09 Juli 2007

Moralitas dan Kepemimpinan

Oleh FRANS OBON

Salah satu unsur terpenting dalam kepemimpinan adalah moralitas. Seringkali orang mereduksi moralitas pada moralitas seksual belaka. Padahal moralitas itu mengandung pengertian yang lebih luas. Moralitas pertama-tama mengandung arti kemampuan untuk membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Ini berarti kalau pemimpin mengambil sebuah keputusan tentang kehidupan banyak orang, dia harus memperhitungkan baik dan buruknya. Jika keputusan itu membawa kebaikan bagi banyak orang, maka secara otomatis kebijakan yang diambil itu tidak bertentangan dengan moral. Sebaliknya jika keputusan itu merugikan banyak orang, berarti pemimpin dalam mengambil satu keputusan kurang memperhatikan aspek-aspek moral.
Secara alamiah, tiap manusia pasti bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Manusia bisa memberikan penilaian moral terhadap segala tindakannya. Minimal dalam melakukan sebuah tindakan, manusia memperhitungkan aspek moralnya, aspek baik dan buruknya.
Memperhatikan aspek moral, bagi seorang pemimpin adalah sebuah keharusan. Karena pemimpin akan berhadapan denga berbagai persoalan dan akan memutuskan sebuah kebijakan umum yang menyangkut kepentingan banyak orang. Di sini seorang pemimpin dituntut memberikan pertanggungjawaban atas seluruh keputusan yang diambilnya. Tanggung jawab untuk memajukan kebaikan bersama.
Aspek dasariah yang menyentuh inti moralitas adalah penghargaan dan penghormatan terhadap pribadi manusia. Seorang pemimpin harus bertindak dalam tataran penghormatan terhadap pribadi manusia sebab hal itu merupakan hak dasariah atau hak asasi. Seorang pemimpin tidak bisa menginjak-injak harkat dan martabat peribadi manusia. Dengan dasar ini, seorang pemimpin akan bertindak melindungi harkat dan martabat manusia. Dengan kata lain, dalam setiap keputusannya pemimpin dituntut memperhatikan harkat dan pribadi manusia. Dia tidak bisa menggunakan kekuasan dan kewenangannya dengan cara merendahkan martabat dan harkat pribadi manusia. Sehingga dengan demikian pula setiap pemimpin perlu menghormati hak pribadi manusia.
Implementasi lebih luas dari prinsip ini adalah pemimpin harus menghargai hak milik pribadi manusia. Dalam kehidupan bernegara misalnya, pemimpin tidak bisa mengambil begitu saja tanah milik warga negaranya tanpa ada ganti rugi. Jika diambil tanpa ganti rugi, berarti pemerintah atau pemimpin tidak menghargai milik pribadi warganya. Sehingga pemimpin tersebut melanggar keadilan. Dengan demikian pula dia melawan moralitas kehidupan bersama sebagai masyarakat.

Tiang Moral Masyarakat

Dalam konteks kenegaraan, misalnya pemimpin mendapatkan mandat dari warga negara untuk memerintah atas nama rakyat. Dalam pemerintahan demokrasi, mandat itu diberikan oleh rakyat melalui pemilihan umum. Seorang pemimpin yang terpilih secara demokratis melalui pemilihan umum yang demokratis juga tidak saja legitim secara yuridis, tetapi juga legitim secara moral. Maka menjadi kewajibannya untuk mengemban amanat yang telah diberikan oleh rakyat kepadanya dalam bingkai yuridis dan moralitas.
Dalam menjalankan wewenang dan mandat yang diberikan rakyat ini, seorang pemimpin tidak bisa bertindak sewenang-wenang. Dia harus bertindak berdasarkan aturan dan perundang-undangan yang disepakati melalui proses demokratis.
Di dalam negara modern yang demokratis, wakil-wakil rakyat dipilih melalui pemilihan umum demokratis. Wakil rakyat ini akan bertindak atas nama rakyat untuk menyusun dan mengesahkan undang-undang yang mengatur jalannya pemerintahan dan cara menggunakan kekuasaan. Dalam menyusun peraturan, wakil-wakil rakyat harus memperhatikan aspek kepentingan umum. Sehingga penggunaan kekuasaan oleh seorang pemimpin berjalan dalam koridor kepentingan umum. Penyalahgunaan kekuasaan di luar perundang-undangan yang telah disepakati wakil-wakil rakyat tidak saja salah secara yuridis melainkan juga secara moral. Misalnya seorang pemimpin melakukan korupsi. Korupsi tidak saja salah secara yuridis yang menyebabkan seorang pemimpin dibawa ke pengadilan, melainkan secara moral dia dipersalahkan karena melukai kepentingan bersama.
Kesejahteraan umum masyarakat di sini, juga kita dapat mengerti sebagai kepentingan publik. Kasus korupsi, misalnya, sangat terkait erat dengan kepentingan umum. Korupsi dalam hal tertentu adalah mencaplok kepentingan publik demi diri sendiri. Hal ini terkait erat dengan moralitas suatu masyarakat. Jika masyarakat menganggap bahwa korupsi itu sesuatu yang lumrah, maka secara intrisik nilai-nilai dalam masyarakat itu sudah hancur.
Karena itu di sinilah pentingnya peranan seorang pemimpin untuk menjadi tiang moral bagi masyarakatnya. Semua orang melihat pemimpinnya. Sehingga pepatah mengatakan “ikan busuk mulai dari kepala”. Kalau pemimpinnya korup, maka dia memberikan contoh buruk kepada masyarakatnya. Karena salah satu tugas pemimpin adalah mengawasi, maka bagaimana dia bisa memberikan pengawasan bila dia sendiri menyalahgunakan kekuasannya untuk kepentingan dirinya sendiri? Jadi, tanggung jawab pemimpin untuk menegakkan moralitas masyarakat agar masyarakat berjalan ke arah yang benar berdasarkan nilai-nilai universal.

Hati Nurani

Hati nurani dapat dipandang sebagai “sanggar suci”, inti terdalam pribadi manusia. Orang yang hatinya jujur akan tercermin dalam tingkah lakunya. Tingkah laku yang buruk secara moral menunjukkan hati nuraninya juga buruk. Setiap manusia memiliki hati nurani tempat di mana tiap kita bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk secara moral.
Tetapi hati nurani yang jujur akan sangat membantu seorang pemimpin dalam mengambil keputusannya. Dalam kasus kenaikan tunjangan komunikasi intensif anggota Dewan, misalnya. Secara yuridis, Dewan bisa saja bertindak mengikuti Peraturan Pemerintah (PP) No. 37/2006. Mereka tidak dapat dipersalahkan secara yuridis karena mereka mengambil keputusan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada.
Namun dari segi kepantasan dan kepatutan atau secara moral, dapatkah anggota Dewan menaikkan tunjangan komunikasi intesif mereka di tengah kemiskinan masyarakatnya? Sehingga protes masyarakat terhadap PP 37/2006 itu adalah tuntutan agar anggota Dewan peka terhadap situasi kemiskinan masyarakatnya. Di sini anggota Dewan dituntut untuk merasakan apa yang dirasakan oleh rakyat, menangkap denyut nafas rakyat.
Hanya dalam perspektif itulah, Dewan bisa mengubah keinginannya untuk terus menerus menambah pendapatannya, secara legal sekalipun. Hanya dengan kepekaan hati nurani untuk merasakan getaran kehidupan masyarakat sekitarnya, yang juga tidak lain adalah pemilih mereka, yang bisa mengubah pendirian, keinginan, hasrat untuk tetap mempertahankan kenaikan tunjangan komunikasi intensif yang melangit itu. Kita tahu politik membutuhkan uang, tetapi bukankah politik juga perlu memperhatikan etika?
Seluruh kerangka tindak dan kerangka berpikir pemimpin perlu memperhatikan aspek moralitas. Mengacu hanya pada aspek yuridis saja, akan membuat seorang pemimpin akan memimpin tanpa nurani, tanpa etika. Menjalankan kekuasaan tanpa memperhatikan moralitas, akan membuat seorang pemimpin melanggar asas kepatutan dan kepantasan.

Tidak ada komentar: