01 September 2009

Dewan

Oleh Frans Obon

KRITIKAN terhadap anggota parlemen baik lokal maupun nasional tak pernah padam. Banyak sekali kritikan disampaikan baik melalui puisi maupun lagu. Iwan Fals mengkritik anggota DPR RI pada era Soeharto. “Jangan tidur waktu sidang soal rakyat,” kata Iwan Fals. Grup band PADI mengkritik DPR era reformasi. Mulai dari Sabang hingga Merauke, dari Talaud hingga Mianggas, banyak suara kritik ditujukan ke anggota parlemen (lokal dan nasional). Banyak pula anggota Dewan dijebloskan ke penjara karena terlibat skandal korupsi dana-dana proyek. Anggota Dewan jadi broker proyek dari pusat hingga daerah. Pendek kata seabrek kritikan dialamatkan ke anggota Dewan.

Banyak orang tidak mau menggunakan hak pilihnya karena lelah dengan situasi politik yang terkesan mengabaikan moralitas. Rakyat merasa dipecundangi. Mereka aktif memberikan suara di tempat-tempat pemungutan suara, tetapi mereka merasa tergadai suaranya oleh perilaku politik. Seperti kritikan Benita Chudleigh, Feeling cheated, acting apathetic (Inside Indonesia 97, July-September 2009), banyak mahasiswa tidak mau menggunakan suara mereka – angka golongan putih meningkat – akibat perilaku anggota Dewan yang keluar dari etika politik yang benar. Orang-orang yang tidak mau menggunakan lagi suaranya merasa kecewa, merasa dicurangi dan merasa suara mereka disia-siakan oleh politik anggotaDewan yang tidak lagi memperhatikan kepentingan rakyat.

Banyak anggota Dewan tidak mengindahkan lagi kepentingan rakyat, tetapi berebut kue pembangunan menurut cara mereka sendiri. Persekutuan politik dan pemodal telah menodai perjalanan demokrasi dan meminggirkan kepentingan rakyat. Hal itu bisa kita lihat dari masalah tambang di Flores-Lembata. Anggota Dewan kita ikut rombongan pemerintah melakukan studi banding dengan biaya ratusan juta. Mereka tidur di hotel-hotel mewah. Dilengkapi berbagai kebutuhannya. Dipenuhi berbagai keinginannya. Mereka mencari bandingan soal tambang, tapi menampik bandingan yang diberikan oleh rakyatnya sendiri. Mereka mengabaikan data-data yang diberikan oleh kelomppok-kelompok masyarakat dan mencari bandingan sendiri dengan mengusulkan dana ke pemerintah. Di satu sisi mereka berdiri membela rakyat, tetapi di sisi lain mereka mencari celah untuk mendapatkan dana anggaran pemerintah dengan berbagai modus kegiatan. Dampak buruknya adalah siapa mengontrol siapa.

Tidak semua anggota DPRD berperilaku buruk. Tidak semua. Ada banyak yang baik-baik. Ada banyak yang berjibaku dari desa ke desa dan satu tempat ke tempat lainnya untuk merasakan denyut nadi hidup rakyat. Tetapi suara mereka tidak cukup kuat di parlemen karena jumlah mereka yang bersuara kritis dan baik-baik itu terlalu sedikit. Sikap sekelompok kecil ini lama-lama juga luntur. Karena waktu lima tahun bukanlah waktu yang panjang.

Hal ini beralasan. Jika kita melihat dan menilai kembali cara kerja dan cara mereka mendapatkan kursi Dewan, ada banyak tangan-tangan lain baik terang-terangan mapun tersembunyi yang bekerja untuk mereka. Dalam kurun waktu lima tahun, mereka harus “melunasi utang politik” itu. Artinya mereka telah mendapatkan kursi Dewan, lalu orang-orang yang ikut mengantarnya ke kursi Dewan “menagih” bagian mereka. Akibatnya anggota Dewan berada dalam dilema. Di satu sisi dia tidak mau kehilangan basis massa terutama di daerah pemilihan karena ini akan berdampak pada masa depan politiknya, tetapi di sisi lain dia harus menjalankan perannya sebagai wakil rakyat karena dia mewakili seluruh rakyat. Umumnya banyak anggota Dewan terpaksa melepaskan citra mereka sebagai wakil dari rakyat kebanyakan lalu menukarkannya dengan kepentingan kelompok massa pendukungnya. Hal ini disuburkan oleh perilaku dan sikap politik masyarakat kita. Masyarakat kita sering tidak memikirkan kepentingan rakyat secara keseluruhan, melainkan selalu bertanya: saya dapat apa? Atau kelompok kami dapat apa? Jadi, kondisi psikologi politik masyarakat kita sendiri sering tidak memungkinkan DPRD berperan lebih baik dalam menjalankan fungsinya.

Mungkin deretan keluhan kita terhadap perilaku anggota Dewan tidak akan pernah berhenti. Dari pemilu ke pemilu. Kita mengkritik anggota Dewan era Soeharto. Ternyata perilaku yang sama tidak pernah mati di masa reformasi ini. Dari ujung barat Flores hingga ujung timur, kita mendapati perilaku sosial dan politik anggota Dewan yang sama. Kalau kita merasa dicurangi, kita semua bisa maklum. Tetapi bagaimanapun lembaga Dewan tetap diperlukan dalam sebuah negara yang demokratis. Mereka tetap memegang kendali untuk menentukan kebijakan publik yang berlaku bagi kita semua.

Saya ingat benar kata-kata Uskup Agung Ende Mgr Vincent Sensi Potokota menjelang Pemilu Legislatif bahwa jangan biarkan orang lain yang menentukan nasib kita. Artinya kita tidak memberikan suara dan tidak cerdas dalam memilih, sama artinya kita menyerahkan keputusan publik lima tahun pada orang lain atau pada orang yang salah. Dengan kata lain, betapapun buruk rupa anggota Dewan kita, lembaga itu tetap diperlukan dalam sebuah negara demokrasi atau masih dianggap penting untuk proses demokratisasi. Tugas kita adalah bagaimana kita mengisi dan mengutus wakil-wakil kita yang berkualitas dan peduli dengan nasib rakyat serta peka dengan kebutuhan rakyat.

Menjelang Pemilu Presiden, Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI) menulis surat kepada calon presiden dan wakil presiden Republik Indonesia yang bertarung dalam Pemilu Presiden 8 April 2009 lalu. KWI mengumpamakan presiden dan wakil presiden itu sebagai nahkoda yang membawa kapal yang bernama Indonesia menuju ke sebuah pelabuhan masa depan rakyat Indonesia nan aman, damai dan sejahtera.

Ada enam poin yang disotori KWI. Pertama soal Pancasila, UUD’45, Bhineka Tunggal Ika dan negara kesatuan Republik Indonesia. Kedua, pendidikan yang tidak mencerdaskan. KWI minta pemerintah menciptakan pendidikan yang bermutu. Ketiga, lemahnya penegakan hukum. Presiden dan wakil presiden terpilih hendaknya menjamin kepastian hukum bagi pemberantasan korupsi, memberantas tindakan-tindakan anarkis, main hakim sendiri dengan cara-cara brutal dan premanisme.

Keempat, perusakan lingkungan hidup. Perusakan lingkungan yang berkepanjangan merupakan tindakan yang melanggar hak hidup seluruh ciptaan. Kelima, kesenjangan tingkat kesejahteraan. Kemiskinan yang mencolok mata adalah busung lapar, yang menyebabkan terjadi generasi hilang.

Keenam, penyalahgunaan simbol agama. Kekuatan bangsa Indonesia ada pada kebhinnekaan agama, keyakinan, budaya dan etnis.

Keenam pesan yang sama ini kita alamatkan ke DPRD Flores dan Lembata yang baru. Konteks sosio-politik kita tentu berbeda dengan daerah lainnya. Yang kita butuhkan sebetulnya adalah anggota Dewan yang mengerti kondisi masyarakatnya dan berani menentang segala bentuk ketidakadilan yang menimpa masyarakatnya. Dalam kasus tambang, misalnya, banyak anggota Dewan kita sepertinya tidak mengerti dan mungkin juga tidak mau tahu dengan situasi masyarakat. Mereka mengabaikan begitu saja isu-isu lingkungan hidup. Mereka abaikan isu-isu pertanian yang melekat dengan masyarakat kita. Dengan kata lain banyak anggota Dewan tidak bisa berperan baik karena mengasingkan dirinya dari kondisi riil masyarakat. Mereka tidak mau tahu dengan situasi rakyatnya. Kita memang seringkali merasa dipecundangi.

Flores Pos | Asal Omong | DPRD
| 29 Agustus 2009 |

Tidak ada komentar: