22 Juli 2007

Selendang Persaudaraan


Oleh FRANS OBON

KOTA Ende, Kamis (7/6) lagi mendung. Hujan rintik-rintik. Pagi-pagi orang harus menggunakan mantel hujan: ke kantor, ke sekolah, ke tempat kerja. Ada kasak kusuk akan datang tsunami. Sebagian cuek, sebagian khawatir. Sebagian tenggelam dalam kesibukan mempersiapkan misa pontifikal Uskup Agung Ende Mgr Vincentius Sensi Potokota, yang dihadiri Duta Besar Vatikan untuk Indonesia Mgr Leopoldo Girelli.
Ende dalam bulan Juni ini memperlihatkan posisi historisnya. Dia menjadi pusat pemerintahan daerah Flores masa lalu. Tempat pembuangan Bung Karno, presiden pertama Indonesia yang bersama Mohamad Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Megawati Soekarnoputri awal Juni lalu meresmikan patung Proklamator itu yang berdiri tegak di ujung utara sebuah lapangan yang lagi diusul untuk ganti nama lapangan Pancasila. Sebab Bung Karno mengaku di bawah pohon sukun, di tempat itu dia menemukan sila-sila Pancasila, ideologi bangsa Indonesia merdeka.
Di ruang kerjanya, Wakil Bupati Ende Bernadus Gadobani menerima empat aktivis perempuan dari Timor Leste: Veronica Correia, Zumira Fonseca, Justina Pereira, dan Apolonia dos Santos. Mereka diantar fasilitator Desa Siaga John Th Ire dan Marcel Levi. Dua hari lalu mereka tiba di Ende. Mereka dari Alola Foundation, yang fokus perhatiannya menolong perempuan dan anak Timor Leste.
Timor Leste merdeka melalui sebuah jajak pendapat di masa pemerintahan BJ Habibie September 1999. Tetapi merdeka bukan tanpa luka. Luka dalam konflik pasca jajak pendapat dan luka dalam konflik internal 2006 lalu. Yang paling menderita kelompok perempuan dan anak-anak. Negara Timor Leste, kata Correia, belum punya sistem pensiun. Seperti juga Indonesia dengan kultur patriarki, perempuan bergantung pada suami. Ketika mereka kehilangan suami dalam konflik, mereka seperti barang yang terlepas dari gantungannya.
Alola Foundation, yang didirikan 2001 dan digagas bersama Ibu Negara Kristy Xanana Gusmao hendak menyelamatkan situasi perempuan Timor Leste. “Sekarang masih banyak perempuan hidup di kamp penampungan akibat konflik internal 2006 lalu,” kata Correia. Angka kematian ibu dan anak 420-800/100.000 kelahiran, angka buta huruf 64 persen, ekonomi merayap. Yayasan Alola melakukan advokasi hak perempuan dan anak, membangun capacity building agar perempuan dan anak korban konflik bisa memenuhi sendiri kebutuhan hidup mereka.
Yayasan ini memberikan beasiswa kepada anak-anak sekolah menengah umum selama tiga tahun. Sekarang mereka telah membiayai 800 anak. Mereka membangun sekolah persahabatan antara Timor Leste dan Australia.
Di bidang ekonomi, mereka membantu perempuan-perempuan menenun. Harga ditentukan oleh penenun. Selendang 5 dollar per lembar. Yang lebih besar dibeli 10-15 dollar. Yang besar sekali 20 dollar. Yayasan membantu pemasaran di tingkat nasional dan internasional. Yayasan ini mendapat dukungan penuh dari kementerian terkait yang tertuang dalam Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding) dua tahun lamanya.
“Ini selendang tenunan perempuan Timor Leste,” kata Correia ketika mengenakan selendang – tais dalam bahasa Timor Leste -- kepada Wakil Bupati Bernadus Gadobani di ruang kerjanya kemarin. “Terima kasih,” kata Gadobani.

SEHARI sebelum bertemu Gadobani, mereka kunjung Desa Borokanda. Desa ini, satu dari lima desa – Manulondo, Borokanda, Wolotolo, Ndungga dan Dile – yang ditetapkan pemerintah Kabupaten Ende sebagai Desa Siaga. Lima desa ini pilot project pemerintah Kabupaten Ende menuju Ende Sehat 2010. Gadobani meresmikan pilot project ini 2005 lalu. Aus-Aid sebuah lembaga dari Australia ikut mendukung pembentukan Desa Siaga.
Lima aktivis perempuan Timor Leste ini ke Borokanda dan Jumat hari ini ke Manulondo mau melihat dari dekat kemajuan Siaga. Inilah tujuan mereka ke Ende dan Maumere: mau belajar cerita sukses membangun partisipasi masyarakat dalam meningkatkan kesehatan ibu dan anak.
Panjang lebar Gadobani menjelaskan program ini. Kerja sama dengan LSM. Transportasi yang mulai lancar. Dia optimistis cerita sukses Desa Siaga akan dilanjutkan. Bahkan sebelum 2010, 128 desa ditetapkan jadi Desa Siaga.
John Th Ire minta Gadobani memberikan komitmen politik pemerintah dalam mendukung Desa Siaga. Gadobani menjanjikan sharing cost yang akan diajukan dalam perubahan anggaran Juli atau Agustus mendatang. “Kita harapkan kegiatan itu besar atau kecil mesti membawa dampak perubahan. Kita memang butuhkan waktu,” kata Gadobani.

HOTEL Mentari di Jln Perwira “disteril”. Seluruh ruangan utama dipakai. Diskusi dilanjutkan di tempat ini. Di deretan peserta hadir Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa (BPMD) Frans Lasa, Ketua Desa Siaga Borokanda M Djae HD, Ketua Desa Siaga Manulondo Flavi, Kades Manulondo Anton Te, Bidan Desa, utusan Bappeda, Dinas Kesehatan, plus fasilitator Marcel Levi, John Ire, Rafael Minggu, dan pers. John Ire moderator.
Semua yang terlibat di Desa Siaga bicara. Mereka semangat bercerita. Awal mula dilakukan Problem Participatory Analysis (PPA). Ini dimaksudkan agar masyarakat menemukan masalah mereka sendiri, sadar punya masalah, lalu mencari solusi. Cerita proses pembentukannya dan proses mengubah mindset untuk menerima perubahan yang ditawarkan.
Desa Siaga punya jejaring: jejaring notifikasi tangani masalah pendataan ibu hamil, jejaring darah urus donor darah bila ibu hamil memerlukannya, jejaring transportasi urus kendaraan bila ibu hamil memerlukan bidan desa atau harus dibawa ke polindes, jejaring dana dan jejaring keluarga berencana.
Dua tahun pilot project ini berjalan, manfaatnya mulai dirasakan. Masalah kesehatan ibu dan anak dikeroyok ramai-ramai. Tidak ada lagi yang ditolong dukun jika bersalin. Peserta KB meningkat. Di Manulondo orang lebih suka pakai medote alamiah (KBA). Angka kelahiran menurun. Angka kematian demikian.
Soal dana, masyarakat membuat dua program: tabungan ibu hamil dan dana solidaritas lima ratus rupiah sebulan. Pemerintah daerah masih dukung dana satu juta rupiah per tahun per Desa Siaga.
“Desa Siaga tempat pertemuan antara negara dan partisipasi masyarakat. Kita mau bangun modal sosial,” kata John Ire.
Correia mengatakan, mereka belajar dari pertemuan ini bagaimana memobilisasi masyarakat, menyusun strategi community development yang partisipatoris di Flores dan bagaimana bisa dalam dua tahun (2005-2007) terjadi perubahan signifikan. “Inilah yang dapat kami pelajari dari tukar pengalaman ini,” kata Correia.
John Ire membaptis kunjungan ini sebagai rekonsiliasi antara Timor Leste dan Indonesia. Dialog kultural karena antara Timor Leste dan Flores memang punya simpul kultural. Kalau begitu, ini selendang (tais) persaudaraan.*

Artikel ini dimuat di Flores Pos, 8 Juni 2007



Tidak ada komentar: