17 September 2008

Bukan Sekadar Ijazah

Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat (STPM) Santa Ursula Ende mengembangkan program peningkatan kualitas melalui Satuan Kredit Kegiatan Ekstra-kurikuler.

Oleh FRANS OBON

Bahasa Latin bilang Non scholae sed vitae discimus. Kita belajar bukan untuk dapat nilai, tapi belajar untuk hidup. Life skill searah dengan ini. Kita belajar untuk mengelola hidup. Gelar akademik perlu untuk menunjukkan bahwa seseorang pernah menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Dan selesai. Namun gelar itu kulit luar. Isi dalamnya, bobotnya jauh lebih penting.

Memberi bobot. Nilai lebih. Mutu lulusan. Itulah yang hendak ditempuh Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Santa Ursula, Ende. Mulai tahun 2008 ini, sekolah tinggi ini mengharuskan mahasiswanya memenuhi Satuan Kredit Kegiatan Ekstra-kurikuler yang total angkanya 100 poin selama delapan semester. Kalau tidak mencapai angka tersebut, mahasiswa bersangkutan tidak akan diwisuda. Tiap kegiatan diberi skor angka kum (kredit). Total per semester 20 poin. Angka kum (kredit) ini diperoleh dari keterlibatan mahasiswa pada organisasi, membuat makalah, menulis opini di media massa, dan menulis paper.
Pembantu Ketua I, Paskalis FX Hurin, 23 Agustus lalu, bilang pada saya bahwa program baru ini tujuannya meningkatkan mutu lulusan sekolah tersebut. Sebagai lembaga pendidikan tinggi, sekolah ingin memberi bobot dan nilai lebih pada mahasiswa.
“Selama ini banyak mahasiswa hanya bolak balik dari kos ke kampus, dari kampus ke kos. Waktunya tidak pernah diisi dengan kegiatan lain. Rutinitas biasa saja. Program baru ini adalah inisiatif sekolah agar mahasiswa punya nilai tambah,” katanya.
Sebagai langkah awal, kegiatan orientasi studi pengenalan kampus (Ospek) kali ini diubah bentuknya. Mahasiswa tidak hanya tahu urus administrasi di kampus, urus angka akademik, dan bereskan uang kuliah, tapi dikemas dalam bentuk permainan. Di ujung permainan, mahasiswa Ospek yang jumlahnya 136 orang buat refleksi. Apa makna permainan itu. Tiap orang pasti punya interpretasinya masing-masing. “Kita menggunakan metode pembelajaran orang dewasa,” kata Feri.
Sebelum Ospek, lembaga ini menggelar kegiatan outbound. Dari evaluasi, kegiatan ini bermakna bagi pembentukan pribadi mahasiswa. Cara ini kemudian digunakan dalam Ospek kali ini.
Komitmen lembaga ini ke depan, kata Feri, mau menghasilkan mahasiswa yang punya keterampilan dan keahlian. Mahasiswa tidak hanya bergelut di ruang kuliah, tapi juga melakukan kunjungan kerja lapangan, berdiskusi. Melalui cara ini, mahasiswa diasah cara berpikirnya. Muncul kreativitasnya. Punya komitmen dengan masalah masyarakat di luar kampus. Di sini peran dosen tidak kecil. Penyajian kuliah tidak hanya pakai ceramah melulu, namun bawa juga mahasiswa keluar kampus dan berdiskusi.
Ada tiga penekanan utama dari angka kum kredit ini. Pertama penalaran dan keilmuan yang dinilai lewat karya ilmiah, makalah, opini pada media massa. Kedua, minat dan kegemaran (olahraga dan seni), dan ketiga kesejahteraan dan kewirausahaan (jadi anggota koperasi, usaha bersama simpan pinjam).
“Menghindari adanya manipulasi, kita akan kontrol. Mesti ada surat keterangan”.
Aloysius Belawa Kelen, dosen STPM yang memberikan topik “Manajemen Pembalajaran di Perguruan Tinggi” pada saat Ospek tahun ini mengatakan, dia gunakan metode proses untuk membangkitkan kesadaran kritis mahasiswa. Pertama-tama ia ingin mahasiswa mengenal dengan baik situasi perguruan tinggi pada umumnya. Cara ini ingin mengetahui persepsi mahasiswa mengenai perguruan tinggi dan harapan yang mereka mau dapatkan dari perguruan tinggi.
Cara ini juga untuk menjawabi perubahan paradigma proses pembelajaran di perguruan tinggi. Sebelumnya, dosen jadi pusat. Sekarang mahasiswa jadi pusat. “Indikasinya langsung kelihatan, yakni dosen tidak lagi jadi satu-satunya sumber. Guru hanya bilang, ini materinya, you baca dan belajar sendiri,” katanya.
Proses ini dipermudah lagi dengan munculnya otonomi di perguruan tinggi. Dulu perguruan tinggi swasta harus melewati ujian negara, sekarang sekolah menyelenggarakan sendiri ujian. “Kurikulum juga didesain sendiri”.
Dalam proses perkuliahan, lanjutnya, proses belajar juga dilakukan lewat syering, diskusi, dan membaca literatur yang diberikan, dan studi kasus.
Alo bilang, pemberlakukan Satuan Kredit Kegiatan Ekstra-kurikuler amat membantu mengimplementasikan visi dan misi lembaga pendidikan tinggi tersebut, dengan fokus pada pencetakan kader-kader yang andal.
Untuk mengontrol semua program angka kum (kredit) ini, akan ditunjuk dosen pendamping akademik oleh sekolah. Feri Hurin mengakui bahwa memang tidak gampang untuk menentukan dosen pembimbing akademik. Jumlah mahasiswa makin bertambah. Kesibukan dosen juga bertambah.
Alo menambahkan, tujuan yang ingin dicapai dari program ini adalah terbentuknya proses kreatif di kalangan mahasiswa dan sekolah mau mengembangkan potensi mahasiswa di luar ruang kuliah. Namun, dia mengingatkan bahwa program peningkatan mutu melalui angka kum untuk kegiatan di luar kampus ini dijalankan dengan kontrol yang ketat, sehingga “tidak terkesan mau mengejar sertifikasi”.
Alat kontrolnya ada, katanya. Misalkan makalah. Makalah ini diuji lagi. “Tidak hanya sekadar ada tulisan, makalah. Tapi sungguh-sungguh mahasiswa bisa melakukannya sendiri,” katanya.
Proses ini tidak mudah. Itu diakui oleh Alo Kelen. “Pengalaman saya, ketika kita minta mahasiswa menulis, mereka tidak tahu mulai dari mana. Di sini diperlukan bimbingan dan proses yang terus menerus”.
Karenanya, langkah awal adalah mendesain kegiatan Ospek dengan menciptakan permainan yang punya nuansa ilmiah. Debat. Diskusi. Debat.
David Sola, sekretaris panitia Ospek bilang kepada saya, sambutan mahasiswa peserta Ospek terhadap desain Ospek bernuansa ilmiah ini cukup bagus. Ini terlihat dari antusiasme mahasiswa.
“Teknik ini amat membantu mahasiswa memecahkan persoalan yang mereka hadapi. Mahasiswa menafsir makna permainan dan ini akan membantu mereka untuk memberikan pertimbangan dan memutuskan sendiri solusi atas masalah mereka sendiri,” katanya.
Barnabas Bego, seorang peserta juga melihat ada manfaat cukup besar dari kegiatan ini. “Ospek ini luar biasa. Kami mendapatkan latihan dan pembinaan melalui permainan. Ini akan membantu membentuk kepribadian mahasiswa. Apalagi sekolah ini memang mau menciptakan kader andal yang akan terjun ke masyarakat,” katanya.
Ospek telah berakhir. Sekaranglah saatnya, semua rancangan program yang indah ini ditawarkan sebagai alternatif pengembangan pendidikan di lembaga pendidikan tinggi. Non scholae sed vitae discimus. Kita sekolah bukan untuk dapat nilai (ijazah) tapi kita belajar untuk hidup. Gelar sarjana pasti jadi impian semua mahasiswa. Tapi mesti lebih dari itu. Bukan sekadar ijazah.*

Flores Pos | Feature | Perguruan Tinggi |16 September 2008

1 komentar:

Vincent mengatakan...

halo frans, sudah lama tidak ketemu ya,....kau tambah hebat sa...

sudah lama saya tahu kalau kau su jadi orang penting di flores pos. semoga sukses terus di situ ya...

teman-teman lama kita, ada kontak-kontak dengan kau ko? di kupang saya hanya beberapa kali ketemu dengan johny lalongkoe sa, yang lain-lain tidak pernah.

waktu di makassar dulu saya sering ketemu dengan adikmu yang di fakultas hukum itu, kalau tidak salah namanya adi ya...

semoga suatu saat kita bisa ketemu muka ya, soalnya kalau pulang libur dari ruteng ke kupang, singgah di ende cuma 20 menit. tapi kalau kau ke kupang kasih tahu beta ya,....

oh ya hampir lupa, su berapa anak? saya su dua. salam untuk mereka ya...

ini no hp saya 081 342 178 821 dan blog/site saya: http://nggoang.multiply.com

ok, gitu dulu ya...

sukses selalu untukmu kawan...