12 November 2007

Bedah Buku Imam dan Politik (3/habis)

Seleksi Pemimpin: Pilkada

Oleh FRANS OBON

PEMBICARAAN tidak lagi pada tataran teoretis. Semangat berpolitik telah memenuhi ruangan diskusi. Sudah mulai banyak suara yang menginginkan perlu ada langkah konkret untuk mengartikulasikan kepentingan politik Gereja Katolik di wilayah publik di Flores. Salah satu momen strategis adalah pemilihan kepala daerah (pilkada).
Direktur Pusat Pastoral (Puspas) Keuskupan Agung Ende Romo Cyrilus Lena Pr menukik langsung. “Bagaimana kita menghadapi Ende ke depan? Para pastor harus mengkaji calon-calon dan mendiskusikan mutu calon. Apa tindakan konkret kita. Saya setuju imam perlu memiliki persepsi yang sama dan mempengaruhi umat agar mereka memilih pemimpin dengan tepat,” katanya.
“Partai politik mencalonkan para pemimpin. Para pastor ada di mana? Kami mengharapkan para pastor untuk membawa umat agar tepat memilih pemimpin. Bagaimana dengan praktik money politics?” begitu pertanyaan Yaved Sosa, seorang politisi Katolik.
“Saya dengar dari umat, bukan sekadar asal omong. Umat tidak melihat moralitas pemimpin, tapi siapa yang datang terakhir dan memberi lebih banyak. Umat yang omong itu,” kata seorang suster.
Suster bilang, dari presentasi dua pembicara ternyata imam bisa berpolitik dalam pengertian luas. “Di mana posisi kita. Kok kita hati-hati, takut”.
“Kita memerlukan dan mencari orang berbakat, kita dukung. Kita butuhkan pemikiran dari para pastor,” kata Ketua Forum Komunikasi Pemerhati dan Perjuangan Hak-Hak Perempuan Kabupaten Ende Irama Pelaseke.
“Kita sudah sampaikan kecemasan-kecemasan kita. Mau apa sesudah ini? Imam perlu terang-terangan terlibat dalam politik. Mesti ada tim yang berkonsentrasi ke depan untuk memberikan pencerahan politik kepada umat, sehingga kita memiliki kerangka politik yang sama,” kata Pater Markus Tulu SVD.



MESKI matahari tengah berada di atas ubun-ubun kita, tapi udara Detusoko tetap sejuk. Pater Laurens Olanama SVD sukses mendinamisasi diskusi. Para pastor menyadari bahwa perlu sekali mereka terlibat aktif di dalam hajatan politik memilih pemimpin (pilkada). Mereka tidak cukup memberikan kritikan, masukan dan pencerahan politik dari luar arena sebagai penonton. Sehingga suara mereka akan menjadi suara yang bergema di padang pasir. Mereka ingin terlibat dari awal yakni menyeleksi kandidat yang akan maju dalam pentas suksesi, yang dalam pandangan mereka bisa menggerakkan perubahan menuju kesejahteraan bersama.
Ikut di dalam menentukan kandidat diyakini menjadi salah satu cara menghasilkan pemimpin berkualitas secara intelektual maupun moralitas. Keikutsertaan ini tidak semata-mata agar kepentingan Gereja Katolik diutamakan, melainkan kesejahteraan rakyat, pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi dan penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan, pemimpin yang memiliki karakter dan prinsipil, teguh mempertahankan nilai-nilai dan memihak orang-orang miskin.
Ada dua kesulitan yang dihadapi pada titik ini. Pertama, banyaknya figur dan beragam kepentingan di kalangan awam Katolik itu sendiri. Vikaris Episcopus (Vikep) Ende Romo Ambros Nanga Pr bilang, para pastor memfasilitasi dan mempertemukan kandidat-kandidat yang ingin maju dalam suksesi pilkada. Dari situ akan dilihat siapa kandidat yang berkualitas, punya karakter kepemimpinan, dan teguh mempertahankan prinsip-prinsip etis dalam pelaksanaan pemerintahan dan kemasyarakatan.
Namun, Vikep sendiri mengakui bahwa tidaklah mudah membawa politisi Katolik ke dalam sebuah meja dan sebuah ruangan. “Diundang, tapi tidak datang,” keluhnya. Ini lebih disebabkan karena kompetisi di kalangan politisi Katolik juga terlalu kuat. Tidak ada yang mau mengalah. “Kita minta politisi Katolik merefleksi diri, apa saya bisa, saya mampu. Mengapa tidak ada yang mau mundur dan membiarkan mereka yang mampu maju,” katanya.
Gagasan serupa disampaikan Vikjen Keuskupan Agung Ende, Pater Yosef Seran SVD. Para politisi Katolik hendaknya sadar akan kemampuan diri mereka. Figur yang maju dalam Pilkada itu harus yang mampu. “Kita mendukung calon yang mampu. Yang lain mundur,” katanya.
Kedua, rekrut kandidat dilakukan oleh partai politik. Pertanyaan Yaved Sosa berkaitan dengan akses para pastor terhadap partai politik untuk ikut menentukan seleksi kandidat teramat penting. Sampai hari ini partai politik diberi wewenang oleh undang-undang negara untuk merekrut calon pemimpin dalam pilkda. Kita belum punya gambaran yang jelas mengenai calon independen dalam pilkada karena belum ada undang-undang yang mengaturnya. Kita semua tahu bahwa pastor tidak memiliki akses terhadap partai politik. Meski secara pribadi, mereka kenal dengan ketua-ketua atau pengurus partai politik. Ditambah, sekarang ini lagi demam semua ketua partai politik merasa bisa menjadi pemimpin. Karena memang stempel partai ada di mereka.
Satu-satunya cara adalah kerja sama antara imam dan ketua-ketua partai. Yang diharapkan adalah adanya politisi Katolik berwawasan luas yang berani mengorbankan diri demi kepentingan lebih luas. Tentu tidak banyak politisi Katolik yang berpikir seperti itu.
Kalau demikian, apa yang bisa dilakukan. Pertama, kontrak politik. Kepala Litbang Pusat Pastoral Keuskupan Agung Ende Romo Feri Deidhae Pr menganjurkan dibuat kontrak politik. Kontrak politik dibuat untuk mengingatkan kandidat jika dia melanggar kontrak, maka dukungan politik kepadanya akan ditarik. Dia akan menjadi “manusia sepi”.
Pemutusan kontrak politik tentu saja tidak serta merta menjatuhkan pemimpin yang berkuasa karena legitimasinya dari rakyat yang dia peroleh melalui pemilihan langsung. Tekanan eksternal bisa saja menggembos legitimasi kekuasaannya, namun tidak bisa mendepak dia dari kursi kekuasaan di tengah jalan. Mungkin saja periode berikutnya dia akan kehilangan dukungan. Namun politik dengan beribu macam kepentingan akan dengan mudah menggantikan aliansi politik yang satu dengan aliansi politik lainnya. Begitu mudah menggantikan sekoci politik.
Kedua, membangun kekuatan politik di basis massa agar menghasilkan pemilih yang cerdas. Katekese politik yang dilakukan Komisi Kerasulan Awam Keuskupan, sebagaimana disampaikan Ketuanya Romo Stef Wolo Itu, barangkali dijadikan salah satu cara membangun kecerdasan memilih di kalangan massa rakyat. Komunitas umat basis yang tercerahkan adalah jalan politik untuk melahirkan pemimpin berkualitas. Jalan inilah yang dapat kita tempuh, bukan saja mempengaruhi umat (massa) untuk memilihi figur yang sejalan dengan pilihan politik Gereja Katolik, melainkan menghasilkan pemilih yang cerdas.
Pemilih yang cerdas akan dengan mudah menangkal segala bentuk praktik pembelian suara (money politics) sebagaimana dicemaskan Yaved Sosa dan Suster itu. Karena pemilih yang cerdas akan tahu bahwa politisi yang menawarkan banyak uang selalu memiliki perhitungan: to give less, to take more (beri sedikit, ambil lebih banyak). Yang dia kasih sekarang recehan, yang dia peroleh nanti berlipat-lipat.
Direktur Penerbit Nusa Indah Lukas Lege mencontohkan Kabupaten Jembrana di Bali dan Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah. Bupati Jembrana I Gede Winasa sukses dengan pendidikan dan kesehatan gratis dan Bupati Kebumen Rustiningsih menciptakan pemerintah yang transparan dan akuntabel. “Mengapa itu bukan di daerah Katolik,” tanya Lukas Lege.
Betapa semua pilihan yang diberikan ini sulit, namun semuanya dilandaskan pada keinginan untuk menghasilkan pemimpin yang berkualitas. Perbincangan imam dan politik barangkali juga terinspirasi dari sana, mengapa tidak ada orang Katolik yang begitu cerdas dan punya karakter kepemimpinan yang kuat yang berdiri teguh di atas prinsip-prinsip etis mengelola pemerintahan? Mengapa tidak ada politisi Katolik yang berdiri teguh di atas moralitas yang benar?
Itulah mimpi bersama kita bahwa kita menginginkan pemimpin berkualitas, pemimpin yang mengutamakan kesejahteraan rakyat. Betapapun ada perbedaan pendapat dan pilihan politik, tujuan tetap sama dan satu yakni menempatkan kepentingan rakyat di atas kepentingan diri dan keluarga sertak kelompok aliansi politik. Flores sudah lama memimpikan pemimpin politik dengan karakter kepemimpinan yang kuat.*


Flores Pos | Feature | Politik
|19 Oktober 2007 |


Tidak ada komentar: