08 Agustus 2007

Terkesan dengan Pentas Seni



Oleh FRANS OBON


Selama 14 tahun, seorang suster Ursulin mengelola majalah Kunang-Kunang, yang terbit di Ende sejak 1973. Uniknya dia menetap di Jakarta, tapi secara teratur mengirim naskah ke Ende. Dia terkesan dengan pentas seni para siswa SDK dan SMP Santa Ursula Ende.


MESKI usianya menjelang 70 tahun, dia masih cerdas. Jalan pikirannya teratur. Pendengarannya tajam. Dia masih kuat berjalan kaki. Siang kemarin tidak ada rasa letih menaiki tangga-tangga kecil di lorong-lorong biara Ursulin di Jln Wirajaya.
Suster Emmanuel Widiyanti Gunanto OSU datang ke Ende beberapa hari lalu menghadiri pesta emas (50 tahun) kehadiran yang aktif para suster Ursulin di Flores sejak 8 Juli 1957. Segar sekali ingatannya, ketika dia bercerita tentang visi awal membuat majalah yang menyediakan bacaan bagi anak-anak Flores. Majalah Kunang-Kunang, yang telah berusia 34 tahun.
Majalah Kunang-Kunang mendapat Surat Izin Terbit berdasarkan Keputusan Menteri Penerangan RI No. 01454/SK Dirjen-PG/SIT/1973 tertanggal 6 Agustus 1973. Lembaran perkenalan pertama Majalah Kunang-Kunang disisipkan dalam nomor perkenalan Dian. Nomor pertama Kunang-Kunang terbit dengan format 22 X 15 cm, tebal 32 halaman dan harga per nomor Rp25.
Dia mengaku Pater Alex Beding SVD menggagas lahirnya Dian. Sekitar April 1972, Pater Alex bertemu dengan Suster Ema di Biara Ursulin Ende. Waktu itu dia menjabat Kepala Sekolah Pendidikan Guru (SPG) Santa Ursula. Dia baru saja dua tahun di Ende. Setelah tamat jurusan Sastra Inggris di Atmajaya tahun 1970, oleh Serikat dia ditempatkan di Ende dan menjabat kepala sekolah.
“Saya bilang, anak-anak butuh bacaan. Kalau boleh saya mulai dengan anak-anak. Dian itu kan pelita kecil yang memberikan cahaya. Apakah ada yang lebih kecil dari Dian. Pikirkan yang kecil. Maka lahirlah nama Kunang-Kunang, binatang kecil yang berkelip-kelip” katanya.
Tetapi Juli 1972 dia pindah ke SPG Santa Maria di Jakarta. Pindah tugas tidak menghalanginya mewujudkan impian besar menyediakan bahan bacaan bagi anak-anak Flores. Di sekolah ini dia mengajak Yeyen (sekarang dokter) dan Irene Suliana (sekarang wartawan di Majalah Aura). Tahun 1973 dia pergi ke Roma dan Irlandia untuk program tersiat (kursus penyegaran) selama 9 bulan. Namun dia tetap mengerjakan naskah Kunang-Kunang dan dikirim ke Ende. “Di Eropa saya sakit. Saya bilang orang cacat saja bisa ketik dengan kaki. Saya berusaha,” katanya.
Ada saja kendala. Kita kumpulkan bahan untuk satu edisi, kemudian dikirim ke Ende lewat pos. Dua bulan sebelum terbit bahan sudah dikirim. “Mama Mia. Ada saja kendala. Kertas datang dari Jawa. Tinta habis. Pernah terjadi kertas dimakan tikus. Namun semua berjalan”.
Ketika mengunjungi Flores 1982, dia mengikuti perayaan ekaristi di Paroki Onekore. Majalah Kunang-Kunang sudah mendapat tempat di hati anak-anak. Di Gereja anak-anak baca Kunang-Kunang. “Tuhan bagaimana. Ampun,” katanya sambil tertawa.
Empat belas tahun kemudian (1987), dia melepaskan Kunang-Kunang.

SUSTER Ema lahir 15 September 1937. Sejak kecil suka membaca dan mengarang. Kemarin dia tunjukkan notes kecil yang dia buat sendiri, mencatat segala macam hal. Dia tamat dari Sekolah Guru Atas 1957 dan masuk biara Ursulin 1958. Tanggal 27 Januari 1961 mengikrarkan kaul pertama dan kaul kekal 1966. Dia melanjutkan studi di Jurusan Sastra Inggris di Atmajaya Jakarta dan tamat 1970. Namun, dia tidak sempat mengikuti wisuda karena dia sudah berada di Ende.
Orangtuanya melarang dia jadi guru. Karena gaji guru itu kecil dan bisa kena penyakit tuberkulosis . “Tapi saya merasa tidak akan bahagia kalau tidak jadi guru”.
Dia punya moto “Jadikan Hidup Indah untuk Tuhan”. “Saya tidak tahu bentuk apa yang terindah untuk Tuhan itu. Tetapi saya berusaha memberikan yang terindah untuk Tuhan”.
Sekarang dia terlibat dalam Biblical Catholic Federation dan dia menjabat Koordinator untuk Asia Tenggara (1996-2008). Di Bandung sekarang ia terlibat aktif di Angela Merici Biblical Centre yang memberikan kursus Kitab Suci, kelompok Youth Bible. Meski usianya hampir 70 tahun, dia tidak mengenal kata pensiun.
Malah makin giat dia membagi kasih dari Tuhan yang diimaninya yang dianggapnya kekasihnya yang setia kepada anak-anak yatim piatu di panti asuhan di Flores. “Kalau ada orang yang menanyakan, bagaimana mereka bisa menyumbangkan sesuatu, saya mengatakan, saya tahu di mana kamu bisa memberikan sesuatu”.

PARA siswa SDK Santa Ursula dan SMP Santa Ursula mementaskan operet Santa Angela Sabtu malam dan Minggu malam di aula Paroki Onekore di Jln Wirajaya. Laurens Lado, sang sutradara membuat kolaborasi indah antara kisah panggilan Santa Angela dan kreasi seni para siswa. Suara mereka merdu. Tarian tas baru. Kolintang, angklung, dan atraksi daerah. Khasanah busana juga terbilang bernuansa nusantara.
Suster Ema memuji Laurens Lado karena secara tepat menangkap spirit cerita tentang Santa Angela. Bagi dia, pementasan ini luar biasa. Yang paling berkesan, katanya, pementasan seni itu. “Ini karya kolosal untuk Ende dan bahwa para siswa bisa mementaskannya. Mengharukan. Ini kemajuan luar biasa di tengah keterbatasan yang ada”.
Dalam pertemuan dengan alumni, Senin siang ada feed back menggembirakan. Ada kemajuan spiritual yang luar biasa.
Pesta emas menjadi momentum baru untuk membuat prioritas baru selaras zaman. Ada tiga komitmen yang tengah dibangun yakni pengembangan sumber daya manusia, taman baca, dan laboratorium lingkungan.
Di pendopo di halaman tengah biara, tempat saya mewawancarainya, dia memperlihatkan kepeduliannya yang tinggi pada pengembangan kreativitas anak. Selain pementasan seni, dia melihat pentingnya menulis bagi anak-anak. Karena dia yakin melalui tulisan yang termuat dalam majalah anak-anak, kita mentransferkan nilai. “Kami memberikan bahan bacaan kepada anak-anak, tetapi juga nilai-nilai kemanusiaan”.
“Tiap anak punya kemampuan untuk berkreativitas. Anak-anak punya bakat. Kita bertugas memberikan dorongan (encourage). Kalau kita mencela, dia tidak akan mau lagi. Tiap anak bisa tulis”. Masalahnya di sini, semua serba mahal. Sarana kurang. Tapi bukan berarti tidak bisa mendorong anak berkespresi.
Berbicara laboratorium lingkungan hidup bukan sesuatu yang abstrak. Cinta lingkungan hidup bisa dikaitkan dengan menulis. Caranya, setiap anak tanam pohon. Lalu lihat dan evaluasi. Dia menulis perkembangannya. Ceritakan. Karena kalau tidak demikian, dia tidak tahu mau tulis apa. Bahannya apa? Mulai dari hal-hal sederhana. Dari yang kecil. Semuanya terpadu.
Dia punya ide bagaimana majalah anak-anak bisa marketable. Dia bilang, anak-anak itu diminta menulis, lalu karya mereka dimuat di majalah. Pasti mereka beli. “Kita ciptakan sense of belongings itu. Ada kebanggaan kalau mereka tulis”.
Cerita Suster Ema adalah satu dari sekian garis indah kenangan 50 tahun kehadiran para Suster Ursulin di Flores.*


Artikel ini dimuat di Flores Pos, 8 Agustus 2007

Tidak ada komentar: