaseke, Koordinator Universitas Terbuka di Ende juga sependapat bahwa agama lebih banyak berperan sebagai pesan moral. Pemimpin agama mengajak umat kembali ke jalan yang benar supaya politik dilaksanakan untuk kepentingan banyak orang. Karena itu ada saat-saat di mana politik dan agama bertemu.

AGAMA dan politik, bagaimana sebuah ruang bisa tercipta. Kalau agama dan politik memiliki otonomi masing-masing, adakah sebuah ruang di mana keduanya bisa bertemu?
Pertanyaan lainnya, bagaimana moralitas agama itu memainkan perannya di dalam moralitas politik. Kekuasaan politik memberikan pertanggungjawaban kepada rakyat yang memilihnya melalui wakil-wakil rakyat di parlemen. Pertanggungjawaban bisa juga melalui transparansi pelaksanaan politik pemerintahan agar rakyat bisa melihat bagaimana kekuasaan dilaksanakan dan rakyat bisa berpartisipasi di dalamnya melalui medium pembentukan opini publik.
Salah satu medium pembentukan opini publik sekaligus menjadi tempat di mana orang bisa berpendapat adalah melalui media massa. Karena itu, menurut Pendeta Tarully, amat disayangkan kalau seorang pemimpin tidak mau baca koran. Padahal melalui koran seorang pemimpin bisa mengetahui apa kehendak rakyatnya.
Direktur Pusat Pastoral Keuskupan Agung Ende Romo Cyrilus Lena mengatakan, pemerintah bertanggung jawab kepada rakyat. Namun dalam konteks nilai, kita berhubungan dengan agama, tergantung nilai apa yang kita perjuangkan.
Dalam diskusi ini, yang disebutnya sebagai satu bentuk pencerahan dalam melihat hubungan agama dan politik, dosen STPM Santa Ursula, Aloysius Kelen mengatakan, negara dibentuk untuk mencegah egoisme politik orang perorangan. Negara dibentuk agar rakyat jangan dikuasai oleh orang perorangan. Negara punya peran moral dan bertugas mendidik rakyat. Apakah ada jaminan negara itu bermoral?
Yang perlu ditegaskan di sini adalah, jika ada politisi yang tidak lagi memperhatikan moralitas politik karena menjalankan politik secara liar, tidak berarti bahwa agama tidak ada gunanya lagi dalam praktik politik. Kalau ada politisi rajin beribadah, tapi perilaku politiknya jauh dari etika politik tidak berarti agama sama sekali tidak penting untuk politik. Agama tetap penting dalam politik. Bagaimana hal itu dijelaskan?
Kesulitan memang terletak di sini. Dalam konteks politik dan negara modern, ada dua distingsi yang jelas, atau terdapat dua wilayah yang berbeda. Satunya wilayah privat dan satunya wilayah publik. Dalam teori ini, agama masuk dalam wilayah privat sedangkan negara masuk dalam wilayah publik. Yang privat tidak bisa mengatur wilayah publik. Misalnya aturan satu komunitas agama tidak bisa dipaksakan ke dalam wilayah publik negara, karena akan berbenturan dengan komunitas agama lainnya. Nilai dan keyakinan yang dianut satu komunitas agama tidak bisa dipaksakan untuk diyakini dan dianut oleh komunitas agama lainnya.
Di sini negara mengandaikan adanya moralitas publik, sedangkan agama mengajarkan moralitas pribadi. Moralitas publik ada di dalam wilayah negara, sedangkan moralitas agama ada di dalam wilayah privat. Seperti yang dikeluhkan, orang yang paling rajin beribadah pun belum tentu menjadi orang baik dalam moralitas publik. Orang itu bisa begitu rajin berpuasa, beribadah, beramal, dan kegiatan religius lainnya, namun dia bisa saja melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme di wilayah publik. Di sini dia melanggar moralitas publik.
Moralitas agama bukan tidak ada manfaatnya untuk moralitas publik. Konsep askese di dalam agama misalnya adalah sebuah latihan untuk menahan nafsu, keinginan, dan godaan penggunaan kekuasaan yang tidak terkendali. Konsep askese ini dapat diterapkan dalam politik kekuasaan, yakni menahan diri dari godaan untuk menyalahgunakan kekuasaan. Konsep ini juga dapat diterapkan dalam politik yakni mematikan kepentingan diri sendiri demi kepentingan yang lebih besar.
Intinya adalah bagaimana moralitas agama menjadi darah daging di dalam diri politisi untuk mengejawantahkannya dalam moralitas publik negara. Terminologi Kristen: bonum facere, malum vitandum yang berarti lakukan kebaikan, hindarilah kejahatan merupakan perintah moral keagamaan yang dapat diimplementasikan dalam praksis politik.
Ini tidak lain adalah usaha agar yang dikejar dalam agama bukanlah terutama kesalehan pribadi melainkan kesalehan sosial. Konsep askese di dalam agama masih dianggap relevan untuk praktik dan perilaku berpolitik.

Flores Pos FeatureAgama dan Politik 21 Desember 2007

Tidak ada komentar: