10 Januari 2008

Komunitas Adat yang Rapuh

Oleh FRANS OBON

Tanduk kerbau adat milik suku Ngadha dan Bowejo dicuri untuk kembali dijual ke luar daerah. Pencuri warisan budaya suku Ngada dan Bowejo itu akhirnya dibekuk dan ditahan polisi.

Ini bukan kasus pertama. Benda-benda budaya bernilai tinggi seperti peo dan ana deo di Kabupaten Ngada ataupun gading-gading milik suku di Ende beberapa waktu lalu dicuri, lalu dijual keluar daerah. Motifnya adalah mendapatkan uang.
Tetapi dari satu sisi, ini merupakan pencerminan dari erosi kultur-kultur lokal yang sudah rapuh di daerah kita. Bahwa anggota suku tidak lagi merasa bangga dengan kekayaan dan warisan sukunya. Dengan demikian suku tidak lagi menjadi kebanggaan dan pembentuk identitas generasi muda. Situasi ini juga di satu sisi adalah kerapuhan tradisi lisan dan pewarisan nilai-nilai kepada anggota suku. Dampaknya adalah generasi muda gagap terhadap tradisi mereka sendiri dan tidak mampu mengungkapkan diri melalui kultur sendiri. Sehingga tidak mengherankan generasi muda kita teralienasi dari kultur mereka sendiri.
Proses alienasi dari kultur sendiri makin meluas terutama pada masa pemerintah orde baru. Atas nama nasionalisme dan pembangunan, semua identitas suku dileburkan dan diarahkan menuju identitas sebagai bangsa. Semua kekuasaan komunal suku dipinggirkan dan diganti dengan sistem pemerintahan lokal modern melalui peraturan desa. Sehingga terjadi pergeseran kekuasaan.
Pemerintah daerah kita juga meski mereka lahir dari kultur setempat tidak cukup kuat berusaha untuk memelihara kultur mereka sendiri sebagai wahana pengungkapan diri secara kultural. Sama sekali tidak ada penghargaan terhadap kultur mereka sendiri. Akibatnya kreativitas budaya lokal hilang. Sebagai gantinya, generasi kita mencari wahana budaya lain sebagai pengungkapan diri mereka secara kultural. Situasi ini makin rumit tatkala masyarakat kita berhadapan dengan pengaruh budaya global.
Sampai sekarang penghidupan kembali kultur lokal itu berjalan pincang. Di satu sisi pemerintah kita memerlukan dukungan komunitas suku yang rapuh itu untuk pembangunan terutama soal tanah, tetapi di sisi lain tidak ada usaha memperkuat posisi komunitas suku sebagai satu kelompok masyarakat madani. Di satu sisi ada usaha menggalang partisipasi politik rakyat melalui jalur komunitas suku terutama pada saat pemilihan kepala daerah (pilkada), tetapi di sisi lain mobilasasi itu hanya untuk kepentingan kekuasaan bukan kepentingan suku. Dalam rencana tata ruang yang tidak lain adalah soal pemanfaatan ruang, komunitas adat suku tidak dilibatkan, bahkan tidak mendapat keuntungan dari ruangnya sendiri. Dari proses ini, lama kelamaan, komunitas suku akan terusir dari tanah mereka sendiri.
Sejatinya pemerintahan yang pro rakyat harus pula bisa menjamin terpeliharanya kultur lokal dan memberi ruang bagi pengembangannya. Sebab inisiatif lokal hanya bisa muncul kalau kultur lokal terpelihara. Ikut menjaga warisan budaya suku adalah bagian dari usaha pemeliharaan itu.

Flores Pos | Bentara | Komunitas Adat | 21 Februari 2007 |

Tidak ada komentar: