29 Juli 2007

Peranan Pers Lokal dalam Peningkatan Kesetaraan Gender dalam Bidang Pendidikan


Oleh FRANS OBON

Pertanyaan yang ingin dijawab di sini adalah apa kontribusi pers lokal dalam usaha-usaha peningkatan kesadaran dan kesetaraan gender di Flores, terutama dalam bidang pendidikan? Tema ini berada di bawah tema besar yang menjadi fokus bahasan kita selama tiga hari ini (tanggal 18-20 April 2006): “Strategi Mewujudkan Keadilan dan Kesetaraan Gender dalam Pendidikan Dasar melalui Pendekatan Budaya dan Agama”.
Bahasan ini mengandaikan tiga hal. Pertama, gender umumnya dipahami sebagai konstruksi budaya. Kedua, lembaga pendidikan sebagai salah satu institusi kebudayaan memiliki peranan penting dalam proses pencarian dan peningkatan kesadaran kesetaraan gender. Ketiga, pers sebagai institusi publik juga memainkan peranan penting sebagai medium pendidikan nilai dalam masyarakat. Pers menjalankan tugas kebudayaan untuk melakukan kritikan terhadap budaya dan mendorong pembentukan nilai-nilai baru dan habitus baru dalam masyarakat. Kita tahu bahwa salah satu fungsi pers adalah edukasi, selain fungsi hiburan dan informatif.
Jika kita melakukan life story interview di kalangan perempuan kita mengenai persepsi diri mereka: apa yang dikatakan orang tua mereka mengenai diri mereka, apa yang dikatakan masyarakat tentang diri perempuan, dan apa yang dikatakan oleh para guru di lingkungan sekolah, hampir semua persepsi, pola laku, dan pola pikir kaum perempuan kita dipengaruhi oleh apa yang dikisahkan oleh orang tua mereka (apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan), oleh nilai dan materi bahan ajar yang mereka terima dari para pendidik, dan oleh kebiasaan-kebiasaan yang hidup di dalam masyarakat mereka. Nilai-nilai budaya ini akan membentuk gambaran diri perempuan.
Karena itu Simone de Beauvoir mengatakan, “Kita tidak dilahirkan sebagai wanita, melainkan kita dibuat menjadi wanita. Bahwa wanita itu kekal dan kodrati, hanyalah merupakan kebohongan belaka; karena alam atau kodrat memainkan peranan yang terbatas dalam perkembangan manusia. Padahal kita manusia lebih merupakan makhluk sosial”. Simone de Beauvoir tidak hendak mengkritik fisik kewanitaan, melainkan pola pikir naturalis dan deterministik, yang menetapkan bahwa segala fungsi dan jabatan sosial seseorang mesti berdasarkan jenis kelaminnya.
Ini berarti, persepsi diri perempuan merupakan sesuatu yang terberikan secara kultural. Namun, sikap dan cara penerimaan tiap perempuan terhadap nilai-nilai ini berbeda-beda. Sebagian perempuan menerimanya secara taken for granted, tetapi sebagian lagi menerimanya secara kritis. Sikap kritis ini timbul akibat perjumpaan mereka dengan nilai-nilai baru, pengalaman baru, dan tantangan baru dari lingkungan hidup mereka. Sesungguhnya pers dan institusi pendidikan ingin memperbesar lingkaran kelompok-kelompok kritis ini untuk menyadari situasi mereka.Dari pengalaman, lembaga pendidikan merupakan salah satu pintu masuk untuk mencairkan kebekuan dalam persoalan kesetaraan gender.
Transformasi kultural ini mengandaikan adanya pemahaman yang tepat mengenai budaya bahwa budaya bukanlah kata benda, melainkan kata kerja. Budaya adalah sebuah agenda bersama, sebuah kerja bersama untuk menenun nilai-nilai yang menopang keberadaan bersama. Ini berarti budaya tidak dilihat sebagai sesuatu yang statis, melainkan sebagai sesuatu yang dinamis. Melalui proses-proses kreatif, manusia akan terus membarui kebudayaannya. Proses ini sendiri dapat dimengerti karena manusia memiliki sisi imanensi dan transendensi dalam dirinya. Sebagai makhluk yang memiliki sisi imanensi, manusia membutuhkan segala sesuatu yang bisa memenuhi kebutuhan fisiknya, tetapi dimensi transendensi menyebabkan manusia melampui makhluk lainnya.
Kalau budaya itu mempengaruhi pola pikir dan pola tindak masyarakatnya, maka kebudayaan juga terbuka terhadap penafsiran. Ada tiga lapisan dalam kebudayaan. Pertama, manusia menciptakan alat-alat/teknologi untuk memudahkan dia mencapai tujuannya. Kedua, etos sosial masyarakat yang merupakan kompleksitas kebiasaan dan sikap-sikap manusia terhadap waktu, alam, dan kerja. Ketiga, inti kebudayaan adalah pemahaman diri masyarakat, bagaimana manusia menafsirkan sejarahnya, jati dirinya, dan tujuan hidupnya.
Gerakan kebudayaan di mana pun selalu berada dalam dua ketegangan yakni gerakan sentripetal (gerakan mempertahankan diri) dan gerakan sentrifugal (mengembangkan diri keluar) yang nantinya akan bersentuhan dengan kebudayaan lain. Pertemuan dengan kebudayaan lain menyebabkan kita mendapatkan sintesa baru. Dalam kata-kata Selo Soemarjan, kebudayaan selalu bergerak dalam tiga tahap: integrasi-disintegrasi-integrasi. Dalam alur pemikiran itu, kita akan melihat kebudayaan sebagai agenda cipta dan panggung tempat di mana kreativitas manusia tercipta. Kebudayaan yang sehat akan selalu memberi ruang pada kemungkinan untuk masuknya unsur-unsur perubahan dan perkembangan.
Budaya juga sebagaimana dikatakan Paul Ricouer selalu berdialektika antara sedimentasi atau pemantapan dan inovasi/pembaruan. Sedimentasi tanpa inovasi, budaya menjadi mandek, sebaliknya inovasi tanpa sedimentasi tidaklah mungkin.
Jadi, di sini kita lihat bahwa kebudayaan, berdasarkan dimensi imanensi dan transendensi manusia, akan selalu berkembang dan berubah. Pertemuan dengan kebudayaan lain akan sangat memungkinkan muncul pengalaman dan nilai-nilai baru. Karena itu yang diperlukan di sini adalah perlunya dikembangkan hermeneutic suspicion (kecurigaan hermeneutis), bahwa kebudayan mesti dicurigai karena mengandung unsur-unsur yang bisa membelenggu perempuan dan menciptakan diskriminasi.

Dua Sisi dari Mata Uang Sama

Di dalam sejarah perkembangan masyarakat Flores, institusi pendidikan dan institusi pers adalah dua sisi dari mata uang yang sama. Sejak kegiatan misi Katolik di Flores, lembaga pendidikan dan pers dinapdang sebagai pintu masuk bagi pembangunan dan pengembangan sumber daya manusia serta kemajuan sosial dan ekonomi di Flores. Ada keyakinan yang kuat bahwa lembaga pendidikan adalah salah satu institusi kebudayaan yang dapat berperan mendorong perubahan dan kemajuan suatu masyarakat. Lembaga pendidikan berkembang pesat di Flores terjadi karena ada sikap akomodatif dari masyarakatnya. Ada keterbukaan untuk menerima nilai-nilai baru yang bisa diperoleh dari lembaga pendidikan. Dari sejarah pendidikan di Flores, kita tahu bahwa pendidikan telah menjadi institusi baru yang diterima masyarakat.
Pada tahun 1914, Serikat Sabda Allah (Societas Verbi Divini/SVD), sebuah kongregasi Gereja Katolik yang cukup berpengaruh di kawasan ini mengambil alih misi dari Serikat Yesus (Jesuit) — sebelumnya pada tahun 1913 SVD menerima pengalihan misi dari Jesuit di Timor.
Yang menjadi pertanyaan pokok pada saat itu adalah bagaimana membangun Flores yang masih miskin dan terbelakang ini. Para misionaris pada masa itu berpendapat bahwa sekolah adalah lorong masuk menuju masyarakat adab, yang mandiri dan sejahtera. Hal itu ditopang oleh keyakinan iman yang mendalam bahwa ekonomi keselamatan manusia tidak saja terletak pada keselamatan jiwa atau penyembuhan jiwa-jiwa (cura animarum/healing the souls), melainkan keselamatan manusia seutuhnya.

Kurt Piskaty menulis:

A crucial matter for the missionaries at the beginning was how they would gain access to the people. ... Luckily, the missionaries soon had an avaibale means which helped them with the confidence of the people: catholic schools. ... The schools performed several functions for the mission. First of all, they were means of forging links of trust between the people and mission in new areas. The schools gave children and parents the chance to realize the mission brought was useful and at the service of the people. Secondly, the schools were and are very important promoters of economic and social development. [Sebuah persoalan krusial bagi misionaris pada awalnya adalah bagaimana mereka memperoleh akses pada masyarakat. ... Beruntung, para misionaris segera mendapatkan sarana-sarana yang cocok yang dapat menolong mereka untuk mendapatkan kepercayaan dari umat: sekolah-sekolah Katolik. Sekolah-sekolah ini memainkan beberapa peran bagi misi. Pertama, mereka menjadi sarana yang memperkuat lingkaran kepercayaan antara umat dan misi di daerah baru itu. Sekolah-sekolah itu memberikan kepada anak-anak dan orang tua kesempatan untuk merealisasikan apa yang berguna yang dibawakan misi bagi pelayanan umat. Kedua, keberadaan sekolah-sekolah itu sangat penting bagi promosi pembangunan sosial dan ekonomi.

Tetapi pembangunan sekolah-sekolah ini diadaptasikan dengan konteks masyarakat setempat. Filosofi gotong royong masyarakat Flores diimplementasikan dalam keseluruhan proses pendidikan. Ini ditunjang lag ioleh kebijakan pemerintah Belanda pada masa itu, yang memberikan subsidi penuh pada sekolah-sekolah ini. Pada tahun 1913 di bawah pemerintahan Gubernur Jenderal Idenburg muncul peraturan yang dikenal dengan FLORES-TIMOR-SOEMBA CONTRACT/REGEELING, sebuah kontrak yang menyebutkan bahwa pendidikan di Flores diserahkan ke Misi Katolik dan pendidikan di Timor dan Sumba diserahkan ke Zending. Kebijakan ini diumumkan 20 Oktober 1915. Tetapi keputusan ini dicabut pada tahun 1925. Pada masa itu beban keuangan ditanggung pemerintah untuk sekolah desa (volksschool) sedangkan untuk Standaardschool (sekolah dasar 2 tahun) tiga perempat biayanya ditanggung pemerintah. Pada masa itu gedung sekolah dan rumah para guru dibangun oleh masyarakat. Kalau saat ini hal itu muncul kembali dalam konteks lain yakni peran Komite Sekolah, maka sesungguhnya itu bukan sesuatu yang baru di dalam sejarah pendidikan Flores.
Di samping membangun gedung sekolah, salah satu fokus utama adalah peningkatan mutu guru. Guru-guru yang hanya tamat Opleiding tot Volksonderwijs (OVO) dikirim ke Tomohon untuk ikut pendidikan Normaal School. Selain itu para siswa yang berprestasi diberi beasiswa.
Tetapi sekolah-sekolah Inpres yang didirikan pada masa Orde Baru pada tahun 1970-an telah menghilangkan semua proses keterlibatan masyarakat di dalam pendidikan. Sejak itu sekolah-sekolah swasta mengalami kesulitan, seolah-olah masa jayanya telah berlalu.
Seperti yang telah saya katakan sebelumnya, sejak awal juga misi Gereja Katolik memandang pers sebagai medium pengembangan nilai-nilai baru di dalam masyarakat di mana masyarakat diperkenalkan dengan pengalaman-pengalaman di tempat lain. Kemajuan suatu masyarakat hanya akan diperoleh kalau sumber daya manusianya maju. Salah satu dari usaha mewujudkan impian ini adalah pendirian media massa.
Pada tahun 1925, untuk pertama kalinya masyarakat Flores diperkenalkan dengan media cetak. Bintang Timoer, sebuah majalah bulanan diterbitkan pertama kali tahun 1925, yang dicetak di Percetakan Kanisius Yogjakarta. Pada tahun 1926, didirikan percetakan pertama di Flores yang diberi nama Percetakan Arnoldus Nusa Indah. Tetapi karena mesin-mesin cetak dari Eropa belum lengkap, maka Bintang Timoer masih dicetak di Percetakan Kanisius. Baru pada tahun 1928, Bintang Timoer dicetak di Percetakan Arnoldus Nusa Indah. Tetapi pada tahun 1937, majalah ini mati.
Pada tahun 1946, majalah bulanan Bentara dan bulanan anak-anak yang diberi nama Anak Bentara didirikan. Tetapi kedua majalah ini ditutup tahun 1961. Pada tahun 1973, masa kebangkitan kembali pers di Flores. Tanggal 24 Oktober 1973, terbit majalan Dwimingguan DIAN dan majalah anak-anak yang bernama Kunang-Kunang. Majalah Dian pada tahun 1987 berubah menjadi Suratkabar Mingguan Dian (tabloid). Sejarah baru kembali tercipta. Tanggal 9 September 1999, terbit harian pertama di Flores: Flores Pos.
Perlu juga disampaikan di sini bahwa Flores pernah mempelopori suratkabar berbahasa daerah, yakni Christus Ratu Itang yang diterbitkan Juni 1929 tetapi ditutup Agustus 1940.
SKM Dian yang hidup sampai saat ini mengambil moto “Membangunan Manusia Pembangun”. Tentu saja moto ini secara sengaja dipilih untuk menunjukkan bahwa media ini secara kontinyu mendorong proses pembangunan di wilayah ini dalam segala segi. Dan hampir 33 tahun lamanya, Dian terus mendorong keterlibatan masyarakat dalam proses pembangunan di kawasan ini, membentuk pikiran kritis, dan membantuk sumber daya manusia yang cerdas.
Sama halnya dengan Harian Flores Pos. Sejak berdirinya, Harian ini mengambil moto, “Dari Nusa Bunga untuk Nusantara”. Flores yang pada tahun 1521 disebut sebagai cabo da Flores oleh Portugis ingin memberikan kontribusi bagi pembangunan masyarakat majemuk; Flores ingin memberikan kontribusi bagi penerimaan kemajemukan di Indonesia. Seperti Seokarno, presiden pertama Indonesia, mendapatkan inspirasi sila-sila Pancasila di Ende, Flores, Harian Flores menyimpan obsesi yang sama untuk memberikan inspirasi bagi pembangunan Indonesia ke depan yang berkeadaban, yang menerima perbedaan sebagai sesuatu yang wajar. Karena itu Flores Pos ingin mengembangkan perlunya koeksistensi secara damai.

Bagaimana pers lokal berperan

Cerita mengenai sejarah pendidikan dan sejarah pers di Flores secara sengaja saya sampaikan untuk menunjukkan bahwa kita ingin membangun Flores ke depan dalam sebuah rangkaian yang tak terputuskan. Rangkaian usaha-usaha yang tak terputuskan ini adalah benang merah di mana kita bisa menelusuri jejak perjuangan kita untuk membangun masyarakat yang mandiri, bebas, otonom, cerdas, dan tidak terbelenggu oleh kemiskinan, keterbelakangan, diskriminasi, dan lain-lain. Dengan kata lain, bagaimana kita meneruskan warisan tak ternilai ini dan bagaimana kita mesti berperan ke depan. Di sini saya ingin mengedepankan peran pers (lokal) sebagai bagian dari proses pencerahan dan pencerdasan masyarakat.

1). Menjadi Forum Publik

Sejak awal, Mingguan Dian dan Harian Flores Pos membangun komitmen untuk menjadi forum bersama di mana setiap orang mengambil bagian dalam pembicaraan mengenai keseluruhan proses pembangunan, tidak terkecuali di dalam persoalan kesetaraan gender. Karena setiap kali kami bertanya: kepada siapa pers mengabdi? Apakah pers mengabdi kepada kepentingan bisnis atau kepada kepentingan warga?
Kami tidak pernah ragu mengatakan bahwa kami mengabdi dan akan selalu mengabdi kepada kepentingan warga (publik). Kami akan terus mengambil bagian dalam setiap proses-proses penting yang menjadi turning point bagi perubahan masyarakat, serta terus mendorong terciptanya masyarakat sipil yang sehat dan kuat.
Sejak awal Flores Pos, kami ingin memelihara forum publik ini agar tidak didominasi oleh kelompok tertentu, tetapi sebaliknya memberikan tempat kepada semua orang. Kami memberikan kesempatan kepada umat Islam untuk mengisi Mimbar Jumat dan Mimbar Minggu (setiap Sabtu) kepada umat Katolik dan Protestan untuk secara bergilir menawarkan perspektif agama dalam menjawabi persoalan masyarakat. Kami membuka rubrik Marhaban ya Ramadhan pada saat umat Islam menjalankan ibadah puasa. Kami tidak ingin Flores Pos didominasi oleh kelompok tertentu, ideologi tertentu. Prioritas kami adalah melayani kepentingan warga, menjunjung tinggi kebenaran dan sikap fair.
Tetapi dalam menjaga forum publik ini, terutama fungsinya sebagai pembentuk pendapat umum, kami akan selalu memperhatikan kualitas. Sebagaimana dikatakan oleh Paus Paulus VI dalam Instruksi Pastoral, Communicatio et Progressio yang diterbitkan 23 Mei 1971 bahwa media komunikasi sebagai forum pendapat umum itu merupakan tempat di mana orang bisa belajar dan bertukar pikiran. Menurut Paus, pendapat umum merupakan pengungkapan hakiki kodrat manusia yang terorganisir dalam masyarakat. Kualitas pendapat umum itu terjamin hanya kalu ada kebebasan berbicara di mana setiap orang secara bebas mengemukakan pendapatnya tanpa rasa takut. Pendapat umum yang berkualitas tidak sama dengan suara mayoritas dalam masyarakat. Karena itu sebagai forum publik, yang menjalankan tugas edukasi, membangun sikap kritis, otonom, dan mandiri, kami selalu terbuka terhadap kritikan, koreksi dan perbaikan-perbaikan agar forum publik itu bisa menjadi tempat terbentuknya opini publik yang berkualitas, yang pada gilirannya mendorong perubahan nilai dan kemajuan masyarakat.

2). Mendorong Terciptanya Kelompok Alternatif

Dalam memperkuat dan menjamin opini publik yang sehat dan berkualitas, sejak awal Flores Pos mengambil kebijakan untuk menciptakan kelompok-kelompok alternatif yang bisa memberikan pendapat alternatif dari pengarusutamaan yang tercipta selama Orde Baru. Pada masa Orde Baru, arus utama yang menguasai opini publik di media adalah eksekutif. Apa yang benar menurut pemerintah, itulah yang merupakan realitas kebenaran. Kita ingin mengimbangi peranan birokrasi pemerintah yang kuat dengan memperkuat kelompok-kelompok alternatif seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM/NGO’s), DPRD, forum-forum perempuan, dan para pemikir lainnya di dalam masyarakat. Inilah garis kebijakan yang selalu kami perjuangkan agar jangan ada dominasi di dalam pembentukan opini publik.

3) Mendorong Terciptanya Penulis-Penulis Perempuan

Dalam perjalanan Flores Pos, sesungguhnya secara diam-diam kami ingin menjadi tempat di mana penulis-penulis perempuan bertumbuh subur. Sampai sekarang memang, dalam rubrik opini misalnya, jumlah penulis perempuan masih sedikit. Tetapi kami sadar ini menjadi agenda kami (hidden agenda), yang hanya saya sampaikan di dalam forum ini. Kami perlahan-lahan melihat ada harapan ke depan bahwa akan ada penulis-penulis perempuan yang berani menulis opini. Bukan hanya opini yang mau kami tampilkan bagi kaum perempuan kita, tetapi kami sering menjadikan perempuan sebagai sumber berita. Tentu saja ini bertujuan agar perempuan mengambil bagian dalam pembentukan opini umum dan mempengaruhi para pengambil kebijakan. Yang saya lihat, kelemahannya justru di manajemen (humas) forum-forum perempuan kita yang tidak “proaktif” mengambil bagian dalam pembentukan opini publik itu. Kendati demikian, kami ikut bertanggung jawab untuk menumbuhkan kelompok-kelompok kritis di kalangan perempuan atau seperti yang telah saya sebutkan di depan yakni bagaimana kita mengembangkan hermeneutic suspicion (hermeneutika kecurigaan) bahwa budaya mengandung elemen-elemen diskriminatif dan dominasi seringkali mengekalkan kondisi diskriminatif ini.
Selain ini, dalam peliputan, kami juga menerapkan teknik penulisan yang empati, peka terhadap masalah-masalah perempuan serta tidak menggunakan bahasa-bahasa sensasional, perlukisan yang detail dalam kasus-kasus pemerkosaan.

4). News in Education (NiE)

Inti gagasannya adalah bagaimana koran bisa masuk sekolah. Dari perhitungan bisnis, para siswa yang sedang berada di bangku pendidikan adalah pembaca potensial di masa depan. Karena itu Flores Pos berusaha dan berjuang melakukannya. Sampai sekarang memang kami belum mampu secara finansial untuk menyediakan suplemen khusus di mana para siswa bisa berkreasi melalui media. Tetapi kami beruntung, NTT-PEP mengisi peluang ini dengan menciptakan suplemen khusus yang diselipkan di Harian Flores Pos, tempat di mana anak-anak kita bisa berkreasi. Grup media kami memang punya Majalan Bulanan Kunang-Kunang, tetapi masih terbatas dalam banyak hal. Memang sebelum Flores Pos, pernah ada dua SMA di Flores yang mengisi satu halaman pendidikan di Dian yakni SMA St. Aquinas Ruteng dan SMAK Syuradikara Ende di mana halaman tersebut diisi oleh para siswa. Setelah itu tidak pernah lagi.
Kendati ini kami tidak laksanakan dengan alasan keterbatasan finansial, tetapi kami tetap konsisten melaksanakan obsesi kami untuk menumbuhkan penulis-penulis muda di kampus-kampus dan lembaga pendidikan menengah. Beberapa kali tim Dian dan Flores Pos sejak 1995 sampai sekarang memberikan kursus jurnalistik di kalangan pelajar SMA dan Perguruan Tinggi (Universitas Flores), di kalangan organisasi kemahasiswaan seperti PMKRI dan GMNI. Kami ingin membangun pers mahasiswa, sekaligus membangun budaya menulis.

Inilah kemungkinan-kemungkinan dan komitmen-komitmen yang telah dan akan tetap kami bangun ke depan. Dalam diskusi nanti, kita akan membahas kemungkinan-kemungkinan lain yang bisa kita lakukan bersama untuk kemajuan dan peningkatan kesetaraan gender ke depan.

Makalah yang dibawakan pada akhir Program Gender NTT-PEP di Kabupaten Ende, Sikka, dan Ngada di Flores, Nusa Tenggara Timur, bertempt di Wsima Detusoko, Ende, 19 April 2006.





Tidak ada komentar: