13 Januari 2008

Agama dan Negara (2)

Di Mana Tempat Kami…

Oleh FRANS OBON


PERTEMUAN Kelompok Jaringan Antariman memberi prioritas penting bagi tatanan masyarakat yang majemuk. Karenanya setiap organisasi atau yayasan ataupun inisiatif pribadi di dalam kelompok jaringan amat menghargai setiap perbedaan pandangan dan keyakinan. Pesertanya pun dari berbagai macam latarbelakang baik agama, keyakinan, maupun etnis di seluruh Indonesia. Meski berbeda, mereka berada dalam satu komitmen mendorong penerimaan pluralisme sebagai fenomena tak terhindarkan dari kehidupan bersama.

Barangkali sesi pertama pagi hari inilah yang paling mengesankan. Pada sesi ini Mariatul Asiah dari Lembaga Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan (LK3) Kalimantan Selatan menyeringkan pengalaman Kabupaten Banjar dalam pembuatan dan pelaksanaan Perda Syariat Islam ketika membahas tema “Peraturan Daerah (Perda) Syariat, Membebaskan atau Mengikat: Implikasi dalam Kehidupan Masyarakat” dan H Aswar Hasan membawakan tema “Penegakan Syariat Islam di Indonesia, Pengalaman dan Perspektif KPPSI Sulawesi Selatan”. Sebetulnya dalam sesi ini Jacky Manuputty membawakan “Dinamika Pluralitas Masyarakat Pasca Konflik (Kasus Ambon)”, namun Jacky terlambat tiba.
Presentasi Mariatul Asiah mengenai Perda Ramdhan, Perda Jum’at Khusyu dan Perda Khatam Al Quran di Kabupaten Banjar menarik perhatian peserta karena ingin mengetahui seperti apa Perda Syariat itu.
Sebelum menyajikan poin-poin penting dari Perda Syariat, Mariatul menyebutkan latar filosofis, sosiologis, dan yuridis lahirnya Perda-Perda itu. Kalimantan Selatan berpenduduk 3,2 juta, dengan penduduk beragama Islam 2,9 juta. Jumlah pesantrennya 140 buah dan jumlah santri 54 ribu orang. Daerah ini, katanya, telah melahirkan ulama besar seperti Syekh Muhamad Arsyad Al Banjary dan KH Idham Khalid, dan kegiatan keagamaan pun marak.
Keinginan menerapkan syariat Islam ini juga dipicu kuatnya pengaruh wacana dan gerakan penerapan Syariat Islam di Indonesia, UU Otonomi Daerah No. 22/1999 dan UU No. 32/2004, meningkatnya kriminalitas, termasuk ingin meneguhkan jati diri sebagai daerah Islam dengan julukan serambi Mekkah atau dalam sejarah disebut oleh Belanda bahwa Martapura sebagai daerah yang kuat kehidupan keislamannya. Selain itu Perda ini perlu untuk terciptanya suasana kondusif pada bulan Ramadhan, agar umat Islam tenang dalam melaksanakan ibadah Jumat, dan setiap peserta didik/pelajar termotivasi membaca Qur’an secara benar.
Mariatul memberikan contoh substansi Perda.
* Perda Ramadhan: Dilarang membuka restoran, warung, rombong, dan yang sejenisnya pada bulan Ramadhan di wilayah Kabupaten Banjar. Pelanggaran terhadap ketentuan ini diancam kurungan pidana 3 (tiga) bulan dan atau denda paling banyak Rp2.500.000.
* Perda Jumat Khusyu’: Bagi masyarakat pengendara dan penumpang kendaraan (baik darat maupun air) agar dapat menghentikan kendaraannya guna melaksanakan ibadah sholat Jum’at dan atau menggunakan alternatif lain atau menunda sejenak perjalanannya sampai berakhirnya waktu pelaksanaan Jumat khusyu’.
* Perda ini juga menyebutkan: “Wajib menghentikan aktivitas seperti jual beli di sekitar masjid, aktivitas pabrik di sekitar masjid, penggunaan mesin/alat yang menimbulkan kebisingan, permainan/hiburan yang menimbulkan suara yang dapat mengganggu sholat Jumat
* Perda Khatam Al Quran : Setiap peserta didik yang akan menyelesaikan pendidikannya dalam suatu jenjang pendidikan diwajibkan memiliki kemampuan baca dan tulis dan Khatam Al Quran berdasarkan jenjang pendidikan dan akan diberi sertifikat. Bagi Peserta didik yang tidak memenuhinya dikenakan sanksi peringatan lisan dan tulisan.
Mariatul menyebutkan beberapa implikasi Perda:
*Perda Ramadhan: Sektor usaha kecil tidak dapat menjalankan usaha, tidak ada jaminan sosial dari pemerintah pada bulan Ramdhan, serta susahnya akses mencari makanan bagi masyarakat yang tidak dapat melaksanakan ibadah puasa.
*Perda Jumat Khusyu: Mulai ada kebingungan dari masyarakat khususnya perempuan apakah mereka bisa berbelanja pada siang hari Jumat di Martapura. Apabila dilaksanakan secara konsekuen maka kendaraan penumpang/pribadi tidak boleh lewat pada saat dimulainya Ibadah Jumat, dalam hal ini karena Martapura merupakan jalur utama transportasi darat dari Banjarmasin menuju kabupaten lain di daerah hulu.
*Perda Khatam Al Quran: menegasikan peran guru-guru mengaji tradisional yang ada di Martapura dan menambah “beban” kepada murid karena ada sanksi pemanggilan orang tua.
Dia memberikan rekomendasi:
Pertama, perlu penggalian lebih jauh dasar-dasar filosofis, sosiologis, dan yuridis dalam pembuatan Perda-Perda berdimensi agama sehingga tergambar secara jelas mengapa Perda tersebut diperlukan. Dan kalaupun ada perda yang berdimensi agama hendaknya bersifat universal sehingga bisa diterima sebagai sebuah perda yang bisa berlaku bagi setiap orang.
Kedua, Perda-Perda berdimensi agama di Kabupaten Banjar yang ada saat ini belum menjawab kebutuhan masyarakat secara mendasar seperti sandang, pangan, dan papan, namun perda tersebut lebih ke arah tertib sosial, dalam konteks ini maka ada dua hal yang menjadi pertimbangan, pertama, apakah perda tersebut yang lebih dibutuhkan masyarakat dalam menunjang kehidupan sehari-hari, kedua, bagaimanapun secara konseptual dan praktis telah ada dampak dari perda tersebut terhadap kebebasan sipil (civil liberties).
Ketiga, Yang lebih penting bagi Kabupaten Banjar di bidang keagamaan sebetulnya adalah peningkatan mutu lembaga pendidikan keagamaan/pesantren yang telah ada saat ini di mana keberadaannya memprihatinkan, baik dari sisi gaji para guru pengajar, akses terhadap air bersih, asrama, pembiayaan proses belajar mengajar, pengadaan kitab-kitab gratis.
Presentasi H Aswar Hasan tidak kalah menariknya mengenai usaha penegakan Perda Syariat di Sulawesi Selatan. Menurut dia, wilayah Sulawesi Selatan telah diklaim sebagai “Serambih Madinah” karena Aceh adalah “Serambi Mekkah” telah menerapkan Syariat Islam. Kalau Aceh diberi otonomi khusus untuk melaksanakan Syariat Islam, mengapa tidak untuk Sulawesi Selatan?
KPPSI, katanya, senantiasa berjuang secara konstitusional sesuai prosedur hukum yang berlaku dengan cara demokratis dan tetap dalam bingkai negara kesatuan Republik Indonesia. Adapun strategi yang ditempuh adalah dengan bertumpu pada fakta mayoritas umat Islam Sulawesi Selatan sebagai inspirasi dan aspirasi politik yang berhak diakomodir untuk dijadikan sebagai keputusan politik yang mengikat dan mengatur. Menurut dia, KPPSI yakin syariat Islam adalah solusi krisis multidimensional yang mendera bangsa Indonesia.
Dalam pertemuan kelompok jaringan antariman ini, semua pendapat dianggap sah karena mencerminkan masing-masing perspektif yang saling memperkaya dan mesti dihargai. Tetapi semuanya berlandaskan pada semangat dialog, saling menyeringkan dan membagi kekayaan pengalaman.
Pada sesi dialog, umumnya peserta menyoroti pembuatan dan pelaksanaan Perda Syariat dari dua sudut pandang yakni hubungan agama dan negara dan di mana tempat yang nonmuslim dalam konteks pelaksanaan Perda Syariat.
Masalahnya adalah bagaimana hukum satu agama berlaku di wilayah publik, atau bagaimana hukum agama dioper ke dalam wilayah publik, tempat di mana semua orang dari berbagai latarbelakang berinteraksi. Artinya ada kelompok masyarakat yang tidak menghayati hukum dan nilai-nilai tersebut, tapi hukum dan nilai itu diberlakukan di wilayah publik negara. Jika hukum satu agama diberlakukan di wilayah publik negara, bagaimana dengan konsep pluralisme.
Trisno S Susanto dari Masyarakat Dialog Antar Iman (Madia) mengatakan, saat menyusun dan membuat Perda Syariat di manakah tempat orang-orang nonmuslim? Apakah dianggap nobody, no person karena kita hidup bersama, kecuali kalau kita kapling-kapling. Apakah kehadiran nonmuslim ada di dalam Syariah. “Di mana tempat kami yang nonmuslim di dalam Perda Syariat itu,” katanya.
Aswar Hasan langsung saja menjawab, “Karena kalian ada, maka syariat ada,”.
Dengan jawaban itu, sesi ini ditutup, dijeda oleh makan siang, lalu dilanjutkan dengan sesi kedua yang mempresentasikan perspektif masing-masing agama mengenai hubungan agama dan negara. Pastor Yong Ohoitimur MSC dari Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Manado membahas hubungan agama dan negara dari perspektif Katolik, Zakaria Ngelow dari Forum Dialog (Forlog) Sulawesi Selatan membicarakan perspektif Protestan, dan Qassim Matthar dari UIN-Alaudin Makassar membicarakan perspektif Islam.


Flores Pos Feature Agama 31 Desember 2007

Tidak ada komentar: