17 Agustus 2007

Flores dan the Soccer War


Oleh FRANS OBON

KITA sering begitu percaya bahwa bola kaki tidak sekadar ajang kompetisi, adu strategi, adu taktik, adu kekuatan, adu kecerdikan mengolah si kulit bundar, tetapi bola kaki dipandang sebagai jembatan yang menyatukan perbedaan dan menguatkan persaudaraan. Sepakbola adalah sebuah medium.
Ajang sepakbola dunia karenanya dilihat sebagai medium mempererat hubungan antarbangsa. Sepakbola di tingkat kelurahan, kecamatan, kabupaten ataupun nasional juga medium yang mendamaikan jika terjadi konflik pertanahan, konflik perbatasan, konflik etnis, konflik agama dan mungkin salah paham yang mengakibatkan pertikaian yang tidak perlu. Pendek kata sepakbola adalah salah satu medium yang membuat kita sejenak melupakan kepahitan hidup dan kepedihan hubungan antarmanusia. Karena hidup adalah juga soal kesanggupan untuk melupakan dan mengingat.
Namun sepakbola memberikan pula hal yang diperlukan manusia: kebanggaan. Tim sepakbola nasional yang dipandang mewakili kebanggaan sebuah bangsa bisa mempertaruhkan segalanya demi harga diri bangsa, demi nasionalisme. Sebab itu para pemain atau atlet sering disebut pahlawan olahraga karena mereka dianggap membela harga diri bangsa. Jika kalah, bangsa kehilangan mukanya. Jika menang, tim nasional mengangkat harga diri bangsa. Sepakbola lalu menjadi ukuran bahwa sebuah bangsa bisa bersaing dengan bangsa lain.
Sedemikian kuatnya persepsi itu dibentuk, sedemikian pula perasaan kita terbentuk secara mendalam dan sekeras batu untuk berusaha sekuat tenaga menyelamatkan harga diri bangsa. Dengan taruhan apapun.
Sepakbola sering pula menarik ke dalam dirinya sebuah makna lain, entah politik, ekonomi, dan kultural. Melalui sepakbola atau kegiatan olahraga apapun bentuknya, seorang calon yang ancang-ancang hendak maju dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah, misalnya memperkenalkan dirinya. Melalui sebuah spanduk di sudut lapangan atau spanduk ucapan selamat datang.

THE SOCCER WAR karya Ryszard Kapuscinski boleh dibilang kisah klasik bagaimana bola bukan hanya sebuah kompetisi yang mengharuskan secara ketat mengolah kecerdasaan dan emosi, tetapi memiliki keterkaitan dengan politik, kekisruhan dan kepelikan hidup sebuah bangsa.
Kapuscinski lahir 1932 di Kota Pinsk di Polandia Utara, sekarang wilayah itu telah menjadi wilayah Uni Soviet. Dengan amat memikat dia menceritakan bagaimana bola menceburkan Honduras dan El Salvador, dua negara di Amerika Tengah ke dalam kancah perang 100 jam atau selama empat hari. Buku-buku reportase jurnalistik Kapuscinski menjadi best seller. Dia menggunakan teknik bercerita dalam reportasenya, sebuah genre yang belum begitu populer di kalangan jurnalis di Indonesia.
Di Amerika Latin, juga seperti yang kita saksikan di layar televisi, bola dan politik memang sering tidak bisa terpisahkan. Dan itulah yang terjadi antara Honduras dan El Salvador.
Pada tahun 1969, hari Minggu 8 Juni, tim nasional Honduras dan El Salvador bertanding di ibu kota Honduras di Tegucigalpa. Kedua negara sedang bertanding mengikuti Piala Dunia di Meksiko 1970. “Tidak seorangpun di dunia memberikan perhatian,” tulis Kapuscinski.
Tim El Salvador tiba di Tegucigalpa Sabtu dan sepanjang malam mereka tidak bisa tidur. Karena mereka menjadi target perang psikologis oleh pendukung tim nasional Honduras. Batu-batu dilemparkan ke jendela, petasan meletus susul menyusul. Mereka membunyikan klason mobil bertalu-talu di depan hotel. Semua hal ini terjadi sepanjang malam. “Ini praktik yang lazim di Amerika Latin,” kata Kapuscinski. Hari Minggu tim nasional Honduras mengalahkan tim El Salvador yang tidak tidur sepanjang malam itu dengan skor 1-0.
Amelia Bolanios, gadis berusia 18 tahun sedang duduk di depan televisi di El Salvador menyaksikan striker Honduras Roberto Cardona menciptakan gol di menit terakhir. Dia bangun dan mengambil pistol ayahnya yang ditaruh di laci meja. Dia menembak ulu hatinya sendiri.
“Gadis muda ini tidak bisa tahan melihat negerinya bertekuk lutut,” kata surat kabar di El Salvador, El Nacional hari berikutnya. Seluruh rakyat menyaksikan acara penguburan Amelia Bolanios. Para tentara dengan bendera Salvador berada di depan prosesi penguburan. Di belakangnya presiden dan menteri kabinetnya, serta tim nasional yang pagi berikutnya langsung terbang dengan penerbangan ekstra dari Tegucigalpa.
Seminggu kemudian pertandingan balasan dilangsungkan di El Salvador di Stadion Flor Blanca. Kini giliran tim nasional Honduras tidak bisa tidur sepanjang malam. Pendukung tim El Salvador memecahkan kaca jendela dan melemparkan telur busuk dan tikus mati. Para pemain dibawa ke lapangan dengan menggunakan kendaraan lapis baja milik tentara untuk menyelamatkan mereka dari ancaman massa yang memegang potret “pahlawan nasional” Amelia Bolanios di sepanjang rute yang dilewati.
Para tentara berjaga keliling lapangan. Sementara para pendukung tim nasional El Salvador terus berteriak dan mengejek. Hasilnya El Salvador menang 3-0.
Dengan kendaraan lapis baja yang sama, tim nasional Honduras dibawa langsung ke lapangan terbang. Nasib buruk menimpa pendukung Honduras. Mereka ditendang dan dipukul. Dua orang meninggal. Sebanyak 150 kendaraan penonton dibakar. Perbatasan dua negara ditutup beberapa jam setelah itu.
Pagi berikutnya tentara El Salvador membombardir Tegucigalpa. Ledakan bom terdengar keras. Seluruh kota panik. “Anak saya! Anak saya!,” teriak ibu-ibu. Kota menjadi hening dan mendadak mati. Listrik mati dan kota Tegucigalpa gelap gulita. Pemerintah mengumumkan melalui radio bahwa tentara El Salvador telah menyerang Honduras di garis depan.
Dalam situasi perang, slogan berseliweran dan grafiti penuh di dinding-dinding kota Tegucigalpa. “Only Imbecle worries, Nobody beats Honduras” Pick up your guns and let’s go guys, cut those Salvadorians Down to Size”.
Singkat cerita, konflik bersenjata yang dipicu sepakbola ini berlangsung 100 jam, menewaskan 6.000 orang dan lebih dari 12.000 menderita luka-luka; 50.000 orang kehilangan tempat tinggal dan lahan. Banyak kampung hancur.
Alasan sesungguhnya dari perang itu adalah El Salvador, negara yang paling kecil di Amerika Tengah memiliki populasi paling padat (sekitar 160 per kilometer persegi). Tapi tanah-tanah pertanian dimiliki 14 klan terbesar. Bahkan orang mengatakan El Salvador milik 14 keluarga. Dua pertiga dari penduduk kampung tidak memiliki lahan. Bertahun-tahun petani yang tidak punya tanah ini beremigrasi ke Honduras, yang enam kali lebih besar dari El Salvador (12.000 kilometer persegi), tapi penduduknya hanya dua juta lima ratus ribu.
Petani asal El Salvador ini menetap di Honduras, membangun perkampungan dan perlahan-lahan kesejahteraannya meningkat. Jumlah mereka kira-kira 300.000.
Pada tahun 1960-an, para petani Honduras menuntut lahan dan pemerintah Honduras mengesahkan undang-undang pembaruan agraria. Karena pemerintahan oligarki ini bergantung pada Amerika Serikat, undang-undang ini tidak menyentuh lahan milik pemerintahan oligarki atau lahan perkebunan pisang milik United Fruit Company, namun meredistribusi kembali lahan milik 300.000 petani El Salvador yang telah menetap di Honduras. Para petani El Salvador ini dipaksa kembali ke tanah air mereka di mana tidak ada apa-apa lagi di negara asalnya dan dalam beberapa kejadian mereka ditolak pemerintah El Salvador karena takut terjadi revolusi petani.
Hubungan kedua negara tegang. Suratkabar di dua negara mengkompor rasa benci, saling umpat, saling menuding sebagai Nazi, kejam, mata-mata, agresor, dan pencuri. Inilah keadaannya ketika pertandingan sepakbola itu berlangsung.
Setelah perang berhenti, pertandingan seri ketiga dilanjutkan di negara netral, Meksiko. Di stadion, pendukung Honduras ditempat pada satu sisi dan pada sisi lainnya pendukung El Salvador dan di tengah-tengah ditempatkan 5.000 polisi Meksiko. El Salvador menang 3-2.
Di Amerika Latin sepakbola dan politik tidak terpisahkan. Ketika Brasil memenangkan Piala Dunia di Meksiko 1970, tulis Kapuscinski, temannya dari Brasil yang berada di pengasingan mengatakan kepadanya, “Pemerintah militer sayap kanan dapat dipastikan dalam lima tahun ke depan berada dalam damai”.
Saat itu Brasil mengalahkan Inggris. Suratkabar di ibu kota Brasil, Jornal dos Sportes membuat berita headline “Yesus Memenangkan Brasil” dengan kata-kata, “Kapan saja bola mengarah ke gawang kami dan sebuah gol tampaknya tak terelakkan, Yesus menjulurkan kakinya keluar dari awan-awan dan menjauhkan bola itu”.

SEPAKBOLA di Flores dan The Soccer War punya konteks berbeda. Jauh-jauh berbeda. Namun ada satu unsur yang tampaknya memberikan garis merah bahwa sepakbola sering menarik ke dalam dirinya hal-hal di luar hakikat sepakbola sebagai ajang kompetisi, ajang adu kecerdasan, ajang hiburan, dan medium mempersatukan. Di Flores umumnya “emosi menggebuk” dalam pertandingan sepakbola sudah menjadi cerita klasik.
Sudah sering terjadi, begitu memuncaknya emosi menggebuk ini membuat satu dua pertandingan tidak selesai atau terjadi kekisruhan di ujung akhir pertandingan. Pertandingan antarkampung, antardesa, antarparoki, antarkecamatan, diwarnai keributan: mulai dari hal sepele hingga ketidakpuasan terhadap wasit.
Di Ruteng sebagai misal, beberapa waktu lalu, baku pukul di lapangan antarpemain, nyaris memicu baku pukul antarkampung. Eh, datang dari mana emosi seperti ini. Dari pribadi ke pribadi, berubah menjadi kampung lawan kampung.
Beberapa waktu lalu, Copa Flores pertama dengan arsitek utama M Liga Anwar digelar di Stadion Marilonga, lokasi yang dalam sejarah pembuangan Soekarno (1934-1938) menjadi tempat dia dihukum pemerintah Belanda karena mengajarkan lagu Indonesia Raya kepada rakyat Ende.
Copa Flores adalah satu dari sekian ajang perhelatan sepakbola bergensi di Flores di luar El Tari Cup, Pekan Olahraga Daerah Flores dan Lembata (Pordafta) sukses. Tim sepakbola dari Ngada, Ende, Maumere, dan Flores Timur – minus Manggarai, Manggarai Barat, dan Lembata—berlaga dalam turnamen berhadiah jutaan rupiah ini. Sabtu lalu Persando mengalahkan Bintang Timur (Flotim) di final melalui adu penalti, dengan skor 3-1 untuk Persando (Ndona-Ende). Sayangnya di semifinal, Copa Flores sempat terhenti karena konflik di luar sepakbola.
Copa Flores mungkin juga copa-copa lainnya di kemudian hari dan The Soccer War konteksnya jauh-jauh berbeda. Tapi terdapat garis merah menghubungkan keduanya: hal-hal di luar sepakbola dibawa masuk ke dalam ajang kompetisi. Mungkin bukan ini alasan atau jawabannya, mengapa sepakbola kita tidak pernah maju dan menjadi medium yang mempersatukan etnik-etnik di Flores.*
Flores Pos Feature Bola Kaki 18 Agustus 2007

Tidak ada komentar: