18 November 2007

Kekuasaan Harus Digunakan untuk Rakyat

Oleh FRANS OBON

Ada satu sisi yang perlu dibahas dalam polemik pembangunan Korem yang dikemas dengan sebutan batalyon dan suara protes masyarakat Desa Kuru, Kecamatan Kelimutu Kabupaten Ende. Sisi itu adalah sebuah pertanyaan mendasar: untuk siapa kekuasaan digunakan.
Hal ini perlu disuarakan ke depan publik baik kepada bupati, DPRD, partai politik yang menjadi mesin produksi kekuasaan politik, militer, maupun kepada mosalaki. Pertanyaan ini dianggap penting agar kita dibangunkan kesadarannya bahwa apapun yang kita putuskan dalam masalah pelik seperti ini, haruslah mengutamakan nilai, martabat, dan pribadi manusia.

Hal ini penting juga disampaikan agar setiap kita mengedepankan argumen yang selalu mempertimbangkan nilai, martabat, dan pribadi manusia, terutama yang lemah dan hina dina, orang miskin papa yang tidak bisa membela dirinya. Agar kita dalam membuat pernyataan dan memproduksi wacana tidak dilandaskan pada kepentingan politik sesaat, tetapi melihat persoalan jauh ke depan. Kita patut mempertimbangkan konsekuensi dan dampak buruk untuk sekian tahun ke depan. Ini penting agar ketika kita berada di puncak kekuasaan, keputusan kita tidak mengorbankan orang yang miskin yang tidak berdaya.
Kitapun patut menanyakan hal ini terutama kepada tuan-tuan mosalaki di kampung-kampung kita: untuk siapa kekuasaan mosalaki. Bukankah kekuasaan mosalaki mesti digunakan sebesar-besarkannya untuk kepentingan ana kalo fai walu? Bukankah kekuasaan mosalaki itu tidak boleh digunakan untuk kepentingan dirinya sendiri? Bukankah kekuasaan mosalaki dalam penggunaannya tidak boleh mengorbankan ana kalo fai walu?
Kekuasaan para mosalaki memang diperoleh turun temurun (ascribed status) tetapi tidak berarti dipergunakan untuk melukai kepentingan ana kalo fai walu. Justru sebaliknya seorang pemimpin harus berada di depan untuk membela kepentingan rakyatnya.
Di dalam sejarah bangsa-bangsa, kita tahu bahwa kekuasaan tuan-tuan tanah ini memang seringkali disalahgunakan. Persekongkolan, persekutuan ekonomi, politik, dan kepentingan di antara tuan-tuan tanah sudah sering pula mengorbankan rakyat sederhana, yang mereka sebut penggarap.
Penggarap di sini mestinya dipahami sebagai rakyat dan pemimpin adalah pengatur kebersamaan dalam satu persekutuan. Ketika kita memahami penggarap sebagai “orang yang menumpang sementara” yang sewaktu-waktu dapat disuruh pergi, maka di situ kekuasaan akan berjalan secara otoriter. Tetapi kalau kita memahami penggarap, ana kalo fai walu, apapun status mereka dalam persekutuan adat itu adalah rakyat yang harus dilindungi, maka kekuasaan akan dipergunakan untuk kepentingan mereka. Kita berharap agar ke depan, tuan-tuan mosalaki kita di kampung-kampung sungguh-sungguh menjadi pembela rakyat mereka sendiri. Sebab hanya mereka yang bisa membela diri mereka sendiri.

Flores Pos | Bentara | Kekuasaan
| 13 Desember 2006 |


Tidak ada komentar: