28 April 2014

Solider dengan Perantau


Oleh Frans Obon

Gereja Katolik Manggarai telah mengambil langkah penting  dengan memberi perhatian pada masalah para pekerja migran dan masalah migrasi penduduk dari dan keluar Flores. Fokus utama dari keprihatinan pastoral ini, sebagaimana diputuskan dalam Sinode Keuskupan Ruteng 2014, adalah membangun sikap solider dengan para pekerja migran. Sikap ini lahir, selain dari pemahaman mengenai hakikat Gereja Katolik yang memandang dirinya sedang berziarah, tetapi juga lahir karena adanya kompleksitas masalah sebagai dampak dari migrasi tenaga kerja ke luar Flores.
Sinode menyebutkan bahwa banyak pria dan wanita dari Manggarai keluar dari Flores untuk mencari pekerjaan. Keluarga, suami, istri dan anak-anak ditinggalkan. Peserta Sinode sepakat dan berkomitmen menangani masalah ini bersama pemerintah dan pihak-pihak lainnya. Gereja membangun sikap solider dengan pekerja migran  dan menolong keluarga yang ditinggalkan (Flores Pos, 25 Januari 2014).
Masalah perantau yang sekarang disebut dengan para migran di Flores dan Lembata sudah lama terjadi, bahkan pada tahun 1970-an telah menjadi masalah serius. Ada banyak ekses yang terjadi, terutama terkait dengan kehidupan keluarga,  sel terkecil dari Gereja itu sendiri. Pada awalnya hanya prialah yang merantau, terutama kaum muda, tetapi lama kelamaan para pria yang telah berkeluarga juga merantau ke luar Flores, dengan tujuan utama adalah Malaysia. Ekonomi adalah alasan dan motivasi utama dari perantauan ini. Kondisi Flores dan Lembata yang miskin telah menyebabkan banyak kaum muda meninggalkan desa-desa dan merantau ke tanah orang.

Sejalan dengan akses dan mobilitas yang tinggi saat ini, bukan hanya pria yang merantau ke luar Flores, tetapi juga kaum perempuan terutama gadis-gadis belia. Dengan tingkat pendidikan yang rendah, yang sebagian besar tamat sekolah dasar dan sekolah menengah pertama serta sebagian kecil tamat Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA), potensi terjadinya human trafficking (perdagangan manusia) menjadi lebih besar.
Keprihatinan utama kita sebenarnya adalah dampak buruknya pada keluarga. Sendi-sendi utama kehidupan keluarga terancam. Kasus HIV/AIDS menjadi fonemena yang menakutkan. Di Sikka, 17 bocah positif HIV/AIDS (Flores Pos, 23 Januari 2014). Kalau kita menelusuri riwayat para penderita HIV/AIDS di Flores dan Lembata, selalu terkait erat dengan perantauan (migrasi). Jelas ini sangat membahayakan keluarga-keluarga kita dan generasi mendatang. Penelantaran juga menjadi kasus yang paling banyak.
Masalah lain yang juga sering muncul adalah praktik-praktik keagamaan. Para pekerja migran kita terlibat dalam praktik eksorsisme, yang berlabel agama. Beberapa tahun lalu kita dihadapkan dengan praktik-praktik keagamaan yang bertentangan dengan ajaran Gereja Katolik. Pengalaman keagamaan seperti ini juga menjadi keprihatinan kita.
Kita sudah lama menghadapi masalah yang begini kompleks. Tetapi respon kita seringkali tidak memadai. Kita tidak memiliki data yang akurat mengenai jumlah para pekerja migran, yang sebenarnya begitu mudah dilakukan. Pemerintah terus berjanji melakukan pendataan tetapi tidak pernah dilakukan. Reksa pastoral kita juga tidak memadai untuk menangani masalah ini. Aksi-aksi Katolik untuk para pekerja migran tidak terlihat. Stigmatisasi yang menyebut para istri yang ditinggalkan para perantau sebagai “janda malasyia” adalah refleksi paling kuat mengenai minimnya perhatian kita pada masalah ini. Program-program ekonomi pemerintah tidak menyentuh langsung keluarga para migran. Mereka luput dari program ekonomi pemerintah.
Kita memberi apresiasi atas sikap positif Sinode Keuskupan Ruteng tahun 2014 yang mau  memberi perhatian pada masalah migran. Tetapi kita juga menuntut pemerintah agar dana-dana pembangunan haruslah digunakan seefektif mungkin untuk peningkatan ekonomi masyarakat. Sebab akar utama dari masalah ini adalah ekonomi.
 Bentara, 28 Januari 2014

Tidak ada komentar: