12 November 2007

Bedah Buku Imam dan Politik (2)

Dua Sisi: Imam dan Awam

Oleh FRANS OBON

KALA kita bicara imam dan politik, akan dengan sendirinya muncul pokok soal mengenai hubungan imam dan awam Katolik. Di dalam Gereja Katolik ada semacam pembagian peran – mungkin dengan batas yang tipis – antara imam dan awam. Imam merujuk pada orang-orang yang tertahbis, sedangkan awam merujuk pada orang beriman Katolik yang tidak ditahbiskan dan berkaul.
Umumnya dipahami bahwa awam Katolik memiliki peran khas dalam tata dunia, di mana oleh imannya mereka bertugas menguduskan dunia melalui peran profesionalitas mereka. Karena itu peran politis mereka juga dipahami sebagai panggilan untuk menguduskan politik sehingga politik tampil dengan wajah kemanusiaan dan dilandasi hati nurani dalam setiap usaha membangun kesejahteraan dan kebaikan umum.



Relasi imam dan awam Katolik, terutama di mana penduduk dan para pemimpinnya mayoritas Katolik, seringkali pula menjadi sumber ketegangan. Karena lazim dipahami – mungkin sebagian besar disebabkan salah paham – pembatasan keterlibatan imam dalam politik praktis membuat awam Katolik merasa bahwa kritikan dan refleksi politik atas situasi konkret pemerintahan yang disampaikan para imam dianggap sebagai intervensi dalam politik. Karena itu ada tuduhan para imam mulai berpolitik praktis. Apalagi kritikan atas pelaksanaan pemerintahan sudah menyerang basis legitimasi keberhasilan kepemimpinan, maka relasi imam dan awam berada dalam ketegangan.
Seperti yang dikatakan Kepala Litbang Pusat Pastoral Keuskupan Agung Ende, Romo Feri Deidhae Pr resistensi terhadap kritikan tidak saja muncul dari pemimpin (bupati dan wakil bupati, misalnya), melainkan juga dari keluarga dan anggota sukunya, dan sekutu-sekutu politiknya. Dengan ini resistensi terhadap kritik meluas karena jabatan membanggakan keluarga dan anggota suku. Belum lagi orang-orang yang ingin mendapatkan keuntungan dari kekuasaan melalui proyek-proyek pemerintah.
Tampaknya presentasi Romo Domi Nong dan Pater Amatus Woi menghangatkan diskusi. Sebelum memasuki acara diskusi, moderator P Laurens Olanama SVD memberi kesempatan kepada 70 peserta acara bedah buku mengelaborasi topik ini.
Yang paling menonjol adalah bagaimana mengelola dan mengkoordinasi hubungan imam dan awam ini agar suara Katolik didengar di wilayah publik dan bukan menjadi sumber ketegangan yang hanya membuang energi. Setidaknya energi tidak terbuang percuma untuk berkelahi ke dalam.
Idealnya sebagaimana dikatakan Pater Amatus adalah politisi-politisi Katolik mengambil sumber inspirasi yang sama dan keluar dari rumah yang satu dan sama itu untuk mengimplementasikan prinsip-prinsip politik melalui pelbagai strategi sesuai dengan wadah-wadah politik yang tersedia dan digeluti politisi Katolik.
“Lahan garapan”, begitu politisi Golkar, Frans Wangge mendeskripsikan tugas imam dan awam, berbeda. Bagaimana imam dan awam “menggarap lahan” masing-masing ini?
Menanggapi ini, Romo Domi bilang, Gereja sebagai persekutuan orang beriman, yang ada dalam tata dunia, pada dasarnya tidak boleh dipilah-pilah. “Ini bidang garapan awam dan ini lahan garapan imam. Semua itu menjadi bagian dari keprihatinan Gereja. Hanya dalam tataran praktis, mulai diberi penekanan yang lebih. Tugas dan tanggung jawab imam lebih pada kesejahteraan rohani (moral keagamaan dan etika), sedangkan awam Katolik yang bergerak dari hari ke hari lebih diarahkan pada kehidupan di tengah dunia”.
Namun dia bilang, pembagian lahan garapan itu dan “perhatian lebih” pada lahan garapan masing-masing tidak berarti imam dilepaskan sama sekali dari politik. Gereja secara institusional malah dituntut memberi perhatian lebih pada bidang politik bila kondisinya memburuk. “Gereja perlu mempertimbangkan perlunya imam satu langkah lebih maju untuk terlibat dalam tataran politik praktis kalau situasinya sudah memburuk demi kesejahteraan umum”.
Larangan Gereja mengenai keterlibatan imam dalam politik tidak dirumuskan secara positif, melainkan negatif dalam bentuk larangan hanyalah untuk mengetahui sampai di mana batasnya seorang imam terlibat dalam politik. Namun karena hak-hak politik imam itu kodrati sifatnya, maka Gereja memberi klausul. “ Situasi apa dan kondisi seperti apa, tergantung pada pemimpin wilayah Gerejani,” katanya.
Pater Amatus menyebut hubungan imam dan awam sebagai hubungan dual (dua relationship). Dalam relasi dual semacam ini, Pater Amatus lebih cenderung imam bergerak pada tataran refleksi kritis dan awam bergerak pada politik praktis. Para pastor mengemukakan prinsip-prinsip moral dan awam Katolik mengimplementasikannya dalam sistem dan kebijakan. “Meski punya peran berbeda, tidak berarti relasi ini terpisah sama sekali. Anda di sana, kami di sini. Kalau demikian, kita tidak menghasilkan apa-apa,” katanya.
Bagi Pater Amatus, keterlibatan imam di dalam politik perlu pula disertai keterampilan berpolitik. “Jangan sampai kita masuk bukan untuk tambah baik, malah tambah rusak atau membuat rusak lebih banyak,” begitu dia berseloroh.
Diskusi imam dan politik dengan momentum bedah buku sebagai pemicunya, menurut Pater Amatus, dilihat sebagai jalan bagaimana imam dan awam Katolik berkiprah secara benar. “Diskusi semacam ini membuat kita makin mengenal dan keterampilan berpolitik perlu dipelajari agar begitu kita masuk, orang mengatakan, ini lain”. Karenanya perlu sekali identifikasi situasi dan merefleksikannya. “Kalau kita masih porakporanda, jangan sampai kita membuat rusak lebih banyak”.

MATAHARI makin tinggi. Diskusi makin hangat. Namun acara jeda oleh minum siang. Peserta ke ruang minum, sekitar 50 meter dari aula pertemuan. Sejenak peserta mengalihkan tema pembicaraan ke hal-hal lain. Tidak terdengar diskusi mengenai tema ini selama minum. Kesempatan ini juga dipakai peserta untuk membeli buku Imam dan Politik, kalender 2008 dan beberapa buku lainnya yang dipajang Penerbit Nusa Indah.
Peserta kembali ke aula pertemuan. Diskusi makin dipertajam soal bagaimana membangun sinergitas dan koordinasi yang pas untuk menyatukan langkah politik imam dan awam Katolik agar kehadiran mereka makin dirasakan dan suara mereka didengar di wilayah publik.
“Masalah kita, masih terdapat dikotomi imam-awam. Kita orang yang kalah. Pernahkah kita duduk bersama untuk membahas soal politik?” begitu kata Romo Willy Gawe, ekonom Keuskupan Agung Ende.
Pertanyaan serupa disampaikan Aloysius Belawa Kelen, dosen Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat (STPM) Santa Ursula Ende. Dia ingin imam sebagai figur publik menyeringkan pengalaman mereka tentang realitas politik mulai dari komunitas umat basis hingga elite politik. Pernahkah ada usaha mendekati politisi Katolik dan melakukan pencerahan politik atau duduk bersama? Selama ini kesannya kita bergerak sendiri-sendiri.
Pater Amatus bilang, “Kami (imam) ini suara yang berseru-seru di padang gurun. Memang idealnya kita berdiri dalam satu rumah, lalu keluar dari rumah itu dengan strategi masing-masing. Kami hanya melihat peluang dan mengatakan, coba buang jala di sebelah kanan atau coba buang di sebelah kiri. Kami hanya lihat potensi-potensi untuk sejahterakan rakyat”.
Dalam wadah apa imam dan awam bertemu? Apakah pernah ada ajakan untuk duduk bersama? Perlukah wadah baru atau menghidupkan wadah yang telah mati suri?
Dari syering pengalaman, masalahnya bukan soal wadah, tetapi lebih pada kemauan untuk duduk bersama. Sebelum 1999, sebagian besar orang Katolik tidak mau menghidupkan lagi Partai Katolik. Sebagai alternatif dibentuk Forum Masyarakat Katolik Indonesia (FMKI). Forum ini mati suri. Masih ada alternatif lain. Keuskupan memiliki Komisi Kerasulan Awam.
Vikep Ende Romo Ambros Nanga Pr punya pengalaman. Ada usaha membawa kaum awam Katolik ke dalam satu ruang pertemuan. Namun, tidak ada yang datang. Hal senada disampaikan Ketua Kerasulan Awam Keuskupan Agung Ende, Romo Stef Wolo Itu. Beberapa waktu lalu Kerawam mengundang tokoh-tokoh Katolik membahas pandangan mereka bagaimana membangun NTT ke depan. Namun, banyak yang diundang tapi sedikit yang datang. “Jadi bukan tidak pernah dibuat untuk mengumpulkan politisi Katolik itu, tapi mereka tidak datang,” kata Romo Ambros.
Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Ende, Don Wangge mengatakan, imam dan awam perlu membangun komunikasi. “Awam tidak membuka diri, imam juga tidak sepenuhnya membuka diri. Karena kita tidak membangun komunikasi, maka kita ibarat ayam mati di antara beras,” kata Don Wangge.
Imam dan awam, bukan dua kategori yang berdiri terpisah: imam di satu pojok, awam di pojok lain. Imam dan awam adalah dua sisi dari mata uang yang sama. Seperti kata Pater Amatus, seandainya semua politisi Katolik berdiri di bawah naungan prinsip politik sebagai pengabdian, maka tidak ada alasan imam dan awam tidak bisa bertemu.
Justru di daerah mayoritas Katolik, tantangan terhadap relasi imam dan awam makin besar oleh perhitungan politik yang berbeda: mengambil untung untuk diri. Politik lalu berubah menjadi lahan ekonomis. Ketika politik lebih condong ke sana: tiap kita menutup telinga. Lalu suara para imam seperti orang yang berseru di padang gurun.
Jika relasi imam dan awam ini dikelola dengan baik, suara Gereja Katolik akan makin didengar di wilayah publik. Gereja akan memberikan warna politik yang lain sama sekali. Dengan itu praksis politik berubah menjadi garam dan terang. Ini tentu bukan pekerjaan mudah.

Flores Pos | Feature | Politik
| 18 Oktober 2007 |


Tidak ada komentar: