05 Oktober 2007

Betap Sulitnya Nasib Guru

Oleh: FRANS OBON

Guru-guru di Kabupaten Lembata memprotes pemerintah karena gaji mereka selama setahun plus gaji ke-13 belum dibayar. Para guru datang baik-baik menemui Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Lembata Payong Pukan Martinus.

Dari dialog, diperoleh jawaban bahwa dinas tidak menutup mata terhadap fakta ini. Tetapi karena jumlah guru yang banyak dan sulitnya administrasi, membuat pembayaran gaji guru terlambat. Kadis berjanji tetap membayar gaji guru dalam waktu dekat.

Alasan karena jumlah guru yang banyak yang mengakibatkan menumpuknya urusan administrasi pemerintah mungkin saja tidak masuk akal untuk kalangan umum. Apa sih persoalan administrasi yang sulit itu? Ataukah ada masalah lain di balik itu. Apakah lebih disebabkan karena tidak adanya sikap peduli pemerintah terhadap nasib para guru?

Bilangnya pemekaran wilayah ini dimaksudkan untuk mendekatkan pelayanan dan birokrasi pemerintah akan berjalan efektif dan efisien bila wilayah dimekarkan. Ketika Lembata masih menjadi bagian dari Flores Timur, alasan efektivitas dan efisiensi pelayanan kepada masyarakat menjadi alasan utama percepatan pemekaran Lembata. Namun kasus terlambatnya pembayaran gaji guru yang telah berlangsung selama setahun itu menunjukkan bahwa tujuan pemekaran wilayah sama sekali gagal. Ternyata efektivitas dan efisiensi pelayanan birokrasi bukan terletak pada luasnya wilayah pelayanan pemerintah, melainkan disebabkan oleh mentalitas kerja birokrasi. Jangka waktu satu tahun bukanlah rentang waktu yang pendek. Dengan demikian alasan karena sulitnya pengurusan administrasi sebenarnya dicari-cari.

Masalah utama dari protes para guru ini adalah tidak adanya perhatian pemerintah terhadap nasib guru. Gaji adalah hal yang esensial bagi para guru. Andaikata selama setahun juga para elite birokrasi tidak menerima gaji yang merupakan satu-satunya sumber yang menghidupi asap dapur mereka, sudah pasti mereka juga akan berteriak. Bagi elite birokrasi mungkin tidak membutuhkan gaji karena masih bisa mendapat tambahan dari sisa perjalanan dinas, dari sumber pendapatan lain yang sulit dilacak, sehingga mereka tidak bisa merasakan kalau gaji tidak diterima. Tidak demikian halnya dengan para guru yang hanya mengandalkan gaji tok untuk menghidupi keluarga dan diri mereka. Tidak menerima gaji sama halnya memotong kehidupan mereka. Maka sebaiknya elite birokrasi pemerintah juga peka dan ikut merasakan apa yang dirasakan para guru.

Banyak kasus yang menunjukkan bahwa betapa sulitnya nasib guru. Memperjuangkan nasib guru hanya slogan belaka.

*Flores Pos/Bentara/Guru / 2 Oktober 2007

Tidak ada komentar: