27 Februari 2008

Diskusi Sertifikasi Guru (2)

Menggoda dan Cemburu

Oleh FRANS OBON

KALAU dilihat dari persyaratan portofolio sertifikasi guru adalah jalan menuju standarisasi kualitas guru, yang diharapkan pada akhirnya mutu pendidikan di Indonesia yang seringkali dikeluhkan terbilang rendah, didongkrak naik. Bahwa ada penambahan dan peningkatan pendapatan guru setelah memenuhi persyaratan, hal itu dilihat sebagai konsekuensi.

Ambil misal persyaratan perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran yang memprasyaratkan perlunya guru menyiapkan bahan ajar. Syarat ini akan mencegah guru yang tidak menyiapkan diri ke sekolah dengan bahan ajaran yang pasti. Sebab godaan bagi para guru senior yang merasa sudah hafal luar kepala bahan ajar, tidak lagi menyiapkannya secara teratur. Lagi pula hal ini akan memaksa guru untuk terus meng-up date bahan ajarnya dan mencari metode yang tepat agar memudahkan siswa memahami materi ajar.
Sepuluh syarat portofolio itu memaksa guru untuk tidak sekadar berprofesi guru, tetapi menjadi guru yang sungguh-sungguh jadi guru. Mungkin ini pula jalan untuk memurnikan motivasi menjadi guru.
“Saya beranggapan di depan para guru sudah dipajang kue dan mereka diberi kesempatan untuk merebutnya, tapi dipasang kriteria. Maka lunglailah mereka. Karena dari dulu mereka tidak siap jadi guru. Pengalaman saya, orang mau menjadi guru sebagai jalan pintas untuk bisa mengongkosi adik-adik mereka,” begitu kata Theo Uheng membuka sesi diskusi.
Theo Uheng adalah salah satu asesor untuk guru agama Katolik. Guru-guru agama berada di bawah Departemen Agama sedangkan guru-guru lainnya berada di bawah Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas).
Kepala Sekolah SMP Negeri 2 Ende Stefanus Rosi mengatakan, para guru tidak siap dan mentalitasnya cepat puas dengan apa yang ada. “Dicubit baru terkejut”. “Sudah luar biasa, 39 orang sudah gol”.
Ketidaksiapan itu terlihat dalam diskusi. Pater Hendrik Rua SVD menderetkan 4 kategori reaksi para guru ketika memberlakukan sertifikasi dengan sepuluh persyaratan itu. Berbeda reaksinya antara guru yang belum Strata Satu dan D4, guru yang usianya masih muda, guru di atas usia 40 tahun, dan guru yang tergolong kritis di atas usia 52 tahun.
Kasek SMA Negeri 2 Hendrik Sengi menilai, waktu yang mereka miliki untuk mempersiapkan dokumen sertifikasi terlalu singkat, apalagi di tengah sistem dokumentasi pribadi yang kurang teratur. “Jangan sampai sertifikasi ini hanya retorika politik belaka. Jangan sampai ada kesan seperti itu,” katanya.
Tobias Tonda menilai sertifikasi ini hanya bukti administrasi. Sebenarnya yang penting adalah sesuatu yang beyond, di balik sertifikasi, performance para guru. Malah Kasek SMP Negeri 3 Gabriel Wulan Pari menyalahkan anggota Dewan yang dulunya “berada di bawah pohon kelapa” memasang syarat-syarat yang sulit dipenuhi para guru. “Kalau mau dapatkan uang, harus siapkan ini dan itu. Ini yang membuat kita semakin terpojok”.
Kadis Don Bosco Wangge, menanggapi Hendrik Sengi, berjanji pada masa mendatang jika dinas menyelenggarakan pendidikan dan latihan juga akan menyiapkan sertifikat bagi peserta. “Kami akan coba memberikan sertifikat pada semua kegiatan. Kalau kita kembali ke belakang, tidak akan selesai-selesai”.
Menyinggung minimnya sosialisasi, Don Bosco Wangge mengatakan, tidak ada dana untuk sosialisasi. “Kita tidak ada kebagian dana untuk itu. Kita bisa bentuk tim lagi, kalau dana disetujui, tim bisa bekerja”. “Gara-gara soal begini ini (dana), saya dituduh kadis gila dan tukang ribut”.

Menggoda
Sertifikasi adalah juga sebuah godaan. Ada guru-guru yang mau jalan pintas dan coba mendekati tim asesor. “Ini godaan besar untuk tim asesor,” kata Theo Uheng. “Ini saya omong pada masa puasa – orang Katolik lagi berada dalam puasa selama 40 hari. Ada yang mengirim SMS bahwa guru bersangkutan pernah menjadi muridnya.”
Namun Theo berujar, sebagai tim asesor dia tidak akan tergoda untuk melakukan hal-hal demikian. Bahkan dalam hal persyaratan pengajaran dan pelaksanaannya, dia menuntut tulisan tangan untuk materi ajar para guru. “Sebab kalau dengan komputer, akan mudah dikopi dan diganti saja”.
Godaan tidak saja untuk tim asesor. Guru-guru juga tergoda untuk membuat manipulasi. Jika manipulasi sungguh terjadi, maka tujuan sertifikasi tentu saja gagal. Karena sertifikasi pertama-tama untuk mendorong peningkatan kompetensi pedagogik guru dan kompetensi sosial.
Munculnya isu, rumors dalam sertifikasi sebagaimana mencuat dalam diskusi menunjukkan bahwa selalu terbuka peluang sertifikasi menjadi “dagangan baru” untuk kepentingan diri. Namun, rumors juga bisa muncul dari kepentingan politik sesaat.
Meski demikian, inti dari peringatan ini adalah bahwa sertifikasi harus sungguh-sungguh bersih dari segala bentuk manipulasi. Ini tentu terpulang kepada para guru, kepala sekolah, dan pengawas. Kalau mereka tidak bermain mata, maka tujuan sertifikasi terpenuhi.
Don Wangge mengatakan, kalau ada manipulasi itu berarti ada bencana ketidakjujuran. “Kalau kita berhadap dengan orang, kita kalahkan aturan. Kalau begitu, akan terjadi bencana ketidakjujuran. Kalau kita punya prinsip, tidak akan ada manipulasi,” katanya.

Cemburu
“Cemburu itu sudah pasti,” kata Theo Uheng. Lunik Widyawati, seorang pengawas juga mengaku ada kecemburuan di kalangan para guru. “Kami berhenti saja jadi guru,” begitu kata Lunik mengutip keluhan para guru.
Bahkan Amatus Peta mengatakan kepada saya, ada guru yang mengatakan, “Biar kamu yang lulus sertifikasi saja yang bekerja”.
Semua reaksi ini menunjukkan bahwa ada kecemburuan di kalangan para guru. Karena guru yang lulus sertifikasi belum tentu guru yang terbaik di sekolahnya. Ada guru yang tergolong baik, memiliki komitmen dan dedikasi namun tidak bisa lulus sertifikasi.
Penilaian ini tentu dilandaskan pada asumsi. Jika dilihat dari persyaratan portofolio, sertifikasi menjamin bahwa guru yang lolos itu memang sungguh berkualitas, tentu dengan syarat tidak ada manipulasi dalam penilaian. Sepuluh syarat dalam portofolio itu jika dilakukan dengan sungguh-sungguh, akan dapat menjamin kualitas guru.
Trudy Djanggur dari NTT-PEP mengatakan, sertifikasi guru ini akan menimbulkan kecemburuan dan beban psikologis. Hal ini jelas akan mengganggu proses belajar mengajar. Mengatasi hal ini, dia menganjurkan agar Dinas mengambil langkah memberikan kompensasi untuk mengecilkan jurang perbedaan pendapatan di kalangan para guru yang lulus sertifikasi dan yang belum lulus.
Mengacu pada pemberian kompensasi pada tenaga konsultan, dia menganjurkan agar guru-guru yang tidak bisa mendapatkan sertifikasi disediakan sejumlah dana, sehingga perbedaan dalam pendapatan menjadi kecil. Ini menurut dia akan meminimalisasi kecemburuan di kalangan para guru.
Namun usulan ini tentu tidak mudah karena amat bergantung pada pengambil kebijakan yakni pemerintah daerah setempat. Berulang kali Don Bosco Wangge mengatakan, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan hanyalah pengguna anggaran, bukan penentu kebijakan. Langkah ini, kata dia, bisa dilakukan apabila penentu kebijakan punya komitmen untuk melakukan hal itu.
Sampai saat ini, masih terdapat perbedaan dalam memahami 20 persen anggaran untuk pendidikan. Ada yang bilang anggaran pendidikan di Kabupaten Ende sekarang sudah 32 persen. “Saya tidak tahu lagi bagaimana cara menghitungnya”.
“Kami tidak setamak seperti yang dibayangkan. Anggaran pendidikan seharusnya setiap tahun dinaikkan, bukan malah dikurangkan”.
“Kalau orang cemburu, mau bilang apa. Ini peraturan pemerintah pusat” Sudah ada usaha meminta fatwah dari Mahkamah Konstitusi (MK) namun kita belum tahu. Karena Peraturan Pemerintah (PP) belum juga turun. Kita hanya bersandarkan pada Permendiknas, kata Don Wangge.

Flores Pos | Feature | Sertifikasi Guru
|21 Februari 2008 |

Tidak ada komentar: