22 Juli 2007

Kami Tidak Didengar


Oleh FRANS OBON

TIGA puluh orang anak duduk bersila di lantai gedung pertemuan Pondok Bina Olangari, Kabupaten Ende, Sabtu. Dibagi dalam dua kelompok. Mereka mendiskusikan satu pertanyaan, apa sebab hak-hak anak tidak terpenuhi.
Diskusi baru lima menit, saya minta satu fasilitator John Th Ire mengizinkan saya berbicara dengan seorang dari mereka. John Ire mendekati satu fasilitator lagi, Suster Afra FCJ yang lagi duduk di sebuah kursi plastik berwarna hijau pada sisi kanan pintu masuk ruangan. Dia mengiyakan. John Ire pergi dan memanggil satu dari mereka. Seorang perempuan.
Margareta Herlyani Gama, yang tahun 2006 lalu tamat dari Sekolah Menengah Pertama Santo Gabriel Ndona. Dia anak kedua dari empat bersaudara, lahir dari pasangan Gregorius Gama dan Sabina Nona. Sayang, ia kehilangan ayahnya, yang meninggal selagi dia masih duduk di bangku sekolah. Karena ekonomi orang tuanya tak cukup, ia tak bisa melanjutkan pendidikannya. Ia yang pertama mengulurkan tangan ke saya dan saya bisa merasakan ia lagi ingin membunuh rasa cemasnya.
“Saya senang bisa mewakili teman-teman mengikuti pertemuan ini. Ini kedua kalinya saya ikut kegiatan serupa,” katanya. Tahun lalu dia ikut kegiatan pelatihan dan lokakarya hak-hak anak. Ia makin merasakan bahwa pertemuan ini memberi manfaat. Ia bisa kenal banyak orang, syering dengan teman-teman sebayanya, berbicara di depan orang banyak, pengetahuannya makin luas, dan ia makin pede (percaya diri). Ia pun berjanji, ketika kembali ke kampungnya, akan membagikan pengalaman ini dengan orang-orang dekatnya, orang-orang sebaya, keluarga, dan masyarakat luas. Dia senang dengan proses dan metode kegiatan ini.
“Kami sering tidak didengar dan tidak diberi kesempatan, karena kami dianggap terlalu muda. Hak partisipasi kami terabaikan,” begitu katanya, menutup dialog. Saya persilakan dia kembali ke kelompok dan dia ulurkan tangannya.

KETIKA saya masuk ruangan pertemuan, Suster Maria Sunarni FCJ lagi menulis di laptop yang ditaruh di sebuah meja panjang dengan taplak hijau. Pertemuan istirahat sejenak untuk minum. Saya berkesempatan berbicara dengannya.
“Ini pertemuan memetakan kebutuhan anak dan mendengar aspirasi mereka. Kami hanya fasilitasi menggali pengalaman mereka sendiri dan pengalaman dari luar diri mereka. Harapan-harapan itu dikumpulkan dan pada akhir pertemuan akan dibuat rekomendasi,” katanya. Mereka bisa belajar, mana kekuatan, mana kelemahan, mana ancaman, dan mana peluang yang bisa digunakan untuk memenuhi harapan mereka.
Suster Narni, begitu dia dipanggil belajar psikologi di Universitas Gajah Mada, Yogjakarta dan kongregasi FCJ (Sahabat Setia Yesus/Faithfull Companions of Jesus) menjadikan kaum muda salah satu fokus karyanya. Dia punya pengalaman panjang keterlibatan dengan anak-anak, termasuk anak cacat. Dia pernah menjadi pegawai negeri sipil, bekerja di Dinas Sosial Yogyakarta. Ia juga bergabung dengan Jesuit Refugees Service (JRS) di Aceh pasca tsunami. FCJ mulai berkarya di Ende 2005.
Ketika pertama kali ke desa-desa di Flores, dia melihat perlunya proses penyadaran. “Banyak anak kita setelah sambut baru putus sekolah. Saya melihat adanya motivasi yang rendah. Kami membaca kebutuhan itu”.
Ada dua pendekatan yang bisa dia gunakan. Pertama, pola penyadaran dan kedua pola modeling. Dia ambil contoh. Di Flores banyak yang bilang, anak-anak mesti dididik dengan keras. Guru-guru juga bilang begitu. Mereka bilang banyak yang berhasil karena dididik dengan keras. Tapi apakah untuk berhasil harus dengan keras? Tidak ada cara lain?
“Kita menyadarkan mereka bahwa ada cara lain untuk mencapai kesuksesan yang sama”. Mengubah kebiasaan ini, dia mendekati tokoh-tokoh kunci di masyarakat.
Metode modeling tidak lain adalah memberi contoh. “Anak-anak bosan dengan bicara. Anak-anak perlu contoh”. Anak-anak itu, kata Suster Narni, senang dengan bahasa tubuh dan gerakan. Mereka dengan mudah menangkap bahasa tubuh.
Kalau masalah anak itu ibarat batu, seberapa besar batu itu dan seberapa besar kesulitan menggulingnya?
Suster Narni bilang, ada konsep bahwa tanah Flores itu kering, tanahnya gersang yang membuat orang Flores itu keras. Alam membuat orang Flores harus berjuang untuk hidup. Tapi jangan lupa Tuhan membuka mata kita, ada hidup damai. Dalam keterbatasan itu orang merasa tenteram. Orang sejahtera.
“Kita bisa mengubah orang. Seperti air yang menetes di atas batu, betapapun batu itu keras, akan berubah juga. Tetesan air itu akan mengubah batu menjadi unik, indah”.
Jika analogi ini digunakan dalam membentuk anak-anak, proses penyadaran itu akan membuat mereka sadar bahwa mereka unik dan dihargai.
Tidak mudah mengubah situasi ini. Dia melihat perlu keterlibatan tokoh-tokoh adat dan tokoh masyarakat, atau orang-orang kunci. Karena mengubah konsep yang telah membudaya tidak mudah.
“Orang sering bilang pada saya, tidak bisa suster”. Ini karena orang menginginkan proses yang cepat. Orang mau perubahan cepat terjadi tanpa berproses. Ini bisa berjalan karena semua orang terlibat, bukan hanya anak-anak. Ke depan, kegiatan semacam ini melibatkan orangtua dan tokoh-tokoh kunci dalam masyarakat.

LOKAKARYA Komisi Anak Mitra CCF Ende ini berlangsung Jumat dan Sabtu pekan lalu. John Ire mengatakan, selain anak-anak mau mengetahui hak-hak mereka sebagaimana tercantum dalam undang-undang Perlindungan Anak No. 23/2002 dan Konvensi Hak Anak, kegiatan ini juga bertujuan menjaring aspirasi anak-anak. Hasil akhir pertemuan adalah rekomendasi yang akan diberikan kepada pihak terkait.
“Kita mau jaring apa keinginan mereka ke depan, yang akan disampaikan pada perayaan Hari Anak di Ende”.
Dia bilang masih banyak anak yang belum tahu dan sadar mengenai hak-haknya. “Kita mau bangun rasa tanggung jawab dan melihat anak secara utuh. Kitap coba membawa mereka ke tiga hal ini: head, heart, dan hand (otak, hati, dan kecakapan).”
Anak-anak ini akan menjadi vocal point, orang yang akan selalu berbicara mengenai hak-hak anak dan perlunya memenuhi hak-hak anak di lingkungan terdekatnya. Dengan ini, akan memicu sebuah gerakan yang lebih besar di dalam masyarakat. *

Artikel ini dimuat di Flores Pos, 23 Juli 2007



Tidak ada komentar: