Oleh FRANS OBON
Dramatisasi jalan salib Jumat Agung, 6 April 2007 yang mudika Katolik lakukan di Paroki Onekore, Keuskupan Agung Ende telah menggugah hati umat yang hadir. Jalan salib “hidup” ini dimulai di pendopo SMA Syuradikara dan berakhir di depan gereja Paroki Onekore. Tidak sedikit umat meneteskan air mata terutama ketika O Vos dalam bahasa Lio membuka dan menutup acara ini.
Dramatisasi jalan salib oleh mudika ini memberikan kita inspirasi untuk membuat satu komparasi, sekaligus aktualitas dari peristiwa salib dua ribuan tahun lalu dengan kehidupan riil politik kita sekarang dan ke depan.
Refleksi Gereja Lokal
Pada tahun 1999, Konferensi Wali Gereja Nusa Tenggara menggelar pertemuan pastoral ke-5 tanggal 22-27 Agustus di Ruteng untuk merefleksikan perubahan situasi politik di Indonesia. Dan implisit bagaimana respon Gereja Katolik Nusa Tenggara terhadap perubahan iklim politik ini. Wali Gereja Nusra tentu saja ingin menarik benang merah dan memberi arah perubahan itu pada konteks lokal Nusra. Rekomendasi pertemuan itu mengajak umat Katolik melakukan pertobatan sosial dan menata kembali struktur-struktur yang menindas dalam masyarakat demi masa depan bersama yang lebih adil, manusiawi, tulus dan jernih hati.
Refleksi ini menunjukkan bahwa Gereja Katolik sebagai institusi keagamaan terpenting di wilayah ini ingin memberikan kontribusi bagi penataan ke depan, sekaligus menekankan kembali moralitas dan nilai-nilai kekristenan yang bisa menjadi bingkai perubahan di wilayah Nusa Tenggara, terutama di wilayah Flores dan Lembata.
Dari sekian presentasi dan refleksi pada pertemuan ini, yang dianggap relevan dengan tulisan ini adalah artikel Pater Guido Tisera, SVD. Dosen Kitab Suci Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero ini membuat satu komparasi situasi sosio-politik, sosio-religius, sosio-budaya dan sosio-ekonomi antara Palestina abad pertama atau situasi pada masa Yesus dan situasi politik pasca kekuasaan orde baru Soeharto. Ini berarti refleksi Gereja Katolik mengenai iklim perubahan politik di Indonesia berinspirasi pada Sabda Allah dan dengan bantuannya umat Katolik dapat membaca tanda-tanda zaman.
Dalam artikelnya “Inspirasi Sabda Allah dan Pastoral di Zaman yang Berubah,” (John M Prior dan Amatus Woi (ed), Membaca Tanda Zaman pada Akhir Sebuah Zaman, Maumere: Puslit Candraditya, hlm 111-139), Guido menyebutkan bahwa gerakan keagaman Yesus adalah sebuah gerakan alternatif.
Secara sosio-politis dan sosio-religius, Palestina di masa Yesus memikul beban ganda. Penjajah Roma yang dipersepsi sebagai bangsa kafir dan elite Yahudi loyalis kaum penjajah menarik keuntungan ekonomi politik. Penguasa-penguasa setempat menjadi pelaksana setia kekuasaan Roma. Ingatlah kata-kata loyalis kaum penjajah saat drama penyaliban Yesus, “Kalau engkau tidak menghukum dia, berarti engkau bukan sahabat Kaisar”. Menolak, sama artinya menentang kekuasaan Roma.
Secara ekonomis juga demikian, terjadi eksploitasi. Masyarakat lokal terpinggirkan, terutama kaum petani kecil pedesaan. Perkenalan dengan sistem ekonomi modern oleh Alexander Agung dengan membuka rute perdagangan Timur dan Barat telah memaksa rakyat sederhana Palestina untuk menghadapi situasi ekonomi global berwatak kapitalis dalam ciri tradisionalnya. Muncul elite ekonomi baru. Rakyat pedesaan yang bersandar pada tanah pertanian mengalami kekalahan. Tanah-tanah mereka dijual dan digadaikan kepada orang berduit, sehingga rakyat menjadi orang asing di tanah sendiri.
Dari sudut sosio-budaya juga, terjadi karut marut dan guncangan. Pertemuan budaya religius Palestina dan budaya helenisme Yunani menggoyahkan sendi-sendi sosio-religius masyarakat sederhana dan menimbulkan anomali di dalam masyarakat.
Agama Yahudi sendiri tak mampu memberi respon pada perbenturan dengan budaya helenisme ini. Sebab agama telah jatuh pada formalisme hukum-hukum yang mengikat dan menjadi kuk yang dipasang pada manusia atau hukum tidak lagi untuk manusia, tetapi manusia untuk hukum. Agama tidak lagi menjadi sumber inspirasi menjawab tantangan dan tanda-tanda zaman, sebab agama lebih menekankan aturan-aturan formal, bukan pada spiritualitas yang membebaskan.
Memberikan Alternatif
Menjawabi situasi serba kompleks ini, ada banyak gerakan alternatif yang dijanjikan kepada masyarakat. Kelompok para imam, bangsawan, dan Saduki memberikan solusi. Tetapi kerja sama yang erat dengan kekuasaan Roma dan menjadi loyalis kekuasaan pusat di Roma menjadikan mereka jauh dari massa rakyat. Kelompok Farisi menentang penjajah, tetapi pada akhirnya juga bersikap kompromistis dan agama sekali lagi tidak memberikan inspirasi yang membebaskan, melainkan jatuh pada formalisme hukum. Kelompok Zelot adalah kelompok pemberontak bersenjata menentang kekuasaan Roma. Barabas yang diminta dibebaskan berasal dari kelompok ini. Karena pemberontakan bersenjata ini, pada tahun 70 masehi Roma menghancurkan bait Allah Yesusalem, simbol kebanggaan keagamaan Yahudi.
Di tengah karut marut politik dan segmentasi masyarakat seperti ini, Yesus muncul dengan kelompok kecil orang-orang terpilih dari massa rakyat biasa. Gerakan Yesus memberikan satu alternatif yang membebaskan.
Ciri khas gerakan alteranatif Yesus adalah pertama, mulai dari pinggir. Yesus berjalan dari desa ke desa memberitakan kabar baik. Gerakan Yesus menyentuh massa akar rumput. Jadi, Yesus memulai gerakannya dari pinggir ke pusat kekuasaan di Yerusalem. Dengan demikian gerakannya merupakan gerakan terbuka. Siapa saja, asalkan hatinya terbuka pada rencana keselamatan Allah.
Kedua, Yesus tidak memberikan janji-janji muluk, tetapi menjawabi kebutuhan riil masyarakatnya. Orang buta melihat, orang tuli mendengar, orang lumpuh berjalan. Yesus peduli dengan apa yang terjadi dengan massa rakyat. Di sini amat jelas keberpihakan Yesus dan solidaritasnya dengan orang-orang sederhana, yang menderita, dan yang terbuang dan terpinggirkan.
Karut marut politik dan segmentasi masyarakat yang tajam serta guncangan budaya helenisme yang “mencemari” tradisi dan kultur religius Yahudi direspon Yesus dan kelompok kecil ini dengan memberikan pembaruan cara keberagamaan dan membangun kecerdasan sosial di ruang publik. Yesus membarui cara penghayatan agama dan menekankan spiritualitas pembebasan. Solidaritas menjadi modal sosial dalam menghadapi globalisasi ekonomi dan penindasan politik.
Inkarnasi Yesus ke dalam kelompok tertindas seperti ini dan mencoba melihat fakta sosial dari sisi korban dipandang membahayakan stabilitas politik keamanan nasional Palestina dan stabilitas sosial. Dengan demikian, konfrontasi pendekatan dalam memberikan solusi atas persoalan masyarakat berakibat pada penilaian yang keliru pada gerakan keagamaan Yesus. Politik kekuasaan yang bertumpu pada dukungan massa akan selalu merasa cemas kehilangan legitimasi jika terjadi kemerosotan dukungan massa. Karena hal itu akan membahayakan stabilitas kekuasaan. Kelompok-kelompok loyalis di Yerusalem cemas dengan makin besarnya pengaruh spiritualitas politik dari gerakan Yesus.
Pilkada
Pengolahan politik kaum loyalis penjajah Roma di Yesusalem hampir memiliki kesamaan dengan pengolahan politik kita pasca kejatuhan orde baru Soeharto. Meminjam istilah Clifford Geertz mengenai negara teater, pengolahan politik kita terutama pada masa pemilihan langsung memperlihatkan ciri teaterikal.
Permainan di ranah persepsi publik menjadi begitu dominan dalam pengolahan politik kita. Akibatnya para politisi kita sibuk memperbaiki citra, membentuk citra dan menebar pesona seolah-olah politisi kita peduli dengan penderitaan rakyat. Pemimpin kita di sini kelihatannya ikut menderita bersama korban bencana, tetapi sesungguhnya mereka ingin mencuri persepsi publik untuk mendapatkan dukungan politik kekuasaan. Politik menggunakan teknik-teknik dagang dengan mempermainkan persepsi publik melalui tindakan dan kata-kata. Tetapi politisi kita gagal menyelesaikan masalah rakyat.
Gema refleksi Gereja lokal di Ruteng sebagaimana diungkapkan pada awal tulisan ini terlalu kecil untuk hiruk pikuk politik lokal di Flores dan Lembata. Politisi-politisi lokal di wilayah ini tergerus oleh arus politik nasional dan semangat konsumerisme yang menjadi ciri ekonomi kapitalis. Semangat konsumerisme sudah masuk ke dalam ruang politik. Sehingga politik tidak lagi memiliki nilai-nilai idealnya sebagai penopang berpolitik. Moralitas sebagai penyanggah utama berpolitik kehilangan daya pikatnya oleh begitu dalamnya konsumerisme masuk dalam ruang publik politik kita.
Moralitas di ruang publik tentu saja beragam. Dan kita pun bisa berdalih dengan cara ini. Yang kita lihat sekarang adalah eros politik jauh lebih kuat daripada spiritualitas politik. Flores dan Lembata justru jatuh pada eros politik tak terkendali sehingga kehilangan identitas kulturalnya sekarang ini.
Kita tidak ingin menafikan pencitraan politik, sebab politik sebagai taktik dan strategi menggunakan segala kemungkinan untuk mendapatkan kekuasaan memerlukan pencitraan demi mendulang dukungan massa. Tetapi teater politik lokal kita ke depan mempromosikan jalan salib sebagai ciri khas yang membedakan politik lokal kita dengan daerah lainnya.
Seperti dalam manajemen penjualan yang mengandalkan positioning, segmentasi, dan diferensiasi, kita pun bisa mempromosikan politik jalan salib sebagai diferensiasi dalam politik lokal kita. Yesus mentransformasikan salib yang merupakan tanda penghinaan menjadi sumber keselamatan. Dalam cara yang sama, kita pun bisa menjadikan jalan salib sebagai sumber moralitas dalam berpolitik.
Jalan salib adalah jalan penyangkalan diri, politik pengosongan diri, dan politik abstinensi dari kerakusan. Jalan salib merupakan inspirasi untuk mengingkari diri sendiri, mematikan kepentingan diri demi kepentingan orang lain. Jalan salib sebagai sumber inspirasi dari diferensiasi politik lokal kita hendaknya tercermin dalam pilkada ke depan. Kita menjadikannya sebagai alternatif politik dan sebagai cara memerangi korupsi.
Memang tidak mudah di saat kebebasan dan kejayaan individu ditempatkan sebagai nilai tertinggi. Sebab dengan itu pula kita sering tergelincir dan mencoba mengeluarkan Allah dari ruang publik kehidupan politik kita. Kita tidak lagi memperhatikan moralitas politik di mana Allah berseru di dalam ruang batin kita.
Dengan ini menjadi jelas bahwa kita memerlukan figur politik yang berani menyangkal dirinya, solider dengan the crucified people dan berani memberikan kita alternatif-alternatif. Tidak cukup kita memiliki pemimpin yang bertindak sebagai administrator yang baik, tetapi kita lebih membutuhkan pemimpin yang menawarkan alternatif yang membebaskan. Jika jalan salib menjadi inspirasi dan inti dari tiap pilkada kita, kita akan menemukan kembali identitas kultur politik kita. Jalan salib sebagai diferensiasi politik akan memberikan kita investasi politik jangka panjang dalam skala politik regional Flores dan Lembata.
Artikel ini dimuat di Flores Pos, 23 April 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar