09 November 2007

Ladur dari Bupati ke Bupati (1)

Sebuah desa telah puluhan tahun hidup dalam krisis air bersih. Desa ini tidak pernah sekalipun dikunjungi oleh bupati-bupati Manggarai. Padahal Desa ini terletak di pinggir jalur utama Reo-Ruteng.

Oleh: FRANS OBON

KAMPUNG di atas bukit itu terasa kerontang ketika matahari mulai menanjak naik. Sinar ultraviolet membakar kulit-kulit penghuninya. Makin menanjak, matahari makin panas. Orang-orang di dalam rumahpun makin gerah. Karena hampir semua rumah penduduk beratap seng tanpa plafon.

Kampung Ponto, satu dari enam kampung di Desa Ladur, Kecamatan Cibal, Kabupaten Manggarai. Desa Ladur terdiri dari enam kampung yakni Ladur, Ponto, Kukung, Nara, Wancang, dan Timbang dan terletak di pinggir jalur utama Ruteng-Reo.

Kampung tua ini berada di atas bukit, sehingga begitu matahari terbit langsung sinarnya menyandar pada bukit ini. Tidak ada lagi yang menghalangi sinar matahari karena kampung itu dikelilingi kebun – lingko wae pering di sebelah timur, lingko ponto di sebelah utara, lingko tuke di sebelah barat dan tanah gereja dan sekolah di sebelah selatan.

Di halaman di tengah kampung – natas bahasa setempat – gadis-gadis dan beberapa ibu bermain bola voli di bawah terik matahari. Hari itu, Minggu, 26 Agustus 2007. Bola voli hanyalah sebuah jeda. Air terlalu banyak menyita waktu mereka.

Pagi-pagi buta, tiap hari, kaum ibu dengan membawa beberapa jeriken dan teong (bambu) menimba air di wejang (mata air) wae ponto. Jarak kampung dan mata air hanya 150 meter. Terasa jauh karena letak air di lembah. Mereka akan mendaki dari mata air ke kampung sambil memikul teong dan jeriken air. Betapa beratnya. Bermandikan keringat.

Kalau pada jam yang sama, sebagian besar warga kampung pergi menimba air, maka mereka harus menunggu berjam-jam untuk mendapatkan satu dua jeriken air. Karena mata air wae ponto muncul dari sebuah batu cadas. Dalamnya cuma 30 sentimeter. Warga menimbanya dengan pakai tempurung kelapa. Kalau air sudah berkurang, mereka harus menunggu sampai bisa dicedok kembali. Kalau musim kemarau, lebih lama lagi.

Bagaimana dengan mandi? Jangan dibilang lagi. Susah. Mandi di wejang ponto hanya untuk kaum perempuan saja. Sedangkan yang pria cari sendiri, mengais dengan libo-libo kecil di sepanjang kali.

Sekitar pkl. 15.00 orang kembali pergi menimba air. Di sini warga harus antre. Budaya antre dipelihara betul. Tidak boleh ada orang yang serobot begitu saja. Kalau orang itu lagi punya urusan mendesak, dia harus minta izin kepada yang lainnya dan boleh menimba untuk satu dua jeriken. Tidak boleh lebih dari itu. Karena antrean menunggu air masih terlalu panjang. Pada sore hari itulah, orang-orang begitu padat berada di sekitar libo kecil itu. Air untuk mandi ditampung dari sisa air mencuci jeriken atau teong – wae renok bahasa setempat. Untuk mencuci jeriken, cukup satu tempurung. Kalau ada lima jeriken, banyaknya air lima tempurung kelapa. Itu sudah pas untuk mandi satu orang.

Kalau hari sudah pkl. 18.00 tidak sempat lagi menimba air, kaum ibu meminta bapak-bapak pergi mengambil air. Di atas jam itu sudah lengang. Bapak-bapak yang tidak takut poti (setan) bisa pergi mandi dan ambil air di wejang ponto. Namun umumnya orang takut.

Di Kampung Ladur, lebih ngeri lagi. Orang ambil air di Lous, sekitar 5 kilometer dari kampung itu. Tidak bisa berharap lebih banyak air yang akan dibawa pulang. Karena ibu-ibu atau bapa-bapa menggunakan jeriken atau bambu, paling hanya beberapa jeriken dan bambu saja. Pergi pagi sore, jangan harap.

Di antara Ladur dan Ponto ada Sekolah Dasar Katolik (SDK) Ladur, yang didirikan 1953. Semula sekolah dasar itu ada di Lous, sehingga namanya SDK Lous/Ladur. Mantan Kasek (alm) Petrus Tukat bersama keluarga tinggal di sekolah itu sampai pensiun – sekarang keluarganya menetap di Karot, Ruteng. Sekarang ini guru John Paji, guru Edu Mbeong, guru Adi Darut, guru Frans Dangku, guru Kanis tidak lagi bisa tinggal di sekolah itu. Selain tidak ada rumah sekolah, juga air menjadi alasan utama. Pada masa dulu, rumah guru dibuat orang tua murid. Semua rumah itu sudah hancur. Dan tak bisa dibangun kembali.

Karena air yang begitu sulit, guru-guru meminta bantuan murid menimba air. Bahkan pada musim liburan, ada kebiasaan para siswa tidur di rumah guru. Esok pagi baru kembali ke rumah masing-masing. Sekarang sudah tidak bisa lagi. Tidak ada guru yang tinggal di SDK Ladur. Mereka punya rumah di Lous, di Lempis, di Wotok. Pagi-pagi mereka ke sekolah.

Di kampung itu ada puskesmas pembantu (pustu). Beberapa tahun lalu, pemerintah menempatkan satu orang bidan. Gara-gara tidak ada air, dia tidak mau lama-lama bekerja di sana. Sekarang pustu itu sudah kusam.

Bagaimana dengan kampung Kukung? Lumayan ada air. Mereka ambil dari sungai wae teke. Mereka membuat pancoran bambu di sungai. Kalau hujan, repot. Air keruh. Kampung Nara sedikit beruntung. Ada wae ara dan wae laci. Tapi wae ara, kecil sekali. Nio cio lawo (macam kencing tikus), kata mereka. Wancang terbilang lumayan. Ada air dekat. Dulu binatang piaraan dilepas. Repot juga.

Kampung Timbang, ada wae wulang, sekitar 200 meter dari kampung. Ketika saya masih kecil, airnya cukup besar. Karena Timbang baru dibentuk sekitar 1970-an. Saat itu tanah-tanahnya masih subur. Saya ingat bagaimana orang-orang mengetam padi di lingko-lingko subur itu. Ikan di wae naong masih banyak. Kakatua jambul kuning di paning keka dan burung pergam di paning regem. Indah sekali. Sekarang wae wulang dikelilingi kebun. Susah bukan main. Timbang adalah sebuah kampung besar, natasnya panjang dan lebar. Rumah-rumah berada di sekeliling halaman tengah itu. Sekarang rumah-rumah warga berjejer di pinggir jalan raya. Lama-lama akan tersambung dengan Kampung Wancang.

ORANG-ORANG di desa ini coba berjuang mengatasi masalah mereka. Beberapa tahun lalu, orang-orang Ladur dan Ponto mengumpulkan uang untuk proyek air. Kala itu rencananya minta air wae lenggar di dekat Kampung Gapong. Mereka menemui tua golo Gapong dan melakukan pendekatan budaya. Orang Gapong tidak menyetujuinya karena wae lenggar merupakan sumber mata air bagi persawahan di Kampung Pau Gapong, dan Wakal. Orang Desa Ladur hanya minta satu pipa kecil saja. Tapi tidak diberi. Orang-orang dari Peso, Pagal mengambil air di watugak, meski diprotes oleh orang Wela dengan alasan yang sama. Sekarang orang Peso sudah menikmati air bersih.

Akhir Agustus lalu, warga Timbang Hendrik Jeleven berkata, tidak hanya Ponto dan Ladur yang mengalami kesulitan air bersih, tetapi seluruh kampung di Desa Ladur. Dia memberitahu saya bahwa ada alternatif lain di mana masyarakat bisa mendapatkan sumber mata air yakni dari Kampung Langkas dan wae dolor.

Menurut dia, orang Langkas di Desa Langkas setuju Desa Ladur mendapatkan air dari mata air di sebelah selatan Langkas namun mereka minta satu pipa kecil sebagai kompensasi, sehingga mereka tidak perlu mengambil air cukup jauh dari kampung. Debit airnya cukup besar. Menurut Hendrik, sumber mata air ini bisa memenuhi kebutuhan air Kampung Ladur, Ponto, Nara, Wancang, dan Timbang. Kalau alternatif ini tidak bisa, wae dolor. Debitnya cukup besar.

“Kami sudah setengah putus asa,” kata Alo Ekek, warga Kampung Ponto, “ karena tidak ada orang lagi yang bisa menolong kami. Anggota Dewan dari Cibal ada. Tapi mereka tidak mampu menolong kami dan masalah ini tidak pernah mendapat perhatian. Kami sudah menderita sepanjang usia kemerdekaan negara ini”.

Dia bilang, masyarakat di enam kampung ini bersedia berkorban asalkan pemerintah menolong dan punya inisiatif mencari alternatif. “Kami bersedia berkorban untuk air ini. Tapi kami minta pemerintah memperhatikan kebutuhan kami. Kami sudah lama menderita ketiadaan air dan sudah lama berjuang untuk mendapatkan air bersih. Tapi tidak ada yang bisa menolong kami. Pemerintah menutup mata,” kata Alo Ekek.

Ketika hari berikutnya saya ke Kampung Nara, iseng saya tanya. “Waktu Pilkada, kamu dukung siapa?” Frans Ganggas, orang Kampung Nara yang kini tinggal di Gumbang, dengan bangga bercerita bahwa mereka dukung mati-matian paket Credo (Bupati Christian Rotok-Wakil Bupati Kamelus Deno). Dia bangga bercerita bagaimana mereka menggalang massa agar suara diberikan kepada paket Credo. Seluruh desa itu dimenangkan paket Credo. Hampir mutlak. “Bukan main,” kata saya. “Sebuah heroisme politik”.

Saya makin tergoda untuk bertanya,” Pernahkah ada bupati yang datang melihat kesulitan kamu di Desa Ladur?” “Oh tidak pernah,” kata yang lain. “Ta kraeng, woko beta ga, hemong amid ta saki hoo (ya pak, kalau sudah duduk di kursi lupa kami yang dekil ini). Saya hanya memandang kegetiran dan kepedihan dan kepasrahan mereka.

PARA bupati dalam pidato mereka pada apel 17 Agustus dan dalam Laporan Pertanggungjawabannya di depan DPRD, membeberkan keberhasilan mereka. Namun Desa Ladur akan tetap termarjinal dari kampanye keberhasilan pembangunan dari bupati ke bupati.

Sejak tahun 1970, jalan raya dari Lous menuju Ponto dan Ladur sudah digali sendiri oleh masyarakat. Tahun 1990-an jalan raya dari Lous menuju Lempis Desa Langkas agar tersambung dengan jalan raya dari Beamese yang merupakan jalur alternatif bagian timur menuju Reo digali oleh masyarakat. Dari Gumbang ke Kampung Wancang dan Timbang digali secara swadaya.

Saat krisis ekonomi menerpa Indonesia, jalan dari Ladur ke Kampung Kukung baru digali oleh masyarakat ketika mendapat bantuan beras CRS. Baru dua tahun lalu, jalan dari Gumbang ke Kampung Nara digali orang Nara.

Masyarakat Desa Ladur menggali sendiri jalan raya dari kampung ke kampung atau dari jalur utama ruas jalan Reo-Ruteng menuju kampung-kampung. Bukan oleh alat-alat berat pemerintah. Mereka merekam dengan kuat bahwa dari bupati ke bupati, jalan yang mereka gali sendiri akan dilaporkan sebagai prestasi bupati.

Benarlah orang bilang bahwa kejayaan orang besar (pemimpin) dibangun di atas keringat orang-orang kecil. Orang-orang kecil tidak masuk dalam hitungan untuk kejayaan ini. Sama seperti revolusi Indonesia, rakyat adalah sekrup kecil dari revolusi Indonesia, namun yang paling terlupakan dalam kemajuan bangsa.

Desa Ladur adalah sekrup kecil yang terlupakan dalam sejarah keberhasilan pembangunan Manggarai dari bupati ke bupati. Sepanjang Indonesia merdeka, tak sekalipun bupati-bupati Manggarai mengunjungi desa ini. Sepanjang itu pula air adalah rindu tak bertepi. Namun saat Pemilu, mereka terpaksa memilih meski setelah itu nasib mereka terlupakan.

Tidak ada komentar: