28 Juli 2007

Kontribusi Perguruan Tinggi dalam Pembangunan Ekonomi Lokal


Oleh Frans Obon

AGAK sukar bagi saya untuk menelaah lebih mendalam, apalagi secara signifikan memberikan kontribusi bagi diskusi kita pada hari ini mengingat saya harus memberikan tanggapan terhadap 5 makalah yang merupakan hasil penelitian para pemakalah. Kendati demikian, saya memberikan apresiasi positif terhadap topik diskusi pada hari ini yang mengambil setting pengembangan ekonomi lokal dari perspektif perguruan tinggi. Karena ini menunjukkan bahwa perguruan tinggi kembali ke jati dirinya sebagai kawah cadradimuka dan empu yang berumah di atas angin untuk memberikan arah bagi perkembangan masyarakat. Karena itu diskusi dalam rangka penerbitan perdana Jurnal Uniflor ini sangat mengesankan karena perguruan tinggi kembali menghidupkan tradisinya untuk menjadi penelaah dan pencari arah solusi masalah masyarakatnya.
OPENING papers dari Masyur Abdullah Hamid, SE, MM dengan judul “Kiat Daerah Menjaring Investor melalui Pendekatan Segitiga Positioning, Differentiation, dan Brand” merupakan starting point yang bagus untuk diskusi kita pada hari ini. Ini satu topik yang aplikatif, yang dapat digunakan dalam konteks pengembangan ekonomi rakyat yang berorientasi pasar. Hal itu akan sejalan dengan penelitian Wilibrodus Lanamana, SE.MMA, terhadap petani kemiri dan kopi di Kecamatan Detusoko dan Kecamatan Ende. Studi itu sangat jelas memperlihatkan persepsi masyarakat petani terhadap pertanian berorientasi pasar.
Menurut Mansyur, ada tiga kriteria penyusunan positioning yakni kepuasan konsumen (customer satisfaction) dalam hal ini, investor dilihat sebagai customer; kedua, kompetitor kita. Di sini pemerintah diminta membuat secara tegas pembedaan daerah kita dengan daerah lainnya. Keunikan yang dapat membangun kepercayaan investor. Tentu penting kita memegang prinsip ini, it is better to be different than to be better (adalah lebih baik berbeda daripada menjadi lebih baik). Prinsip ini merupakan pernah dipakai Flores Pos saat pertama kali diluncurkan. Ini salah satu strategi bisnis yang bagus untuk memenangkan persaingan. Ketiga, change, artinya persepsi yang telah dibangun harus bertahan lama, kokoh dan relevan kendati terjadi perubahan.
Poin terpenting di sini adalah tampil beda yang berkualitas. Tampil beda sebagai strategi pemasaran, yang akan dapat menimbulkan terciptanya brand image yang kuat baik persepsi terhadap kualitas (perceived quality, brand assosiation, dan brand ekuitas. Namun, positioning yang kuat, yang bertahan lama, dan yang kokoh terhadap perubahan bukanlah perkara mudah di dalam operasi pemerintahan. Sudah lazim kita jumpai bahwa sering terjadi diskontinuitas dalam program pembangunan. Tiap rezim pemerintahan ingin mengukir prestasinya sendiri, sehingga berdampak pada diskontinuitas prioritas dan opsi-opsi pembangunan yang dibuat. Menurut saya, di sinilah akar ketidakonsisten pemerintah. Tetapi di lain pihak, akan ada selalu kemungkinan-kemungkinan baru bagi pemimpin pemerintahan untuk melakukan re-positioning.
JAUH lebih luas dari strategi pemasaran produk ini, sesungguhnya pelaksanaan otonomi daerah adalah suatu bentuk reposisi (re-positioning) dalam operasi pemerintahan. Menurut saya, ini jauh lebih dalam dan lebih berdaya guna.
Menurut IDEA Internasional dalam Penilaian Demokratisasi di Indonesia (2000), “Krisis Indonesia berhubungan erat dengan produk struktural yang terkait dengan lembaga pengambilan keputusan ekonomi dan proses yang dibangun selama periode Orde Baru selama masa itu, bisnis terkonsentrasi di sejumlah tangan elite dan mempunyai koneksi pribadi yang lebih bergantung pada patronase politik dibandingkan kemampuan bisnis. … Bisnis tidak dijalankan berdasarkan kekuatan pasar sejati dan ekonomi disetir para rentenir dan bukan oleh wirausaha. … Indonesia juga didera oleh keadaan pasar yang yang tidak berdasarkan keragaman aktivitas ekonomi yang bisa memanfaatkan sumber daya dengan efisien”.
Ini penggalan yang tidak utuh tetapi sedikit menggambarkan ekonomi pasar Indonesia di bawah rezim Orde Baru. Otonomi daerah, dalam pandangan saya, adalah jawaban Indonesia (Indonesian way) terhadap perkembangan global yang berdampak pada keterbukaan pasar yang lebih luas yang mengharamkan patronase politik dan ekonomi tapi menjalankan pasar secara efisien.
Kemajuan yang pesat di bidang telekomunikasi dan transportasi telah membawa kita pada percaturan global. Karena itu pilihan untuk menerapkan otonomi terbatas dan bukannya pembentukan negara federal untuk menjawabi perubahan global ini adalah jawaban Indonesia terhadap globalisasi. Peralihan secara terbatas kekuasaan pusat kepada daerah akan memberi ruang kepada daerah untuk merespons terhadap perkembangan global, sehingga beban dan biaya pemerintah pusat menjadi lebih ringan. Hal ini sejalan dengan dinamika dan hukum globalisasi itu yakni di tengah derasnya gaya hidup global, akan muncul counter trend yang mengarah pada lokalitas.
Apa yang harus dilakukan pemerintah menghadapi perkembangan global ini agar ekonomi lokal dapat bertumbuh dan mampu memenuhi kebutuhan masyarakat lokal? Dengan kata lain, globalisasi sendiri menuntut kita untuk merespons perkembangan global itu dalam konteks kita (think globally, act locally=berpikir global, bertindak lokal). Menurut Antony Giddens, ada 6 langkah yang mesti diambil pemerintah untuk menjawabi perkembangan global itu.
Pertama, negara harus merespons globalisasi itu secara structural. Globalisasi menciptakan penalaran dan dorongan kuat tidak hanya transfer otoritas ke bawah, tetapi transfer otoritas ke atas. Gerakan demokratisasi berdimensi ganda seperti itu tidak hanya sekadar menyebabkan lemahnya otoritas negara-bangsa (nation state) tetapi juga merupakan kondisi untuk menegaskan kembali otoritas negara-bangsa karena gerakan ini dapat membuat negara lebih responsif terhadap perkembangan dan kemungkinan-kemungkinan baru dari peradaban manusia.
Kedua, negara harus memperluas peran publik. Salah satu perubahan terbesar yang mempengaruhi ruang politik adalah pemerintah dan warga negara hidup dalam lingkungan informasi tunggal. Menurut Giddens, pratek yang ada selama ini adalah bahwa terdapat kerahasiaan pada tingkat yang lebih tinggi dan informasi hanya berjalan dari satu arah. Eksekutif memegang kekuasaan terlalu besar, tetapi terlalu lemah dalam memberikan pertanggungjawaban publik.
Ketiga, negara harus meningkatkan efisiensi administrasinya. Di mana saja birokrasi selalu diidentikkan dengan sesuatu yang tidak praktis dan efektif. Menurut Giddens, pemerintahan yang efektif harus bisa belajar dari dunia bisnis dan pelaku bisnis. Dunia bisnis amat cepat memberikan respons pada perubahan dan menjadi lebih gesit. Dengan demikian, restrukturisasi pemerintahan harus mengikuti prinsip ekologis ini yakni, “mendapatkan lebih banyak dari yang sedikit”. Namun fakta menunjukkan bahwa sebagian besar pemerintah harus belajar dari praktik bisnis, yakni kontrol sasaran, auditing yang efektif, struktur keputusan yang fleksibel, dan peningkatan partisipasi. Pemerintah harus merespons kritikan dan karena pemerintah kurang memiliki disiplin pasar, maka institusi negara menjadi sesuatu yang menjemukkan, akibatnya pelayanan yang diberikan juga menjadi tidak bermutu. Restrukturisasi pemerintah kadang-kadang berarti pengadopsian solusi yang berdasarkan pasar, tetapi hal itu juga menegaskan kembali efektivitas pemerintah di pasar.
Keempat, tidak hanya memperkenalkan kemungkinan yang ada, tetapi pentingnya bentuk-bentuk lain dari itu. Pemilihan presiden langsung dan tak langsung dapat dipandang sebagai bagian dari pencarian kemungkinan baru dalam proses demokratisasi di mana pemerintah membangun kembali kontak langsung dengan masyarakat.
Kelima, pemerintah harus memiliki kemampuan mengelola risiko. Penentuan risiko itu tidak saja diserahkan pada para ahli, tetapi sejak awal harus melibatkan publik. Prosedur yang dipertimbangkan masak-masak perlu dalam keputusan yang penuh risiko dan itu hanya dapat dilakukan para ahli, pemerintah, dan orang awam.
Keenam, pendemokrasian itu tidak hanya bersifat lokal atau nasional, tetapi kosmopolitan. Jadi, negara harus memiliki pandangan yang kosmopolitan. HAM dan demokrasi bukan hanya persoalan Barat, tetapi juga Timur karena mengacu pada martabat manusia.
Dengan demikian, repositioning tidak saja terhadap product, price, place, and promotion, tetapi reposisi struktural pemerintahan, sehingga pemerintah juga bisa merespons perubahan yang ada dan perkembangan global.
Reposisi struktural yang lebih efisien dan efektif ini juga akan dapat menjawabi masalah berkurangnya anggaran untuk publik dan membengkaknya anggaran aparatur sebagaimana terungkap dalam penelitian Yosef Alfonsus Gadi Jou, SE, M.Si terhadap struktur APBD Kabupaten Ende. Dalam kasus Flores Timur saat ini, pemangkasan jabatan struktural (146?) akan dapat menghemat anggaran aparatur, tidak saja dari segi tunjangan jabatan, tetapi dari perjalanan dinas. Kita berharap, pemangkasan itu akan berdampak pada makin meningkatnya anggaran publik dibandingkan dengan anggaran untuk aparatur pemerintah, meski hal itu akan dapat memberikan kontribusi tak langsung pada perkembangan ekonomi.
Dalam studi Yosef Gadi Jou juga disebutkan pentingnya penentuan skala prioritas anggaran belanja daerah karena adanya keterbatasan sumber dana, hasil dari penjaringan aspirasi masyarakat luas, dan variasi pelayanan masyarakat yang harus disediakan pemerintah daerah dan adanya suatu kebutuhan masyarakat yang lebih mendesak. Dalam menentukan prioritas anggaran belanja daerah, perlu dipertimbangkan beberapa aspek yakni (a) tingkat pentingnya dalam pencapaian tujuan; (b) risiko atau biaya dan manfaat yang ditimbulkan; (c) kapasitas sumber daya organisasi; (d) kendala-kendala yang mungkin dihadapi; dan (e) dampak akhir dari setiap strategi.
Tetapi saya melihat, proses politik anggaran di DPRD mengaburkan prinsip-prinsip ini. Pemilihan langsung oleh rakyat telah membuat anggota DPRD menggunakan kewenangannya untuk melakukan bargaining dengan eksekutif dalam politik anggaran. Ada banyak proyek yang sesungguhnya tidak menjadi hal yang mendesak sehingga diprioritaskan, tetapi karena ada intervensi dari anggota DPRD, maka proyek itu dicantumkan dan dianggarkan. Akibatnya, yang ada hanya ada proyek pembangunan, tanpa konsep yang jelas. Proyek-proyek mubazir adalah contoh terbaik dari pembangunan tanpa prioritas seperti ini. Adagium ini dapat berlaku di sini, “Makin tinggi tingkat kemubaziran sebuah proyek pembangunan, makin rendah rasionalitas perencanaannya, sebaliknya makin kecil tingkat kemubazirannya, makin tinggi tingkat rasionalitas perencanaannya. Makin kecil korban yang ditimbulkan dari sebuah proyek pembangunan, makin tinggi tingkat rasionalitasnya, demikian sebaliknya”.
DALAM kultur bertani, juga tampaknya agak sulit mendorong perubahan di kalangan para petani kita. Artinya agak sukar melakukan reposisi cara bertani di tengah masyarakat kita. Studi Wilibrodus Lanamana, SE MMA amat jelas memperlihatkan kepada kita bahwa perubahan orientasi bertani yang mengarah pada ekonomi pasar tidaklah mudah. Dari persentase sikap petani yang sangat setuju dan setuju terhadap pengembangan komoditas kemiri, hanya 35,71 persen yang menyatakan sangat setuju pengembangan komoditas kemiri, sedangkan 64,29 persen menyatakan setuju. Hal ini sejalan dengan tingkat pengetahuan petani mengenai komoditas yang dibudidayakan. Sekitar 71,43 persen para petani kemiri memiliki pemgetahuan sedang, dan 28,57 persen memiliki pengetahuan rendah, sedangkan pada petani kopi, 55,56 persen memiliki pengetahuan sedang, dan 44,44 persen memiliki pengetahuan rendah.
Angka ini sudah cukup signifikan untuk menggambarkan kepada kita bahwa amat sulit bagi para petani kita untuk mengembangkan pertanian yang berorientasi pasar. Dari studi ini, kita dapat mengemukakan dua alasan. Pertama, tingkat pengetahuan masyarakat yang rendah membuat masyakat enggan beralih. Masyarakat petani kita yang berkarakter subsisten tidak ingin mengambil risiko akibat ketidaktahuannya. Karena itu kita mendapatkan alasannya mengapa masyarakat lebih memilih tanaman yang mementingkan pemenuhan kebutuhan dasar langsung daripada pengembangan komoditas pertanian berorientasi pasar. Kondisi subsisten ini dan ketakutan mengambil risiko juga disebabkan karena akses terhadap informasi pasar di kalangan petani kita amat lemah. Di India, pemerintah menggerakan perubahan di kalangan petani dengan membawa internet ke desa-desa. Masyarakat petani mendapatkan informasi pasar.
Kelemahan lain dari ekonomi lokal kita di sini adalah struktur kepemilikan tanah yang timpang. Kendati kita berhasil mencipta strategi pemasaran, diferensiasi yang tepat, dan brand image yang bagus dan kuat, tetapi investor tidak akan berani mengambil risiko untuk melakukan investasi di bidang agrobisnis di tengah ketidakpastian atas penguasaan tanah. Investasi membutuhkan lahan yang luas dan kepastian hak atas tanah, karena investasi membutukan konsensi yang lebih lama.
Makalah Dra. Imaculata Fatima, MMA menggambarkan sisi lain dari karakter petani kita, yakni pertanian yang tidak sustainable. Pertanian yang tidak selaras alam menyebabkan lingkungan hidup menjadi rusak. Studi Imaculata Fatima menyebutkan beberapa faktor yang mendorong masyarakat melakukan eksploitasi pemanfaatan hutan secara tidak seimbang yakni (1) nilai pemanfaatan; (2) tingginya ketergantungan masyarakat terhadap sumber daya hutan; (3) rendahnya sumber daya manusia masyarakat; (4) lemahnya sosialisasi; (5) berkurangnya peran lembaga adat; (6) lemahnya peran masyarakat dalam pembuatan kebijakan pemerintah.
Saya melihat ada dua masalah dasar di sini, pertama, adalah persoalan lapar tanah (land hunger). Kalau kita melihat masalah pembabatan hutan di Flores dan Lembata, sebagian besar dipicu oleh situasi lapar tanah. Tingkat pertambahan penduduk yang tinggi telah mempersempit tata ruang pemukiman dan pertanian. Sempitnya lahan pertanian menyebabkan masyarakat dengan segala dalih melakukan pembabatan hutan. Jadi, akarnya adalah kemiskinan di kalangan petani kita. Situasi bertambah para ketika pemerintah tidak bersikap tegas dan mengambil tindakan represif. Hal itu akan menjadi rentan dengan sistem pemilihan langsung kepala daerah. Tindakan represif untuk menghentikan pembabatan hutan dianggap tidak pro-rakyat dan tidak popular. Hal ini jelas akan menjadi momok bagi penguasa karena takut kehilangan simpatik masyarakat.
Kedua, peran lembaga adat yang memudar. Ini sebenarnya dampak dari sekularisasi di mana manusia memiliki otonomi untuk mengekspolitasi alam. Pandangan mitis-magis terhadap hutan sudah hilang dan masyarakat kita lebih melihat hutan dari sisi sumber daya ekonomai yang mesti dieksploitasi. Di dalam sejarah agama-agama, teologi juga memberikan kontribusi terhadap kerusakan hutan. Dominasi manusia terhadap alam berakar dalam spiritualitas yang tidak seimbang terhadap alam di mana manusia mengasingkan kesucian dari dunia, menyangkal makna terakhir dari dunia material dan jasmaniah. Yang dipentingkan di sini adalah keselamatan jiwa manusia. Manusia berada dalam dunia dan sedang berjalan ke dunia yang abadi. Dalam konsep ini dunia seolah-olah tidak memiliki tujuan akhir dan manusia yang menganggap dirinya begitu istimewa seakan tidak masuk dalam proses-proses inheren dalam dunia adikodrati.
Di tengah muncul keprihatinan-keprihatinan ekologis, muncul kesadaran baru untuk melihat dan merefleksikan kembali tentang prinsip-prinsip teologis tentang ciptaan baru, sehingga dapat mengartikulasikan situasi pluralisme gerakan spiritualitas yang berpusat pada bumi (earth centred spiritualities).
Last but not the least, makalah Rafael Octavianus Byre, SE memberikan kita kerangka dan agenda kerja dengan memperhitungkan lingkungan bisnis. Perkiraan pertumbuhan ekonomi makro dapat memberikan arah ke mana pergerakan ekonomi ke depan. Hal-hal seperti inilah yang diperlukan oleh masyarakat. Menurut saya, di sinilah sumbangan perguruan tinggi kepada masyarakat lokal, yakni kaum intelektual ikut memecahkan persoalan masyarakat. Bagaimana dengan akumulasi pengetahuan yang dimiliki kaum intelektual kampus memberi kontribusi kepada kemajuan masyarakat. Telaahan dampak perkembangan ekonomi global dan nasional terhadap ekonomi lokal adalah kontribusi terbesar kaum intelektual.
Diskusi kita pada hari adalah bagian dari usaha dan pencarian kita untuk memberikan arah perkembangan ekonomi lokal. Ikhtiar ini tidak akan berhenti dan kita mendapatkan momentum dan forum yang tepat melalui Jurnal Ilmiah.

Disampaikan dalam diskusi panel di aula Universitas Flores di Ende, 20 Desember 2005

Tidak ada komentar: