27 April 2010

Budaya Katrol Lumpuhkan Kompetisi

Oleh FRANS OBON

BUDAYA katrol untuk menaikkan prestasi kerja atau untuk tujuan agar kawan sekelompok kepentingan menduduki posisi penting di lembaga pemerintahan telah menjadi budaya yang subur dalam sepuluh tahun lebih reformasi. Sejalan dengan pemberian kewenangan yang lebih besar kepada pemerintah lokal, seiring itu pula potensi penyalahgunaan kewenangan untuk menguntungkan kawan sekelompok dengan cara mengatrol lazim dilakukan.

Barangkali dalam konteks itulah kita dapat memahami dan mengerti apa yang terjadi dengan protes para guru di SMA Negeri 2 Lewoleba yang menolak kepala sekolah yang telah dilantik. Kepala sekolah Yan Sinu, menurut mereka, belum layak menempati posisi kepala sekolah karena pangkatnya belum memenuhi syarat. Masih ada guru di sekolah bersangkutan yang menduduki golongan lebih tinggi daripada kepala sekolah tersebut dan dianggap layak menenmpati posisi tersebut. Para guru ini telah bertemu dengan sekretaris daerah (Sekda) Petrus Toda Atwolo dan Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga Gabriel Bala Warat. Dua pejabat ini, menurut para guru, sudah menjanjikan untuk meninjau kembali keputusan tersebut (Flores Pos edisi 20 April 2010).


Sulitlah kita bicara perbaikan budaya birokrasi dan tata kelola pemerintahan yang baik pada aras lokal jika saja praktik-praktik katrol-mengatrol masih dipraktikkan. Fenomena katrol ini yang luput dari perhatian media dan seringkali menjadi bahan perbincangan di kalangan masyarakat telah lama menjadi praktik umum di pemerintahan lokal di Flores. Kita masih ingat pada awal-awal pemberlakuan otonomi daerah ada-ada saja kebijakan yang dimungkinkan oleh undang-undang bagi bupati untuk menaikkan pangkat seseorang lebih tinggi melalui jalan tol. Begitu cepat. Ada kewenangan bagi bupati untuk menaikkan pangkat atau golongan seseorang sehingga dalam tempo lima tahun, seseorang bisa menduduki jabatan tertentu. Proses katrol semacam ini jelas hanya bisa dilakukan bagi kawan dari kelompok kepentingan.

Bahaya dari praktik seperti ini adalah menumbuhsuburkan budaya instan, budaya serba gampang, dan budaya tanpa kerja keras. Seseorang bisa saja dikatrol patgulipat golongan dan pangkatnya hanya karena punya koneksi dengan lingkaran kekuasaan pemerintahan lokal atau otoritas penting di dalam pemerintahan. Budaya instan dan budaya cari gampang jelas-jelas merugikan kompetisi yang sehat di dalam birokrasi itu sendiri. Maka dengan demikian budaya katrol-mengatrol akan melumpuhkan budaya kompetisi yang sehat. Melemahkan budaya birokrasi yang sehat. Melumpuhkan prestasi kerja. Dengan sistem komando yang ketat di dalam birokrasi pemerintahan, maka budaya katrol akan dapat memandekkan roda organisasi. Karena top leader dari organisasi itu ada di sana hanya karena dikatrol dan didasarkan pada koneksi. Budaya inilah yang melumpuhkan semangat reformasi birokrasi di mana seseorang ditempatkan pada tempatnya yang tepat (the right man on the right place).

Kalau kita kembali ke persoalan penolakan para guru di Lembata, maka masalah ini mesti dipandang dari sudut kompentesi dan akseptabilitas serta kepatutan. Jika memang penempatan ini melampaui kepatutan sistem birokrasi, maka pemerintah perlu mempertimbangkannya kembali. Tingkat akseptabilitas yang rendah akan dapat memperburuk budaya kerja. Dan yang paling buruk mematikan kompetisi yang sehat.

Bentara, edisi 21 April 2010

Tidak ada komentar: