13 November 2007

Demokratisasi Kepemimpinan

Oleh FRANS OBON

Menjelang pemilihan kepala daerah, banyak sekali elite politik kita memainkan drama politik yang mengesankan. Karena itu wilayah publik kita berubah menjadi teater politik, tempat di mana tiap orang yang ingin masuk dalam arena pilkada mengemas dirinya. Hal ini tentu saja bukan sesuatu yang jelek. Di mana-mana di negara demokratis, membangun citra politik dan citra diri itu penting sebagai bagian dari kampanye calon untuk mendulang suara pemilih.

Namun dari satu pihak teater politik pilkada ini harus diimbangi dengan pencerahan politik di kalangan massa rakyat agar rakyat dengan cerdas memberikan suaranya. Rakyat cerdas menentukan figur.
Pilihan pasti beragam. Umumnya orang akan memilih pemimpin yang secara intelektual mampu, orang yang memiliki moral yang bagus, dan erudisi kultural. Tetapi dengan melihat kenderungan pelaksanaan dan penggunaan kekuasaan selama ini, tampaknya dalam Pilkada nanti kita mesti tambahkan dan mungkin ditekankan adalah pemimpin politik yang terbuka terhadap pengawasan politik.
Apa artinya? Selama ini kita menekankan pentingnya akuntabilitas dan transparansi dalam pemerintahan. Kita menekankan pemerintahan yang baik dan pemerintahan yang bersih. Semua tuntutan ini memprasyaratkan adanya pengawasan terhadap penggunaan kekuasaan oleh berbagai pihak. Politik yang terawasi ini perlu dilakukan agar mengerem godaan penggunaan kekuasaan di luar batas yang wajar. Karena kekuasaan yang besar selalu berpotensi untuk disalahgunakan.
Dengan ini kita mau katakan bahwa yang perlu dilakukan ke depan adalah demokratisasi kepemimpinan. Hal ini mendesak dilakukan karena kepemimpinan di tingkat lokal masih terikat dan terkait erat dengan budaya feodal. Di mana kekuasaan dianggap sebagai sesuatu yang sakral, yang harus disembah dan pemegang kekuasaan mengidentikan dirinya dengan sesuatu yang sakral itu. Konsekuensinya adalah pemimpin lokal itu menjadi tidak tahan kritik, tidak tahan dengan perbedaan pendapat dan pluralisme aspirasi di kalangan masyarakat.
Pejabat kita memang tidak terlatih dan terbiasa dengan kritikan dan berdialog. Karena kritikan dianggap merusak citra dirinya. Politik yang hanya indah di panggung memang tidak tahan terhadap kritikan. Politik teater amat rentan terhadap kritikan. Padahal, kritikan adalah sesuatu yang inheren dalam kekuasaan. Karena kekuasaan memerlukan daya kreatif baru yang muncul dari kritikan. Dengan kata lain, kekuasaan yang alergi terhadap kritikan sama sekali tidak memiliki daya kreatif, karena itu terkesan datar. Karena itu agenda utama kita ke depan adalah politik yang terawasi demi pelaksanaan politik yang bermutu.


Flores Pos / Bentara / Kepemimpinan / 31 Oktober 2007 |

Tidak ada komentar: