12 November 2007

Bedah Buku Imam dan Politik (1)

Menepis Salah Kaprah

Oleh FRANS OBON

DI SEBUAH rumat retret milik biarawati OSF di Detusoko, sekitar 30 kilometer arah timur Kota Ende, ibu kota Kabupaten Ende para imam, biarawan dan biarawati serta awam Katolik membahas dan semacam mengevaluasi kembali posisi dan pentingnya Gereja Katolik menyuarakan keprihatinan, komitmen dan kepentingan mereka sebagai mayoritas di Flores di ruang publik.
Pemicunya adalah acara bedah buku Imam dan Politik karya Romo Yohanes Don Bosco Bhodo Pr yang diterbitkan Penerbit Nusa Indah, Ende tahun 2007. Acara bedah buku ini menjadi momentum untuk menghangatkan kembali tema menarik sepanjang zaman: keterlibatan imam dalam politik.
Refleksi terhadap realitas politik Flores termasuk kiprah politik politisi-politisi Katolik di wilayah publik mendorong dan membangkitkan kembali komitmen yang penuh dan utuh hirarki Gereja Katolik untuk terlibat aktif dalam politik yang menekankan kesejahteraan umum. Gairah politik kesejahteraan dan politik hati nurani yang lagi bangkit ini mencerminkan begitu dalamnya kecemasan dan keprihatinan Gereja Katolik mengenai situasi politik di Flores.




Bisa saja terdapat perbedaan tafsiran mengenai seberapa gawat dan buruknya situasi konkret politik di Flores sekarang ini. Tetapi dari surat gembala para uskup baik di tingkat Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI) maupun keuskupan-keuskupan setempat terlihat jelas bahwa Gereja Katolik menginginkan adanya budaya baru dalam berpolitik yang dilandaskan pada hati nurani dan mengusahakan kesejahteraan umum secara bertanggung jawab. Dan justru di daerah yang mayoritas Katolik, komitmen untuk menghidupkan habitus baru, budaya baru dan cara baru dalam mengelola politik mendapat urgensitasnya.
Buku Romo Bosco Bhodo ini awalnya adalah skripsi sarjana pada Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero dengan pembimbing Pater Amatus Woi, SVD. Pater Amatus adalah doktor dalam bidang teologi politik tamatan Jerman. Sejak 1999, mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero mendapat matakuliah teologi politik.
Bolehkah imam terlibat dalam politik? Bagaimana Kitab Hukum Kanonik (KHK) Gereja Katolik mengatur hal ini? Kalau imam tidak terlibat langsung dalam politik praktis kekuasan, lalu bagaimana mereka memainkan peran politik mereka dalam menyuarakan kepentingan umum dari perspektif Gereja Katolik? Bagaimana reksa pastoral bidang politik kemasyarakatan? Cukupkah urusan politik diserahkan ke tangan awam Katolik yang seringkali memudar milintasi politiknya?
Pokok-pokok ini dibahas dengan begitu hangat. Meskipun menurut Pater Amatus Woi, buku ini hanya memuat hal-hal normatif mengenai hakikat panggilan imam dan kaitannya dengan politik serta aturan Gereja Katolik mengenai keterlibatan imam dalam politik. Buku ini memang bertujuan agar umat Katolik memiliki paham yang benar mengenai imam dan politik dari sudut pandang Gereja Katolik, sehingga tidak menyajikan hal-hal teknis bagaimana politik itu dijalankan.
Bedah buku Imam dan Politik ini ditilik dari dua sudut perspektif yakni perspektif teologi politik dan tinjauan hukum Gereja. Pater Amatus membahasnya dari sudut teologi politik dan Romo Domi Nong Pr meninjaunya dari sudut hukum Gereja Katolik. Romo Domi Nong meraih doktor dalam bidang hukum Gereja, tamatan Roma Italia.
Setelah acara pembukaan oleh Vikaris Episcopus (Vikep) Ende Romo Ambros Nanga, Pr dan Direktur Penerbit Nusa Indah Lukas Lege memberikan sambutan, dua pembicara dengan moderator P Laurens Olanama, SVD dari Penerbit Nusa Indah membahas buku ini dari dua sudut pandang tersebut.
Pater Amatus mendapat kesempatan pertama. Tema yang dibahas adalah “Buku Imam dan Politik: Sebuah Tinjauan Teologi Politik”. Ada tiga pendekatan yang dikedepankan yakni pendekatan eksistensial, pendekatan pastoral, dan pendekatan teologis.
Pertama, dari sudut pendekatan eksistensial manusia adalah makhluk berpolitis yang beragama dan makhluk agamis yang berpolitik. Secara eksistensial keduanya tidak dapat dipisahkan. Praktik politik yang benar dapat mendorong perkembangan jati diri, harkat dan martabat manusia. Namun politik dapat juga jahat dan kotor ketika praksis politik dan kebijakan politik merugikan, menghambat perkembangan, menghina, merendahkan, merusak dan membinasakan jati diri manusia. Sehingga agama dan pemangku agama ditempatkan sebagai daya atau kekuatan transformatif dan kritis bagi politik. Dimensi ini mendapat sorotan utama oleh penulis dalam keseluruhan buku ini.
Namun, dalam praktiknya juga agama sering melawan prinsip kemanusiaan, yang dipicu oleh sikap eksklusif dan fundamentalisme, fanatisme yang mengancam kebebasan, triumfalisme yang membahayakan toleransi. Buku ini tidak membahas kritik terhadap agama.
Kedua, buku ini mencari makna dan dasar-dasar keterlibatan sosial politik para imam dan kaum berkaul, kemungkinan bagi keterlibatan politik dan syarat-syarat mutlak untuk itu. Pesan pastoral dari buku ini adalah para politisi dapat menjadi kudus lewat pergumulan mereka sebagai politisi. Hal itu terwujud dalam politik yang berwajah manusia, politik yang bernurani, dan politik etis. Politik bukan lahan ekonomis dan kekuasaan, melainkan darma bakti diri dan pengabdian yang total pada kepentingan publik.
Ketiga, pendekatan teologis. Ada tiga aliran teologi dalam kaitan dengan kekuasaan dan politik yakni aliran politik konservatif yang selalu mendukung kekuasaan. Sikap dasarnya selalu pragmatis karena diajarkan bahwa setiap kekuasaan berasal dari Allah. Sehingga tidak bisa dibedakan antara sumber kekuasaan dan cara melaksanakan atau mengemban kekuasaan. Aliran ini dapat kita jumpai dalam sikap-sikap politik orang-orang religius yang dalam diskursus rakyat, penguasa selalu membela penguasa. Kelompok kedua adalah kaum fundamentalis agama yang secara prinsipil menolak semua kekuasaan di dunia ini apapun bentuknya. Mereka hanya mengakui kekuasaan Allah semata-mata. Ketiga, adalah teologi politik kritis yakni kelompok yang bersikap kritis terhadap kekuasaan demi menjaga asas manfaat dari kekuasaan itu untuk kesejahteraan dan keselamatan manusia. Aliran ini menjaga jarak terhadap kekuasaan sejauh dapat, memperhatikan independensi agar tidak terkooptasi dan mendekat ke wilayah kekuasaan sejauh perlu. Buku Imam dan Politik termasuk dalam kelompok ketiga ini.
Dari perspektif hukum, begitu kata Romo Domi Nong, dengan makalah berjudul “Imam dan Politik: Perspektif Hukum Gereja, politik melekat pada diri manusia sebagai hak kodrati, sehingga politik jadi hak fundamental manusia. Hak ini tidak diberikan oleh penguasa sehingga tidak bisa diabaikan oleh siapapun. Dalam tataran hukum hak politik merupakan hukum kodrati (ius naturalis). Hukum kodrati masuk tataran hukum tertinggi yang tidak bisa dibatalkan hukum positif (ius positivum) yang dibuat manusia. Hukum positif membuat hukum kodrati ini menjadi lebih jelas, lebih adil, lebih benar, dan lebih wajar daripada hukum positif. Karena itu imam sebagai manusia juga memiliki hak politik yang sama dalam kehidupan bermasyarakat negara. Karena imam juga warga negara seperti warga masyarakat lainnya. Imam memiliki kebebasan sipil sama seperti warga negara lainnya untuk melaksanakan hak politiknya.
Namun di dalam Gereja Katolik sebagaimana tertuang dalam Kitab Hukum Kanonik (KHK) 1983 paragraf 2, hak politik imam ini diatur. “Janganlah mereka turut ambil bagian aktif dalam partai-partai politik dan dalam kepemimpinan serikat-serikat buruh, kecuali jika menurut penilaian otoritas gerejawi yang berwenang hal itu perlu untuk melindungi hak-hak Gereja atau memajukan kesejahteraan umum”. Ketentuan ini berkaitan erat dengan paragraf 1 dari Kanon 287 ini, “Para klerus hendaknya selalu memupuk damai dan kerukunan dengan sekuat tenaga berdasarkan keadilan yang harus dipelihara di antara sesama manusia”.
Aturan ini dapat ditafsir dari dua sudut. Pertama, Gereja sebagai entitas sosio-religius dengan cita-cita utama “kesejahteraan rohani” menghendaki agar para imam menjadi pewarta dan pembawa damai sejahtera dan kerukunan. Para imam sebagai figur-figur publik religius mesti menjadi orang kunci yang sungguh bisa diandalkan Gereja untuk mendamaikan dan merukunkan sesamanya tanpa membeda-bedakan ketika terjadi ketidakadilan, kekerasan, pertentangan dan permusuhan di antara manusia. Dengan ini Gereja memandang perlu mengawasi para imam dan biarawan dan biarawati (figur publik Gereja) untuk tidak melibatkan diri secara aktif dalam bidang kehidupan duniawi yang rawan pertentangan dan permusuhan, yang sarat dengan kepentingan diri atau kelompok. Politik adalah bidang yang rawan atau rentan dengan hal-hal ini. Sikap ini diambil juga didasarkan pada pengalaman ketika Gereja sibuk dengan politik kekuasaan.
Adanya larangan bagi para imam, biarawan dan biarawati terlibat dalam partai-partai politik, menjadi anggota partai politik, menjadi pengurus partai politik, mencalonkan diri untuk kekuasaan eksekutif dan legislatif sama sekali tidak meniadakan hak politik. Karena larangan Gereja ini hanyalah hukum positif Gereja yang tidak dapat membatalkan hak politik imam. Imam tidak dilarang memberikan suaranya dalam pemilu, bicara tentang politik, mengkritisi kebijakan politik dan kebobrokan praktik politik kekuasaan, atau menyerukan imbauan moral politik.
Kedua, klausul “…. Kecuali jika menurut penilaian otoritas Gerejawi berwenang hal itu perlu untuk melindungi hak-hak Gereja atau memajukan kesejahteraan umum”. Klausul ini dimengerti dalam empat hal. Pertama, Gereja mengakui sepenuhnya hak politik sebagai hak asasi imam. Kedua, Gereja menyadari bahwa perjuangan untuk membela hak-hak publik dan kesejahteraan umum adalah tugas dan tanggung jawab Gereja terutama imam. Ketiga, imam boleh terlibat dalam politik praktis dalam kondisi tertentu ketika sungguh diperlukan untuk membela dan melindungi hak-hak publik Gereja dan kesejahteraan umum. Keempat, karena sudah ada larangan, maka jika perlu harus ada ijinan dari otoritas gerejawi yang berwenang bagi imam untuk terlibat aktif dalam politik. Ini berarti imam boleh terlibat dalam politik praktis jika situasi sudah menuntut dan atas ijinan otoritas gerejawi.
Dalam pandangan Romo Domi, kondisi sosial di Indonesia memerlukan keterlibatan aktif para imam untuk membela hak-hak publik Gereja dan kesejahteraan umum masyarakat, memberantas KKN dan berbagai praktik ketidakadilan, memperjuangkan keadilan dan perdamaian yang sejati.


Flores Pos Feature Politik
17 Oktober 2007

Tidak ada komentar: