07 Agustus 2007

Banyak Orang Salah Tafsir



Gereja Katolik mempromosikan gerakan aktif tanpa kekerasan untuk melawan kecenderungan menggunakan kekerasan dalam menyelesaikan suatu masalah.

Oleh FRANS OBON

SUARANYA menggelegar memenuhi ruangan. Dengan aksentuasi yang jelas, seakan memberikan penegasan bahwa kekerasan harus hilang ditelan bumi. Suara damai memenuhi ruang peradaban manusia.
Romo Rofinus Neto Wuli Pr mengenakan baju batik bersuara lantang di hadapan peserta pelatihan Gerakan Aktif Tanpa Kekerasan (Active Non-Violence) di Pondok Bina Olangari, Senin (30/7). Sebagai Ketua Komisi Keadilan, Perdamaian, dan Keutuhan Ciptaan Keuskupan Agung Ende, dia memberikan sambutan pada acara pembukaan.
Dia bilang, Gereja Katolik Indonesia telah berbicara mengenai habitus baru untuk melawan kebobrokan dalam masyarakat, termasuk kekerasan. Satu pilihan tampan jika Gereja memperkenalkan dan memasyarakatkan gerakan aktif tanpa kekerasan. Karena ajakan ini bersumber dari ajaran Kristus mengenai cinta kasih dan melawan kejahatan dengan kebaikan.
Orang-orang lagi jenuh dengan kekerasan yang terjadi di berbagai belahan dunia. Juga di dalam konteks masyarakat Flores. Orang-orang modern sekarang lagi merindukan hidup damai. Kerinduan yang sama menjadi impian Gereja Katolik Keuskupan Agung Ende.
Komitmen Gereja Katolik Keuskupan Agung Ende melawan kekerasan dengan gerakan aktif anti kekerasan mendapat bentuk dan wadahnya yang tepat dalam komunitas umat basis. Keuskupan Agung Ende berkomitmen mengembangkan habitus baru, cara pandang baru, budaya baru sebagai tandingan (alternatif) dalam komunitas umat basis. Keuskupan tengah berjuang keras membentuk dan mengembangkan komunitas umat basis ini sebagai komunitas perjuangan dan pembebasan. Visi menggereja dengan cara baru yang memberi tekanan pada komunitas umat basis terumus dengan jelas dalam Musyawarah Pastoral (Muspas) IV tahun 2000 di Maumere, ibu kota Kabupaten dan Muspas V tahun 2005
Gerakan komunitas basis ini menyuntikan kembali dimensi kemandirian dan solidaritas di dalam kehidupan bersama yang telah terfragmentaris. Segala masalah di dalam komunitas basis, pun masalah kemasyarakatan lintas sekat ditangani di dalam komunitas basis. Dengan ini umat basis tidak menunggu datangnya dewa penyelamat, tetapi mereka dalam semangat solider, sehati dan sejiwa menolong sesamanya yang tidak bisa membela diri, tidak mampu memperjuangkan hak-haknya, yang diperlakukan tidak adil.

MASYARAKAT Flores yang mayoritas Katolik belepotan dengan lumpur kekerasan. Konflik pertanahan dominan sebagai trigger (pemicu) konflik. Ronny bilang, konflik ini sudah berlipat-lipat dan masalah menjadi amat kompleks. Ada pembunuhan sudah berada di luar batas perikemanusiaan, caplok-mencaplok, dendam. Konflik tanah sudah berujung ganda: pribadi dengan pribadi, masyarakat dengan masyarakat, masyarakat dengan pemerintah. Kekerasan personal dan struktural sudah menjadi makan minum tiap hari.
Dia contohkan Mbay, ibu kota Kabupaten Nagekeo. Tanah telah menjadi masalah serius. Lama-lama, orang Mbay dan di utara Flores akan menjadi orang asing di tanah sendiri.
Kekerasan dalam rumah tangga juga meningkat. Bahkan ada kekerasan yang berdampak pada abortus. Kasus kekerasan dalam rumah tangga ini ibarat gunung es. Ada banyak kasus yang tidak terungkap dan tidak dimunculkan ke permukaan karena alasan budaya.
Bagaimana Gereja menyikapi ini. Ronny mengatakan, ada empat langkah yang dilakukan Gereja. Pertama, konsientisasi atau penyadaran; kedua, animasi dan motivasi, ketiga, mediasi dan konsultasi, dan keempat advokasi non litigasi. Advokasi non litigasi ini mendorong Komisi untuk berjuang memediasi berbagai konflik sedini mungkin dengan mengutamakan kearifan budaya lokal. Kita memiliki nilai-nilai budaya yang menjunjung tinggi hak asasi manusia dan sejalan dengan nilai Injili.
Kalau komunitas umat basis dijadikan komunitas perjuangan dan pembebasan, ini tidak lain dari usaha Gereja agar masyarakat secara bersama-sama menyelesaikan konflik dan bersama-sama membangun peradaban baru. “Kalau ada kejadian, tidak saling tunggu”.
Kalau satu masalah diselesaikan melalui jalan hukum, ada banyak orang kecil dan miskin di dalam komunitas basis kita yang tidak punya uang, punya kekuatan untuk mengurus perkara. Kita berusaha agar mereka menyelesaikan konflik itu dengan cara damai oleh mereka sendiri tanpa dibawa ke pengadilan.

ROMO Ronny ditahbiskan imam 3 September 1997 di Paroki Langa, Kevikepan Bajawa, Keuskupan Agung Ende. Dia lahir 14 November 1967 di Langa, Bajawa, Kabupaten Ngada. Sejak menjalankan Tahun Orientasi Pastoral (TOP) di Paroki St Yoseph Maumere, ia sudah mulai terlibat dalam petisi damai mengencam tindakan pencemaran hosti di Maumere tahun 1995. Dia berpengalaman mengajar di berbagai lembaga pendidikan dan berkarya di Paroki. Sekarang dia bekerja di Paroki St Mikhael Maukeli.
Sekarang dia menjabat Ketua Komisi Keadilan, Perdamaian, dan Keutuhan Ciptaan Keuskupan Agung Ende. Dia pernah menjadi anggota pleno/Koordinator Regio NTT Komisi Keadilan dan Perdamaian Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) (2001-2003).
Dia terlibat aktif dalam komisi keadilan dan perdamaian Gereja Katolik karena dia pandang tugas ini sebagai bagian dari panggilan hidupnya. “Ini panggilan perutusan saya”. Karya keadilan dan perdamaian juga bagian tak terpisahkan dari seluruh reksa pastoral Gereja, bukan sesuatu yang dicangkokkan.
Karya ini penting dalam pandangannya karena akan memperlihatkan warna Gereja di tengah tata dunia. Gereja tidak hanya memberi perhatian pada hal-hal kultis, tetapi juga diakonia.
Moto tahbisannya menginspirasinya untuk makin terlibat dalam kegiatan komisi keadilan dan perdamaian. “Aku tahu kepada siapa aku percaya (Scio, cui Credendi)” yang diambil dari 2 Timoteus 1:12. “Ini spiritualitas pengabdian dan perjuangan saya”.
Dia mengatakan, banyak orang salah tafsir dengan karya Komisi Keadilan, Perdamaian, dan Keutuhan Ciptaan. Kalau untung, orang bilang komisi keadilan dan perdamaian benar. Kalau mengguncangkan, komisi keadilan dan perdamaian terlalu jauh. Orang yang bilang terlalu jauh itu dia tidak mengerti. Ini bagian integral dari karya Gereja.
Usianya terbilang muda. Tentu saja dia memiliki obsesi terciptanya bumi dan langit baru. Adakah harapan untuk itu?
Hidup harus punya harapan, katanya. “Saya optimistis wajah Gereja lokal akan berubah, paling kurang ada perubahan. Saya punya harapan tentang hidup yang lebih baik, lebih adil, dan harmonis tanpa kekerasan. Hal ini bisa terwujud”.
Dia memiliki dasar untuk percaya dan berharap. “Saya percaya karena Tuhan yang memulai dan Dia pula yang akan menyempurnakannya”.
Gerekan aktif tanpa kekerasan akan diterima sebagai salah satu sikap hidup masyarakat Flores.


Artikel ini dimuat di Flores Pos, 6 Agustus 2007

Tidak ada komentar: