31 Maret 2009

Bicaralah di Depan Pelanggaran Nilai-Nilai

Oleh Frans Obon

Keberanian moral dan politik yang beretika dibutuhkan ketika politik diselewengkan untuk kepentingan diri dan kelompok.


ADA yang bilang, pertemuan tersebut terlambat dibuat. Daripada tidak sama sekali, lebih baik ada pertemuan, kata yang lain. Tapi ada satu nada dominan bahwa penting menggelar pertemuan secara rutin termasuk di komunitas basis untuk membicarakan soal politik kesejahteraan bersama.

“Kegelisahan” – bisa disebut begitu – tampak dalam pertemuan di aula Marinus Krol, Paroki Onekore, Jumat (27/3). Ini pertemuan dibuat Seksi Pendidikan Dewan Pastoral Paroki (DPP) Onekore, Keuskupan Agung Ende. “Pencerahan dan Pendidikan Politik Rasul Awam”, tema kegiatan ini dihadiri hampir 70 orang – terdiri dari calon anggota legislatif dan tokoh-tokoh umat di komunitas basis. Narasumber Pater Amatus Woi SVD dan moderator Irama Pelaseke.

Untuk menyebut beberapa nama yang hadir: Pastor Paroki Onekore P Tarsisius Djuang Udjan SVD, Max AK Djeen, Agus Beu Mude, Anton Se, Firmus Olebesu, Lukas Lege, Kanis Rai, Niko Sino, Steph Tukan, Philipus Hami, Yavet Sosa, Yohana Sigasare, Benny Hendrik, Darius Ibu, Aloysius B Kelen.

Ketua Seksi Pendikan Paroki Onekore, Amatus Peta dalam laporan panitia menyebutkan, meski beragam peran dari tiap anggota, namun mereka “tetap sebagai satu tubuh”, yang akan bekerja demi kepentingan tubuh secara keseluruhan. Tiap “anggota tubuh” mesti pula ikut merasakan kecemasan, keprihatinan, dan harapan Gereja. Apa yang dirasakan Gereja, mesti dirasakan oleh anggotanya (sentire cum ecclesiae).

Kegiatan ini strategis dalam dua hal: bagian dari perayaan 50 tahun Paroki Onekore dan sebuah pendampingan bagi para pemilih dan calon anggota legislatif.

Karena “banyaknya partai peserta pemilu memungkinkan terjadinya kebingungan bagi pemilih” dan jumlah caleg yang disodorkan partai “membuka peluang terjadinya salah pilih”.

Pater Amatus dalam makalahnya bicara soal “jati diri politisi Katolik”. Apa yang membedakannya dengan banyak politisi lainnya di luar Katolik. “Spiritualitas atau kerohanian,” kata Provinsial SVD Ende ini. Spiritualitas berisi pandangan dan sikap hidup, semangat dasar, motivasi, dan cita-cita baik sebagai pribadi maupun kelompok, yang melatarbelakangi perilaku dan tindakan manusia, serta keterlibatan seseorang secara sosial.

Dalam konteks panggilan umum kristiani, politik adalah medan bagi orang terbaptis. Khususnya bagi kaum awam Katolik – suatu kategori untuk membedakan dengan kaum tertahbis (para pastor) -- keterlibatan dalam politik merupakan keterlibatan khas kaum awam, yang sejatinya “memberikan kesaksian tentang Yesus Kristus dan Kabar Gembira yang diwartakanNya”.

Konsili Vatikan II dalam Konstitusi tentang Gereja (Lumen Gentium) mengatakan, “Karena ingin kesaksian dan pelayananNya dilanjutkan oleh kaum awam, maka Imam Agung dan abadi Kristus Yesus, menghidupkan mereka dengan RohNya dan mendorong mereka tak henti-hentinya untuk semua usaha yang baik dan sempurna. Kepada mereka, yang dihubungkanNya secara mesra dengan hidup dan perutusanNya, Ia anugerahkan juga bagian dari tugas imamNya untuk melaksanakan ibadah rohani, supaya Allah dimuliakan dan manusia diselamatkan”.

Dari sudut pandang teologi Katolik, tiap orang terbaptis memiliki imamat rajawi, suatu pengambilan bagian di dalam kekudusan Allah di dunia. Maka tugas tiap orang kristiani adalah menghadirkan dan menampakkan kekudusan Allah di dunia. Martabat ini tidak hilang ketika seseorang jadi bupati, gubernur, pengusaha, anggota DPR (D), buruh, petani, nelayan, dan lain-lain. Tiap profesi dan jabatan yang layak secara moral-sosial “menghadirkan kekudusan Allah sebagai perwujudan martabat imamat rajawi”.

Dalam perspektif ini, politik adalah medan “panggilan bagi orang-orang terbaptis untuk menguduskannya, sehingga politik “bukan tanpa moral dan etika”. “Keterlibatan setiap orang kristiani dalam politik bertujuan menguduskan politik,” kata Pater Amatus.

“Kekudusan para politisi tidak diraih hanya dengan menjadi pengurus Dewan Pastoral Paroki, lektor, pembaca pengumuman hari Minggu di Gereja, pembawa komuni orang sakit dan yang sejenis itu melainkan dan terutama menjadi politisi yang bernurani, bermoral, berakhlak, berperikemanusiaan, jujur dan penuh pengabdian,” katanya.

Dia bilang, reksa pastoral Gereja di wilayah ini sedikitnya melalaikan tugas khas kaum awam dalam politik. Kelalaian tersebut, katanya, mengakibatkan adanya pemahaman yang keliru mengenai panggilan awam dalam Gereja, “yang menjurus pada klerikalisasi (tugas) awam”. Padahal tugas membagi komuni, lektor, dalam Konsili Vatikan II itu tugas perbantuan. Dalam arti “tugas-tugas itu dijalankan selalu dalam kesatuan dan koordinasi dengan kaum klerus ataupun sungguh sekadar membantu tugas kaum klerus”. Sedangkan “tugas pokok kaum awam justru di bidang sosial politik kemasyarakatan”.

Konsekuensi dari panggilan khas ini, kedudukan dan jabatan politis, katanya, bukanlah kesempatan untuk menghimpun kekuasaan dan kekayaan, melainkan medan pengabdian, “jalan untuk berbakti dan jalan mencapai status kesempurnaan.” Dengan menjadi politisi, “orang kristen awam menghadirkan kehendak Allah dalam konteks politik yang nyata dan menjadikan politik sebagai jalan menuju kekudusan, bukan sebagai kubangan kekotoran”. Karenanya dia bilang, “Kita membutuhkan orang-orang kristen yang saleh bukan di sekitar Gereja dan Sakristi, melainkan yang saleh dan kudus di dunia, dalam arti tulus, benar, dan adil di bidang politik”.

Dia mengutip kata-kata Nabi Amos (Amos, 5:21-24): “Aku membenci, Aku menghina perayaanmu dan Aku tidak senang kepada perkumpulan rayamu. Sungguh, apabila kamu mempersembahkan kepadaKu korban-korban bakaran dan korban-korban sajianmu, Aku tidak suka, dan korban keselamatanmu berupa ternak yang tambun Aku tidak mau pandang. Jauhkanlah daripadaKu keramaian nyanyian-nyanyianmu, lagu gambusmu tidak mau Aku dengar. Tapi biarkanlah keadilan bergulung-gulung seperti air dan kebenaran seperti sungai yang selalu mengalir”.

Bila melihat perayaan keagamaan kita, “Firman dan Kehendak Tuhan yang menuntut tanggapak aktif dan praktis dalam perbuatan di bidang sosial politik dan transformasi (metanoia) dalam kepribadian dan perilaku sosial politik kita tidak tampak, tergeser ke posisi kedua”. Karena itu menurut Pater Amatus, tolok ukur bagi politisi atau pejabat Katolik yang “baik” bukan terletak pada kehadirannya dalam ibadat, pada kesempatan membawakan sambutan pada perayaan gerejawi, pada relasi pertemanan yang harmonis sambil menutup mata dan telinga terhadap praktik dan kebijakan politik yang tidak adil.

Seorang politisi dalam perspektif Katolik pertama dan terutama dia bersikap solider dan peka terhadap kebutuhan dan aspirasi rakyat. Solidaritas dengan rakyat dan peka terhadap kebutuhan sosial ekonomi masyarakat yang terpinggirkan. Dengan berpedoman pada prinsip solidaritas dan sensibilitas, “Politisi Katolik dapat terhindari dari bahaya bertindak tidak adil terhadap sesama, terhadap rakyat, bersikap koruptif, dan bermental aji mumpung”.

Karenanya, “semua politisi Katolik bertanggung jawab bagi kehidupan dan kesejahteraan masyarakat. Tanggung jawab itu terlaksana melalui program kesejahteraan masyarakat, karya sosial karitatif bagi yang cacat dan sakit, pemberdayaan bagi yang lemah dan tak mampu, bantuan darurat bagi yang tertimpa malapetaka dan bencana”.

Tindakan-tindakan bagi kemanusiaan ini hendaknya terimplementasi secara baku di dalam sistem hukum daerah atau negara, dan tidak tergantung sepenuhnya pada kebaikan hati seorang pemimpin. “Tugas pokok politisi Katolik adalah memperjuangkan dan menetapkan sistem hukum yang demikian,” kata dosen Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero, Maumere ini.

Pater Amatus tidak menampik banyak pencapaian positif yang telah disumbangkan politisi Katolik bagi politik kesejahteraan bersama. “Ada banyak hak positif dan menggembirakan sampai saat ini”. Namun ada satu hal dari sekian banyak fenomena negatif yakni penumpulan saraf dan penurunan sensibilitas kristiani. “Atau antena kristiani mengalami distorsi sehingga tidak peka menangkap dan menyiarkan pesan dan warta kristiani di bidang kehidupan publik,” ujarnya.

Tidak jarang, katanya, orang-orang kristen yang berkecimpung dalam bidang sosial ekonomi dan politik enggan mengikuti hati nurani yang murni, melainkan memaafkan diri dengan aturan dinas atau aturan main.

Dia beri contoh. Seorang pejabat publik atau politisi tidak merasa kerkah batin lagi menghadapi realitas rakyatnya yang masih terseok-seok dan tersendat-sendat di jalanan desa, dengan alasan kendaraan yang dia miliki dan gaji yang dia terima sebagai haknya sudah benar dan sah menurut undang-undang dan peraturan. Padahal peraturan dan perundang-undangan itu mereka juga yang memperjuangkan dan menetapkannya sendiri.

“Politisi Katolik harus memiliki kekuatan dan keberanian moral dan spiritual untuk membuat terobosan di tengah hutan belantara peraturan yang menghambat solidaritas dengan orang kecil dan melumpukan saraf sensibilitas terhadap nasib rakyat kecil,” ujarnya.

Dia mengatakan, terlalu sering dijumpai politisi Katolik diam saja di hadapan pelanggaran nilai-nilai kristiani, di hadapan pelanggaran moral dan etika kemanusiaan demi kalkulasi kekuasaan dan keuntungan pribadi. Padahal “peran kenabian para awam adalah memaklumkan dalam kata dan tindakan cita-cita kesejahteraan rakyat umumnya, menyerukan pertobatan kepada kebijakan politis dan perilaku politisi yang menyimpang, mengkritik kepalsuan dan rakayasa, menyuarakan kepentingan umum, secara khusus mereka yang dibungkam, tak berdaya, tersingkir, terbelakang, dan tertinggal”.

Jika melihat konteks Nusa Tenggara Timur, lanjutnya, politisi Katolik yang dibutuhkan adalah politisi plus. Bukan politisi biasa-biasa saja. Dalam perspektif kristiani, ujarnya, bukan pencapaian kesejahteraan yang tinggi itu menjadi tujuan utama melainkan “terutama pembentukan semangat persaudaraan, penghargaan terhadap martabat manusia baik sebagai individu maupun kelompok, solidaritas dan sensibilitas yang bermuara pada kepedulian dan bela rasa yang semakin tinggi terhadap sesama, terutama terhadap yang paling lemah dan tertinggal”.

Politisi plus itu katanya, adalah juga tampak dalam seruan etis kristiani ini yakni bersedia bekerja keras dan “hiduplah lebih sederhana”. “Hanya dengan keutamaan ini Provinsi NTT bisa menjadi satu model dalam pengelolaan pemerintahan yang dituntun oleh moralitas kristiani,” ajaknya.

Dia sebut kriteria calon yang hendak dipilih yakni mampu secara intelektual, mampu berkomunikasi, memiliki komitmen yang tegas dan jelas, memiliki semangat juang untuk mengabdi masyarakat, tidak melakukan politik uang, tidak menjadikan jabatan di dewan sebagai lahan mencari uang bagi diri, keluarga dan kelompok, memiliki keterikatan yang baik bagi rumah induk yakni sesama di bawah naungan Bunda Gereja., tidak sektarian, dan berada dalam partai yang berorientasi nasionalis dan Pancasilais.

Usai presentasi, diskusi langsung hangat. Banyak peserta yang mau bicara. Lima orang bicara pada termin pertama. Ada beragam masalah mulai dari soal komunikasi antarcaleg, kompetisi di antara mereka, orientasi pemilih, hingga ideologi partai yang perlu menjadi salah satu kriteria dalam memilih. Benny Hendrik bilang kriteria kemampuan caleg berada di urutan kesekian. Terpenting adalah keberanian untuk bicara dan bersikap jujur.

Steph Tukan, guru pada SMA Negeri I Ende bicara soal komunikasi antara awam dan kaum tertahbis. “Kita gampang sekali bertabrakan dengan para pastor,” katanya. Karenanya dia ingin perlu ada wadah untuk menghimpun para politisi, tempat di mana keduanya membangun relasi dan komunikasi politik sehingga dari “rumah yang sama itu” para politisi memperjuangkan kepentingan bersama dengan cara masing-masing.

Kanis Rai bicara soal mentalitas pemilih yang materialistis dan hedonistis. Mental ini yang akan mempengaruhi sikap pemilih dalam memilih calon.

Menjawab ini semua, Pater Amatus mengatakan, calon anggota legislatif tetaplah membangun komunikasi yang lebih baik. Tidak ada alasan untuk tidak tegur sapa. “Kita Katolik dulu, baru jadi caleg. Ini butuh kematangan kepribadian”. Etika kristen mengharuskan kita untuk menggapai sesuatu mesti memperhatikan moralitas. Soal wadah, Pater Amatus bilang, wadah tersebut sudah ada yakni Forum Masyarakat Katolik Indonesia (FMKI). Hanya saja wadah-wadah yang telah terbentuk tidak maksimal.

Soal kemampuan intelektual, kata Pater Amatus, diperlukan oleh calon agar “dia tidak melihat sepenggal-sepenggal atau sepotong-potong suatu masalah. Membaca undang-undang perlu juga kemampuan intelektual, sebab kalau tidak, kita baru di bab satu, orang sudah sampai pada kesimpulan”.

Sesi berikutnya lebih banyak anjuran dan gagasan dari peserta. Calon perlu perhatikan orang miskin dan orang kecil, Dewan tidak dilihat sebagai lapangan kerja, calon perlu menyiapkan diri agar tidak bertanya-tanya kalau sudah duduk di Dewan.

Agus Beu Mude bicara pentingnya calon mengubah perilaku dan pola laku bahwa caleg bukan penikmat melainkan rela berkorban. Max AK Djeen juga sependapat bahwa prinsip politik Katolik adalah kasih, korban dan perjuangan. Anton Se bicara soal ketaatan ganda yakni taat pada konstituen dan taat pada partai. Hal serupa disampaikan Lukas Lege bahwa ada konflik antara ketaatan pada hati nurani, kepentingan partai dan hati nurani masyarakat. Yohana Sigasare bicara perlunya keterwakilan perempuan di DPRD Ende.

Pater Amatus mengatakan, kalau ada calon yang menggunakan uang dan mengabaikan moralitas, kita tidak perlu memilih caleg produksi uang dan barang. Mengenai suara rakyat, suara partai, dan pilihan pribadi mestinya disinkronkan. Sinkron dengan partai, sinkron dengan rakyat dan sinkron dengan pribadi. “Mestinya proses perekrutan itu dibuat di publik, pada konstituen, bukan tertutup di partai. Dari situ langsung bisa dilihat,” katanya.

Pertemuan ini berakhir dan sebentar lagi orang memilih. Pemilih dihadapkan dengan begitu banyak calon dan partai. Namun dari pertemuan ini kita bisa tahu bahwa anggota legislatif yang didambakan adalah orang yang memiliki keberanian dan kekuatan moral untuk berjuang dengan gigih melawan ketidakadilan, pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Seperti dikatakan perangkum pertemuan ini Aloysius B Kelen, anggota legislatif mesti punya kemampuan intelektual atau cakap menjalankan fungsi Dewan dan mampu membangun komunikasi untuk memperjuangkan kepentingan masyarakat. Tampaknya ada kebutuhan mendesak untuk menggelar pertemuan semacam ini sepanjang lima tahun secara periodik.

Dari pertemuan-pertemuan yang digelar di komunitas basis, tampaknya ada kegelisahan dan mungkin pula kerinduan yang begitu besar agar politisi-politisi Katolik membuka lebar-lebar mata hati mereka untuk menangkap dan merasakan kegelisahan kehidupan masyarakat miskin dan terpinggirkan. Biarkan keadilan itu bergulung-gulung seperti air dan kebenaran mengalir selalu seperti air. Biarkan antena mata hati menangkap getaran terdalam dari denyut kehidupan masyarakat mereka sendiri dan mereka memiliki keberanian untuk berbicara di hadapan pelanggaran nilai-nilai.

Flores Pos | Feature | Etika Politik
| 31 Mare- 1 April 2009, pp 1,15 |

Tidak ada komentar: