09 November 2007

Ladur dari Bupati ke Bupati (2)

Taang raga, reba lomes.


Oleh FRANS OBON

TANGGAL 17-18 Oktober 2007, hari-hari yang indah bagi Kampung Nara, Desa Ladur, Kecamatan Cibal, Manggarai. Orang-orang dari kampung-kampung sekitar datang. Baru kali ini lagi Kampung Nara menggelar caci. Natas berbentuk segi panjang dengan rumah-rumah di sekelilingnya dipadati baik oleh meka landang maupun orang-orang dari kampung sekitar yang ingin menyaksikan atraksi caci itu. Apalagi kampung itu sudah terjangkau kendaraan. Sudah lama sekali kampung ini tidak lagi mengundang orang untuk bermain caci. Dulu amat ramai. Nara, salah satu kampung yang paling jago danding dan paling atraktif dalam permainan caci.

Tua golo Nara Pet Mojo, Bertolomeus Odor, Kornelis Jehadut, Frans Ganggas, Beatus Hasan, Lasa Jafa, Vitalis Mus, untuk menyebut beberapa nama menggagas caci ini. Mereka mengundang orang dari Kampung Mengge, Kecamatan Lembaleda, Manggarai Timur. Ini bertepatan dengan acara hang woja, suatu ritus dimulainya pembukaan kebun baru dalam tata berladang.

“Oe wuk poget, anak wau Dese,” begitu Laurens Daman, yang turun pada pagi hari. Setelah lilik (upacara sebelum caci) dilakukan, anak-anak muda yang lagi nungku (baru belajar caci) turun lapangan. Mereka juga tidak kalah lomesnya (gaya). Lekir paci sama seperti pejago-pejago caci.

Hari makin tinggi dan makin panas. Caci juga makin ramai. Orang-orang yang jago caci turun. Ini hampir bersamaan dengan datangnya jago-jago caci dari kampung-kampung sekitar. Terik matahari bercampur dengan lengkingan paci dan nyanyi embong larik membuat suasana menarik. Gadis-gadis terus menabuh gendang dan gong mengatur irama kaki si jago-jago caci.

Kali ini satu-satu. Satu orang yang beke atau rowa dari pihak Mengge dan satu dari pihak Nara. Si nderu wela Markus Cundung dari Lando dari pihak Nara kena. Persis di bibir. Satu lagi dari Mengge, yang dipukul Sipri Sok dari Kampung Pau yang bermain dari pihak Kampung Nara. Tapi dasar jago caci, si nderu wela terus saja jengkeng. Bahkan makin semangat. Dalam caci, kalau larik (cemeti) kena pada muka, berarti kalah.

Orang-orang Mengge adalah jago-jago danding. Orang Lambaleda memang jago untuk hal ini. Natas Nara bergetar dengan irama kaki-kaki lawa danding. Goet bertukar goet. Canceng silih berganti. Malam itu luar biasa.

ORANG-ORANG Mengge telah kembali. Lawa caci juga kembali ke kesibukan mereka. Kampung Nara juga demikian. Tapi kenangan akan caci ini akan terus hidup. Bahkan sudah ada rencana orang Nara akan diundang oleh orang dari kampung lain untuk bermain caci. Nara sepertinya dilahirkan kembali.

Namun roh caci itu kembali dengan membawa luka. Kampung itu dulu begitu aman dan tenteram. Dengan caci, hidup menjadi perayaan yang menyegarkan. Kali ini caci dalam luka.

Dua tahun lalu beberapa orang Lempis, Desa Langkas, Kecamatan Cibal merebut tanah orang Nara. Puluhan tahun orang Nara telah menikmati hasil jambu mete dan kemiri. Datanglah orang Lempis langsung lodok lingko-lingko orang Nara dan mengerjakannya. Orang Lempis merampas sumber kehidupan mereka. Orang-orang Nara dipelopori Kornelis Jehadut melaporkan masalah ini ke Camat Cibal. Polisi dari Polsek Cibal juga sudah turun ke lapangan dan membawa serta beberapa alat bukti ke Polsek.

Menurut orang Nara, dalam pertemuan itu camat meminta status quo agar tanah-tanah itu jangan dulu dikerjakan. Tetapi tampaknya tidak efektif. Orang Lempis tetap mengerjakan tanah-tanah itu sampai sekarang. Orang Nara menahan diri untuk tidak menggunakan kekerasan fisik dalam menyelesaikan masalah ini. Mereka menaruh kepercayaan pada pemerintah. Namun, ketika saya kunjungi kampung itu, mereka terkejut bahwa pihak kecamatan terkesan tidak serius mengurus masalah ini. Hal itu tampak berbeda dalam menyikapi kasus tanah Lehong, Desa Gurun Liwut, Kecamatan Borong. Bupati Manggarai Christian Rotok dan Wakil Bupati Kamelus Deno mengeluarkan surat keputusan agar tanah Lehong dalam status quo.

Terlepas apakah efektif atau tidak, namun dari situ tampak jelas pemerintah merespon masalah yang tengah dihadapi masyarakat. Beda halnya dengan kasus tanah orang Nara. Bupati Christian Rotok dan Wakil Bupati Kamelus Deno sepertinya tidak tahu. Tidak ada tindakan seperti di Lehong padahal skala konfliknya hampir tidak berbeda. Tidak ada tindakan yang berarti dalam masalah ini.

Masyarakat masih berpikir positif. Mereka mengatakan, tidak adanya tanggapan dari bupati dan wakil bupati barangkali karena camat Cibal tidak memberikan telaahan yang tepat kepada bupati. Yang lain menimpal, mungkin orang Nara di Desa Ladur tidak diperhitungkan dalam konstalasi politik kekuasaan di Manggarai. Mereka adalah daerah periferi dalam politik Manggarai. DPRD Manggarai dari Cibal juga tidak tampak menyuarakan masalah ini.

Ketika berada di kampung itu, saya merasakan betapa masalah ini terus menghantui tidur malam mereka. Mereka cemas bahwa betapa tanaman komoditas mereka yang dengan susah payah dipelihara dan puluhan tahun mereka menikmati hasilnya harus terputus. Memotong urat nadi kehidupan ekonomi adalah pelanggaran dan kejahatan hak asasi yang paling kejam. Saya lihat kepedihan di mata mereka. Kepedihan dalam kepasrahan. Tapi sampai kapan mereka bertahan dan menahan diri?

Inilah konflik tanah antarkampung pertama kali dalam desa yang terdiri dari enam kampung itu. Camat Cibal yang dulu menangani kasus ini sudah pindah dan camat baru datang. Juga sama saja sikap mereka. Tidak ada tindakan berarti. Kasus ini memang tidak menonjol dan tidak menarik perhatian pemerintah baik pihak kecamatan maupun kabupaten karena belum ada kekerasan fisik. Namun apakah kasus ini akan mendapat perhatian jika telah terjadi kekerasan fisik? Bukankah bila kekerasan terjadi menunjukkan telah terjadi kesengajaan dengan sikap membiarkan masalah berlarut-larut?

Kampung Ladur dan Ponto juga menyimpan masalah yang sama. Dalam sikap iman yang patuh, mereka menyerahkan tanah lingko mereka untuk kapela dan tanah Gereja. Mereka mendengar cerita yang begitu indah mengenai sarana air bersih yang telah dibangun oleh berbagai pihak, termasuk Gereja di berbagai tempat. Orang Ponto dan Ladur dalam penderitaan mereka mengenai air bersih, amat jauh dari jangkauan siapa saja. Saya menangkap kekecewaan mereka.

Tanah Gereja di luar kapela telah dibagi-bagi oleh orang-orang kampung Ponto. Kampung Ponto sempat terkena bencana. Di Bagian barat kampung itu, tanah turun. Beberapa moso di lingko Ponto longsor. Mereka ingin mencari tempat yang lebih aman untuk kediaman mereka. Mereka melirik tanah yang telah diserahkan ke Gereja dan tanah yang telah diserahkan ke pemerintah untuk bangun kantor desa dan polindes.

Kesumpekan telah bercampur dengan merasa tidak dipedulikan oleh siapa saja. Saya cemas dengan keadaan ini.

Mereka adalah orang-orang sederhana. Itulah sebabnya mengapa dari desa ini tidak ada “orang besar” di Ruteng. Mungkin itu pula mereka menjadi orang pinggiran dalam politik Manggarai. Meski mereka punya suara yang dibutuhkan saat Pemilu.

Nara, sebuah kampung yang dulu tenang dan damai, kini ada dalam sekam api konflik pertanahan. Orang-orang sederhana ini hanya menangis dalam diam. Mereka ingin mengeluh ke bupati dan wakil bupati, mereka tidak bisa menjangkaunya. Mereka ingin mengeluh ke DPRD, tapi tak ada DPRD yang peduli dan menyuarakan keprihatinan dan kedukaan mereka.

Cau haju kedok haju, cau watu kedok watu (memegang kayu, kayu terlepas, memegang batu, batu terlepas). Mereka jatuh tersungkur dan terguling-guling ibarat benda yang terlepas dari gantungannya. Danding dan caci orang Nara adalah danding dan caci dalam luka. Betapa pedih.

*Flores Pos/Feature/Desa/7 November 2007

Tidak ada komentar: