KITA menggelar kegiatan bermacam ragam dalam rangka memperingati Hari Kartini, yang jatuh pada 21 April. Peringatan Hari Kartini tentu bukan sekadar kegiatan seremonial, melainkan momentum mengenangkan perjuangannya untuk membangkitkan kesadaran bersama bahwa perempuan bukanlah kelas kedua di dalam masyarakat. Jika ada anggapan bahwa perempuan merupakan warga kelas kedua setelah laki-laki, hal itu bukanlah sesuatu yang dilahirkan, melainkan konstruksi sosial budaya.
Raden Adjeng Kartini, anak kelima dari 11 bersaudara lahir di Jepara 11 April 1879 dan meninggal 17 September 1904 dalam usia 25 tahun. Pada usia 12 tahun ia masuk sekolah Europese Lagere School. Itulah sebabnya dia mahir berbahasa Belanda. Di bangku pendidikan inilah dia mendapatkan pencerdasan baru yang lahir dari kegelisahannya tentang nasib kaum perempuan pribumi. Dari surat-surat Kartini kepada teman-temanya yang dari Belanda, kita tahu bahwa dia ingin nasib kaum perempuan pribumi mencapai kemajuan setara dengan laki-laki. Dia membaca buku-buku, koran, dan majalah Eropa. Dari situ ia sadar bahwa nasib kaum mperempuan pribumi harus diperbaiki. Harus ada perubahan. Kedudukannya harus setara dengan kaum pria.
Itulah api yang bernyala di dalam dirinya untuk melakukan perubahan-perubahan berarti bagi perbaikan nasib kaum perempuan. Dia mulai dengan pembongkaran kesadaran kritis melalui korespondensi.
"Dari situ ia sadar bahwa nasib kaum perempuan pribumi harus diperbaiki. Harus ada perubahan. Kedudukannya harus setara dengan kaum pria."
Bagaimana Raden Adjeng Kartini menyikapi dan menanggapi situasi zamannya, itulah yang kita perlu pelajari. Kartini, oleh perjumpaannya dengan pendidikan Eropa dan pergaulannya dengan kalangan perempuan Belanda terdidik, berjuang untuk memperbaiki nasib kaumnya. Dia tidak berpuas diri dengan keadaannya. Dia gelisah dengan situasinya.
Tentu situasi perempuan saat ini tidak seburuk situasi kaum perempuan di zaman Kartini. Ada banyak perempuan-perempuan berprestasi, yang menempati posisi strategis baik di sektor pemerintah maupun di sektor swasta. Persentasenya belum terlalu besar. Tugas kita bersama baik laki-laki maupun perempuan adalah memperbesar persentase ini agar semakin banyak perempuan ambil bagian di dalam urusan publik. Urusan publik itu tidak boleh semata-mata hanya direduksi dalam urusan politik dan pemerintahan. Namun seluruh sektor yang mengelola kehidupan publik.
Kita harus berjuang bersama-sama agar makin banyak perempuan memiliki kesempatan yang sama dengan laki-laki untuk berperan secara publik baik di pemerintahan maupun di sektor swasta. Baik di lembaga-lembaga pendidikan maupun di organisasi-organisasi sosial. Harus ada peluang dan kesempatan yang sama untuk berpartisipasi. Di dalam kompetisi tersebut tidak boleh ada kriteria yang bias gender.
Jika tersedia kesempatan yang sama dan terbuka lebar akses bagi perempuan untuk berpartisipasi di ranah publik dalam sektor apa saja, maka gerakan untuk kesetaraan gender memiliki sinergitas yang lebih besar. Dengan demikian akan ada kemajuan-kemajuan berarti. Dengan demikian pula kesetaraan gender itu bukanlah suatu pemberian, melainkan suatu proses kultivikasi nilai-nilai, suatu proses pembudayaan nilai-nilai kesetaraan. Proses pembudayaan nilai-nilai ini bisa dari keluarga hingga ke lembaga pendidikan, dari organisasi sosial hingga lembaga-lembaga politik. Proses pencerdasan seperti ini akan dapat melahirkan Kartini-Kartini modern.Bentara, edisi 22 April 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar