13 Januari 2010

Mengelola Informasi Chikungunya

Oleh Frans Obon


KITA mendapatkan kabar sebagaimana diberitakan Flores Pos edisi Kamis (7/1) kemarin bahwa Labuan Bajo sedang dilanda penyakit Chikungunya. Beberapa orang mengaku ada banyak warga yang menderita chikungunya. Tetapi pihak Dinas Kesehatan Manggarai Barat membantahnya karena sampai saat wartawan mengkonfirmasikan masalah ini ke pihak Dinas Kesehatan, Kepala Dinas Kesehatan dokter IGN Harijaya belum mendapatkan laporan dan data-data penderita. Tetapi kepala dinas mengakui bahwa pemerintah kabupaten telah mendapatkan peringatan dari pemerintah provinsi untuk mewaspadai berbagai penyakit pada musim hujan mendatang.

Ada dua soal yang bisa timbul dari kasus chikungunya di Labuan Bajo tersebut. Pertama, ada kemungkinan generalisasi. Dalam arti satu dua orang yang menderita penyakit yang disebut chikungunya dibuat sebuah generalisasi bahwa sudah banyak orang yang menderita chikungunya. Bahaya itulah yang barangkali bisa terjadi, yang dalam bahasa Manggarai disebut anggom rangko, sebuah logika pukul rata.

Meskipun demikian, jangan lupa bahwa tidak banyak masyarakat kita yang mengenal penyakit chikungunya atau binatang seperti apa lagi chikungunya itu. Ketikdatahuan tersebut seringkali berunjung pada keresahan. Ekspresi dari ketidaktahuan ini tercermin di dalam berita: penyakit aneh sedang melanda masyarakat di wilayah tertentu. “Penyakit aneh” ini wujud nyata dari ketidaktahuan masyarakat.

Ketidaktahuan tersebut bisa menimbulkan kepanikan. Pada akhirnya timbul keresahan di dalam masyarakat. Di dalam masyarakat yang masih kuat percaya magic bisa saja timbul proses kambing hitam. Ada orang tertentu yang dituduh melakuka guna-guna. Artinya ada banyak kemungkinan bisa terjadi.

Kedua, pola dan standar kerja dinas kesehatan. Kasus ini mencerminkan pula sistem dan pola kerja yang berlaku di dalam pemerintahan kita. Sebagai lembaga dengan fungsi koordinatif, dinas kesehatan tentu saja memerlukan data dan laporan dari puskesmas atau petugas yang bergerak di lapangan. Standar dan pola kerja seperti ini sudah lazim di dalam pemerintahan kita. Gap bisa saja tercipta di sini oleh berbagai alasan. Alasan pertama bisa saja jumlah penderita yang sedikit menyebabkan petugas di tingkat bawah merasa mereka bisa menanganinya. Kedua, bisa juga terjadi karena kelalaian untuk memberikan laporan yang disebabkan oleh sikap anggap sepele tadi.

Namun ada satu hal yang seringkali dilupakan: pola berobat di masyarakat kita. Ketiadaan biaya, letak puskesmas yang jauh dan minimnya tenaga kesehatan menyebabkan masyarakat kita memilih obat tradisional. Karena itu mereka tidak bisa terdata di lembaga kesehatan resmi seperti puskesmas. Kalau demikian masalahnya bukan tidak ada penyakit chikungunya melainkan tidak adanya data resmi pemerintah.

Karena itu masalahnya adalah diperlukan strategi baru dalam mengelola informasi kesehatan. Perilaku dan cara memilih pengobatan di dalam masyarakat kita perlu diketahui dengan baik oleh petugas lapangan. Sebab itu meski mereka tidak berobat ke lembaga kesehatan, bukan berarti penyakit itu tidak ada. Karena itu di sini kita perlu mengelola informasi adanya chikungunya itu dengan baik. Pemerintah perlu menjelaskan secara medis-rasional mengenai keresahan penyakit chikungunya tersebut. Proses imersi bagi petugas jauh lebih penting.

Flores Pos | Bentara | Kesehatan
| 8 Januari 2009 |

Tidak ada komentar: