18 November 2007

Parpol dan DPRD

(Soal PP 37/2006)

Oleh FRANS OBON

Perlawanan terhadap Peraturan Pemerintah (PP) 37/2006 tidak saja berasal dari rakyat, yang tidak ingin wakilnya menari di atas kemelaratan mereka. Tetapi juga dari partai politik (parpol), tempat asal wakil rakyat itu. Partai Golkar, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, dan Partai Keadilan Sejahtera meminta wakil mereka di parlemen (DPRD) untuk tidak menerima tunjangan sebagaimana diatur dalam peraturan pemerintah tersebut.

Sekretaris Jenderal Departemen Dalam Negeri Progo Nurdjaman di Jakarta Senin (5/1) meminta partai politik bersikap tegas soal peraturan pemerintah. Jika parpol tidak setuju, pemerintah mengancam akan mencabutnya dan anggota dewan hanya menerima gaji.
Tetapi efektifkah perintah partai itu? Seandainya partai serius, sanksi apa yang akan diberikannya kepada anggota yang melawan?
Ini adalah masalah klasik. Soal hubungan anggota Dewan dengan partai sebagai induk semangnya. Kejadian demi kejadian, anggota Dewan tidak peduli dengan kebijakan partai. Mereka adalah bola liar yang siap menangkap dan ditangkap oleh kepentingan pragmatis. Sesuai dengan logika politik itu sendiri: pragmatisme. Siapa mendapatkan apa, di sini dan sekarang (hic et nunc).
Larangan ini mesti dilihat dalam konteks pragmatisme yang digandrung dalam politik. Partai politik dalam logika pragmatisme akan menangkap setiap isu dan meresponnya demi pembentukan citra partai. Karena itu partai politik akan mengikuti setiap informasi yang berkembang dan meresponnya demi mendapatkan simpati rakyat. Karena itu larangan partai politik agar anggotanya di parlemen daerah tidak menerima tunjangan yang ditentukan dalam peraturan pemerintah itu dilihat sebagai pragmatisme politik. Larangan diberikan karena perlawanan dari daerah. Sebab itu kita jangan mengharapkan terlalu banyak dari larangan ini. Tidak akan ada sanksi.
Sebaliknya anggota Dewan juga bersikap pragmatis dalam hal ini. Dalam masa kampanye, mereka telah mengeluarkan biaya kampanye (political cost) yang cukup besar, yang juga jatuh ke tangan masyarakat. Sikap aji mumpung di kalangan dewan merupakan buah dari pragmatisme dalam politik. Kompetisi, biaya kampanye yang melangit jelas akan memperkuat sikap pragmatis ini.
Dalam konteks inilah, kita sangat yakin bahwa larangan partai politik kepada para anggota dewan untuk tidak menerima tunjangan yang diatur dalam peraturan pemerintah sudah pasti tidak akan diikuti. Di sini mungkin akan terjadi “perkelahian” antara partai politik dan anggota dewan. Tetapi “perkelahian” itu bukan soal kepentingan rakyat, tetapi kepentingan parpol dan dewan itu sendiri.
Yang paling penting adalah rakyat sendiri harus berani melakukan perlawanan. Ketika masyarakat sendiri bersikap permisif, maka pada saat itu kelaliman, kesewenangan akan menimpa mereka.

Flores Pos | Bentara | Parpol
|17 Januari 2007 |

Tidak ada komentar: