07 September 2007

Pedagang Sepatu Menumpang Bahtera

Oleh: FRANS OBON

BARU saja 10 menit Syafrizal membuka kios sepatunya, seorang pemuda datang membeli sandal seharga Rp30.000. Itulah pembuka yang memberinya rejeki, Sabtu (14/7) di Pasar Potulando, sebuah pasar tradisional paling ramai di Kota Ende pada malam hari. Pasar ini disebut juga Pasar Senggol, karena padatnya orang mengunjungi pasar pada malam hari.

Saya bersama orang-orang dari Koperasi Kredit (Kopdit) Bahtera tiba lima menit lebih awal sebelum dia datang ke tempat usahanya, yang mulai dia tempati 1995, setelah pamannya Buyung John sebelum kembali ke Padang mengopernya. Sepuluh menit lamanya dia membereskan dagangan. Satu persatu dia gantung di pintu, listrik dipasang di atas palang pintu. Baru lima menit wawancara mulai, seorang anak yang hendak masuk sekolah dasar bersama ayahnya datang membeli sepatu dan kaos kaki seharga Rp40.000. “Maaf mas,” katanya.

Dia mulai merangkak dari bawah sebagai pedagang keliling. Modalnya cuma Rp3 juta. Dia berkelana di pasar Mauponggo, Boawae, Mbay, Raja dan Nangaroro. Dia membeli pakaian di Surabaya. Kalau masih kurang, dia membeli di toko di Ende. Dia terus menekuninya dan modalnya bertambah sedikit demi sedikit. Sehari dia mendapat Rp200.000

Tahun 1991, dia menikahi Mawar, yang sekarang memberinya tiga orang putri. Hal ini juga menjadi api yang mendorongnya terus bekerja. “Kuncinya ulet, tekun, sabar. Tantangan hidup ada, ada turun dan naiknya,” katanya.

Dia kemudian memfokuskan usahanya pada sepatu. Dia punya alasan karena sepatu lebih laris sehingga dia tidak lagi menjual pakaian. Meski dia hanya sampai kelas 2 SMP Minatama Jakarta Timur, dia tidak kekurangan instuisi bisnis. “Jangan patah semangat,” katanya. Bolehlah dibilang dia banting produk dengan fokus ke sepatu setelah menempati stand di pasar Potulando. Dia bilang, ini lebih laris terutama pada tahun ajaran baru, Natal dan Tahun Baru, Lebaran. Maret-April adalah bulan-bulan sepi.

Krisis 1998 yang melanda Indonesia juga menimpa usahanya. “Satu bulan saya tidak bisa jual”. Kalau sehari dia mendapat Rp300.000, berarti dia kehilangan Rp9 juta sebulan.

Kenal Kopdit
Suatu hari seorang Petugas Lapangan dari Koperasi Kredit Bahtera datang memperkenalkan program microfinance. Dia pun tertarik. Apalagi istrinya Mawar membuka rumah makan. Jadilah dia meminjam kredit microfinance itu dari Kopdit Bahtera. Awalnya hanya Rp1.500.000 sesuai dengan aturan di Kopdit Bahtera. Angsuran kreditpun lancar. Oleh panitia kredit Kopdit Bahtera yang diketuai Gregorius Latu, Syafrizal dianggap layak. Interaksi pun terus berjalan, makin tertariklah dia ke kopdit. Dia meminjam Rp10 juta Desember 2006. Sudah tujuh bulan, angsurannya lancar-lancar saja. Dia lalu menjadi anggota Kopdit Bahtera.

Dia belum pernah sekalipun meminjam uang di bank sebagai modal usaha. Kredit microfinance dari Kopdit Bahtera boleh dibilang eksperimen pertamanya dan ternyata ia sukses mengelolanya. Syafrizal mengingat ketika pertama kali ke Ende hanya bermodalkan nekat.

“Saya nekat saja. Namanya di kampung, karena susah hidup, nasib baiklah.”
Setelah sukses kembali ke Padang?

“Tidak, kami akan tetap di Ende”.

“Anak saya semua lahir, besar dan sekolah di Ende. Kami tidak mungkin kembali ke Padang,” timpal istrinya, yang baru saja tiba di tempat jualan 10 menit sebelum wawancara usai.

*Artikel ini pernah dimuat di Flores Pos

Tidak ada komentar: