09 Oktober 2007

Rumah Biliar dan Tangisan Perempuan

Oleh: FRANS OBON

EMPAT lelaki berada di atas panggung dengan sebuah rumah mini ditaruh agak ke belakang. Seorang tetua adat dengan mengenakan kain adat Ende-Lio berbincang-­bincang dengan tiga orang lainnya mengenai saksi atas tanah dan rumah warisannya.

Ketika percakapan tengah berlangsung, tiga orang berwajah topeng masuk, mengubrak-abrik rumah dan membunuh sang tetua adat. Setelah melakukan aksinya, tiga lelaki bertopeng keluar sambil berteriak kegirangan karena misi telah berhasil.

Sang tetua tergeletak dan meninggal. Lima perempuan masuk dan menangis histeris, dan bertanya-tanya: apa sebab dan salah sang suami sehingga meninggal mengenaskan(sebagian penonton diam, sebagian tertawa cekikikan).

Seorang bos masuk dengan rokok di tangan, bergaya angkuh. Tiga pria bertopeng tadi muncul dengan wajah yang sebenarnya karena telah menanggalkan topengnya dan dengan bangga menceritakan kepada bos bahwa order telah diselesaikan. Tetapi, dalam adegan ini, terjadi dialog: bagaimana dengan anak, istri, tanah, dan rumah? Bos menjawab, itu urusan mereka.

Tujuh perempuan dan empat lelaki masuk bersama korban lainnya dan saling tuding pun terjadi antara mereka dengan lelaki yang tadi menggunakan topeng. Istri sang tetua adat mengamat-amati wajah "pembunuh itu". Huru hara tidak terhindarkan. Tuduh menuduh dan pengingkaran terjadi. Bos dengan enteng memerintahkan, bawa segera korban ke rumah sakit.

Istri sang tetua coba dihibur seorang perempuan. "Sudahlah kak". "Kamu tidak tahu apa yang saya rasakan. Anak-anak saya masih kecil," timpalnya.
Tanah yang dirampas itu digunakan untuk membangun biliar, sebuah tempat umum, di atas darah. Pertanyaan yang mengemuka: mungkinkah saya yang menyulut pertikaian itu, kata komentator.

DESKRIPSI ini mungkin tidak secara utuh menggambarkan fragmen yang mengisi acara pembukaan Pelatihan Penelitian Sosial yang diselenggarakan Pusat Pengkajian Indonesia Timur/PPIT (Centre for East Indonesia Affairs/CEIA) Jakarta yang diketuai Dr. Ignas Kleden, MA bekerja sama dengan The Toyota Foundation, bertempat di aula Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat (STPM) Sta Ursula Ende, Rabu (24/7/2002) malam.

Fragmen ini selain menggambarkan hakikat dari pentingnya penelitian sosial bagi perumusan kebijakan, juga menggambarkan sebuah realitas sosial tentang kelompok masyarakat yang sangat rentan terhadap dampak dari perumusan kebijakan yang amburadul, kelompok yang selalu menderita setiap kali konfik horisontal terjadi. Kelompok itu adalah kaum perempuan dan anak-anak.

Perumusan kebijakan publik dan dampak yang ditumbulkan oleh kebijakan yang diambil secara acak dan amburadul adalah dua hal yang bertautan secara mendasar. Yang pertama adalah sebab dan kedua adalah akibat.

Mengapa kajian ilmiah yang rasional dan objektif yang disertai dengan metode penelitian yang valid diperlukan dalam perumusan kebijakan? Yang pertama, metode harus valid. Metode dalam pengertian ini tentu saja dilihat sebagai aparatus, alat yang bisa dipakai untuk mendapatkan hasil/tujuan. Jika alat, aparatus, atau metode yang digunakan serampangan, diperkeruh oleh data-data juga tidak valid dan dipungut secara serampangan, maka perumusan kebijakan publik besar kemungkinan melenceng jauh dari tingkat kewajaran dan rasionalitas. Pendek kata metode yang keliru akan menghasilkan kesimpulan yang keliru.

Kajian ilmiah dianggap penting dan harus mendasari kebijakan pemerintah akan membantu mengurangi kemubaziran suatu proyek. Kasat mata kita saksikan bahwa proyek-proyek pemerintah seringkali mubazir karena tidak disertai dengan analisis yang rasional dan objektif berdasarkan suatu studi dan penelitian yang valid secara metodis. Kemubaziran ini diperparah lagi dengan kontinuitas dan diskontinuitasnya program pembangunan yang diambil oleh bupati atau gubernur. Kalau satu bupati berhenti, misalnya, bupati berikutnya tidak akan secara konsisten mengikuti dan melanjutkan program pendahulunya. Dengan fakta ini diskontinuitas akan menambah kemubaziran proyek pemerintah.

Poin terpenting lainnya yang menjadi alasan mengapa kajian ilmiah yang rasional dan objektif itu diperlukan adalah, untuk menghindari jatuhnya risiko yang lebih besar.

Seperti yang dikatakan oleh Peter L. Berger dalam Pyramide of Sacrifices, kebijakan yang tidak rasional tetapi didasarkan pada kepentingan sesaat selalu memakan korban (Lihat Frans Obon dalam Asal Omong SKM Dian 8/8/1997 dan Dian 1/2/2001). Untuk menakar rasionalitasnya itu, dapat dilihat dari korban yang jatuh. Peter L. Berger mengatakan, semakin satu kebijakan pembangunan menimbulkan risiko-risiko yang lebih besar dan korban berjatuhan, maka makin jelas dan transparan bahwa kebijakan itu tidak rasional. Dengan kata lain, rasionalitas kebijakan publik itu tinggi kalau korban yang jatuh sedikit.

Menurut Berger, para politisi seringkali terjebak dalam pola pikir dan terjerumus dalam keputusan seperti ini. Politisi tidak memperhitungkan hal ini dalam mengambil kebijakan. Banyak sekali keputusan politik diambil berdasarkan pengetahuan yang tidak memadai dan dengan asumsi yang keliru. Itulah sebabnya, kata Berger, seringkali keputusan politis berjalan di atas ongkos kemanusiaan yang mengerikan.

Tudingan Berger tentu beralasan. Para politisi kita yang duduk di pemerintahan seringkali mengambil keputusan berdasarkan kepentingan politik atau hanya bersifat populis semata, tanpa ada satu kajian yang mendalam tentang apa yang diperlukan oleh masyarakat. Saat ini sangat terasa cara-cara seperti itu. Menteri-menteri dari partai politik (parpol) ramai-ramai menyumbangkan sesuatu tanpa ada kajian lebih dulu apakah sumbangan itu akan bermanfaat atau tidak.

Kebijakan publik seperti ini diperparah lagi oleh situasi sosial politik masyarakat kita dan peringai pejabat pemerintah kita yang menutup rapat-rapat ruang publik (public sphere), sebuah ruang di mana kebijakan pemerintah didiskusikan dan dibicarakan bersama rakyat. Masyarakat tidak diberi ruang untuk membahas dan membicarakan kebijakan yang diambil yang berdampak pada kehidupan mereka. Sosialisasi, yang begitu tenar saat ini, adalah sebuah pola indoktrinasi karena sosialisasi itu disampaikan setelah sebuah Perda, misalnya, disahkan oleh DPRD, sementara proses pembuatan Perda itu tidak pernah disampaikan secara terbuka untuk mendapatkan tanggapan dari masyarakat.

SIAPAKAH yang paling terkena dampak dari kebijakan publik yang tidak rasional dan tidak objektif yang diambil pemerintah itu? Jawabannya adalah kelompok masyarakat yang paling lemah. Dalam konteks fragmen di atas, kelompok yang paling rentan dan menderita serta terkena dampak kebijakan yang amburadul adalah perempuan dan anak-anak. Kaum perempuan dan anak-anak meratapi konflik itu tanpa bisa mengatasinya. Mereka hidup dalam kepasrahan.

Yang menarik, menghadapi situasi ini, pengambil kebijakan seringkali cuci tangan seperti Pilatus, menyerahkan kesalahan itu kepada bawahan. Di sini pejabat pemerintah menjadi orang yang tidak peka terhadap situasi, menyelamatkan diri sendiri karena perhitungan politis. Mungkin juga dalam konteks ini, pengambil kebijakan dikelilingi oleh pejabat-pejabat yang korup, menggunakan kesempatan dalam kesempitan, meraup keuntungan di dalam penderitaan orang lain. Orang seakan tidak lagi menganggap penting untuk berbicara dan berdialog dengan hati nuraninya.

Dalam beberapa hal, sikap arogan dan tidak peka ini tercermin dalam berbagai kebijakan yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Kasus PDAM di daerah­-daerah di Flores, misalnya, demi membesarkan kas daerah, pemerintah menaikkan tarif berlipat-lipat.

Bagi pejabat pemerintah dan Pegawai Negeri Sipil (PNS) dengan gaji yang tiap kali naik dan disertai tunjangan jabatan yang aduhai, kenaikan itu tidak perlu dirisaukan. Apalagi rumah mereka tergolong tarif rumah tangga dan mereka mampu membayar. Demikian pula DPRD kita. Gaji anggota DPRD yang lari di atas angka juta, belum terhitung tunjangan transportasi - yang konon diberi satu kali untuk satu tahun , uang duduk, uang lelah, uang sisa dari perjalanan dinas, uang turba, dll. membuat mereka tidak mengalami kesulitan dalam membayar tarif air.

Lalu, siapakah yang menderita dari kenaikan itu? Rakyat kebanyakan, rakyat yang hidupnya untuk makan saja susah. Pada tataran ini para pejabat kita, DPRD kita seringkali tidak peka, bersikap ingin selamatkan diri masing-masing.

Dalam situasi-situasi seperti ini, suara hati tidak bisa lagi "menghukum" seseorang untuk bersikap peka clan tanggap. Suara hati telah lama "mati" sehingga kepekaan juga dari hari ke hari menjadi tumpul dan dekil. Rumah biliar dan kaum perempuan dalam fragmen SMUK St. Petrus itu adalah contoh terbaik sebuah kebijakan yang memakan korban dan sikap cuci tangan ingin selamatkan diri.

*Flores Pos 26 Agustus 2002

Tidak ada komentar: