14 Juni 2011

Impossible Tidak Jadi Makelar

Kalangan akademisi mengkritik anggota DPRD Sikka karena terlibat dalam penggunaan dana bantuan sosial. Anggota DPRD diminta jangan jadi makelar. Tapi dari berbagai pengalaman, tidaklah mungkin praktik makelar ini hilang dari praktik politik lokal.


Oleh FRANS OBON

DOSEN Fakultas Hukum Universitas Surabaya Marianus Gaharpung menohok langsung ke DPRD Sikka dengan kata-kata pedas: DPRD Jangan Jadi Makelar Dana Bansos (Flores Pos edisi 3 Juni 2011). Kritikan itu dialamatkan ke DPRD Sikka ketika beberapa anggota DPRD Sikka terlibat dalam masalah dana bantuan sosial (bansos) di lingkungan Sekretariat Daerah (Setda) Kabupaten Sikka.

DPRD Sikka telah membentuk panitia khusus (pansus) untuk menelusuri penggunaan dana bansos ini. Kejaksaan Negeri Maumere juga tanggap dan melakukan pengumpulan data dan keterangan. Bupati Sikka Sosimus Mitang juga mendorong masalah ini diproses hukum untuk mengetahui siapa yang akan bertanggung jawab. 
Dengan dipanggil dan diperiksanya keempat anggota DPRD Sikka oleh Tim Pansus Bansos DPRD Sikka sungguh mengecewakan karena ternyata masih saja ada anggota Dewan berperilaku kayak makelar. Kalau dalam bisnis seorang makelar mendapat komisi, tapi oknum-oknum anggota Dewan akan mendapat ‘deposit’ suara untuk pemilu yang akan datang agar suara masyarakat yang dibantu tetap memilih anggota Dewan yang bersangakutan. Ini cara-cara yang licik dan tidak mendewasakan masyarakat,” kritik Gaharpung.

Beberapa anggota Dewan yang terlibat dalam kasus dana bansos ini sudah menjelaskan posisinya atau telah memberikan klarifikasi kepada Pansus bahwa memang dana-dana bansos ini yang mereka minta dari pemerintah dipergunakan untuk kepentingan masyarakat.

Kasus dana bantuan sosial di Sikka hampir pasti terjadi juga di berbagai kabupaten di Flores. Sebab dana bansos adalah dana yang “any time” bisa digunakan oleh elite eksekutif untuk membantu masyarakat tapi dengan efek politik. Artinya dana ini dipakai kapan saja untuk membantu masyarakat yang mengajukan proposal kepada pemerintah. Penggunaannya tergantung pada kebijakan elite eksekutif terutama bupati dan wakil bupati. Efek politiknya sama jika juga dilakukan oleh anggota DPRD.

Dari masalah dana bansos di Sikka, sebenarnya kita mendapatkan gambaran yang jelas bahwa tali temali di lingkaran elite eksekutif dan legislatif sudah terikat kuat untuk menjamin kepentingan masing-masing. Tujuan tetap sama seperti yang dikatakan Marianus Gaharpung sebagai “deposit” politik.

Masyarakat tahu bahwa Dewan punya pengaruh kuat terhadap eksekutif. Dengan dalih “penyambung aspirasi rakyat” Dewan berperan “menjembatani” keinginan masyarakat itu kepada ekskutif. Dengan alasan hak anggaran Dewan, maka aspirasi rakyat tadi itu mau tidak mau diiyakan oleh eksekutif. Keuntungannya adalah bahwa Dewan akan memuluskan “pembengkakan” anggaran dana bantuan sosial ini, sebab nanti dana itu bisa dipakai untuk menunjukkan bahwa politik mendatangkan dan menciptakan sosok politisi yang dermawan. Politik dengan cara membeli (politics by purchasing) memang seperti ini.

Di sini baik eksekutif maupun politisi memiliki deposit bagi masa depan kepentingan politik mereka. Politik dengan cara membeli inilah yang membuat politik makelar menjadi sesuatu yang impossible dihilangkan. Politisi memerlukan deposit dana politik untuk kampanye dan menjamin masa depannya selepas dari politik.

Hal kedua terkait dengan klaim dan legitimasi. Dewan memerlukan legitimasi dan klaim bagi kampanye politik pemilu berikutnya. Eksekutif sebagai pengelola anggaran jauh lebih kuat legitimasi dan klaimnya kepada rakyat ketimbang Dewan. Apalagi kalau anggota Dewan punya keinginan untuk berkompetisi di dalam merebut bupati dan wakil bupati. Dia memerlukan legitimasi dan klaim yang bisa dijual untuk merebut hati rakyat. Jadi, jika politics by purchasing masih tetap dipraktikkan, menghilangkan praktik makelar menjadi sesuatu yang mustahil (impossible).

Bentara, 4 Juni 2011

Tidak ada komentar: