15 Oktober 2009

Iman yang Dewasa

Oleh Frans Obon

Di halaman tengah Gereja Paroki Onekore, Keuskupan Agung Ende, Flores, terpampang tema perayaan 50 tahun paroki tersebut” Iman yang Dewasa”, yang difokuskan pada model iman yang membebaskan dan memberdayakan. Senin 21 September lalu, Uskup Agung Ende Mgr Vincent Sensi Potokota memimpin perayaan ekaristi pesta emas tersebut.

Umat menyanyi, menari, dan makan bersama di halaman gereja setelah perayaan. Tiap lingkungan menyiapkan sendiri makanannya. Hal ini sesuai dengan rencana awal dan kebijakan Keuskupan Agung Ende untuk menyederhanakan pesta-pesta di Flores. Dalam pertemuan pastoral di Mataloko, Kabupaten Ngada dua tahun lalu diputuskan bahwa pesta-pesta yang berkaitan dengan kehidupan Gereja disederhanakan. Hal yang sama diharapkan berlaku untuk pesta-pesta budaya dan berbagai pesta lainnya dalam kehidupan masyarakat Flores, yang biasanya memakan banyak ongkos.

Tema iman yang dewasa, iman yang membebaskan dan memberdayakan memang telah lama menjadi komitmen Gereja Katolik Flores. Seingat saya Uskup Sensi pernah menekankan perlunya kedewasaan dalam kehidupan menggereja di Flores pada saat pencanangan musyawarah pastoral di Katedral Ende beberapa waktu lalu. Kedewasaan iman bisa saja ditafsir dari berbagai sudut pandang. Namun bila ditarik benang merahnya dengan pernyataan Uskup Sensi bahwa “iman tanpa perbuatan adalah bohong belaka” yang disampaikannya pada pesta 50 tahun Gereja Onekore, maka sesungguhnya pernyataan itu menunjukkan perlunya umat Katolik secara serius mewujudkan nilai-nilai injili di dalam praksis kehidupannya.

Strategi pastoral Keuskupan Agung Ende sebagaimana tertuang dalam agenda-agenda musyawarah pastoral menekankan praksis komunitas umat basis yang membebaskan dan memberdayakan. Komunitas basis dalam pengertian ini tidak saja menjadi tempat memperlancar kegiatan liturgis gereja sehingga perayaan dirayakan sedemikian meriahnya, melainkan sebuah pendekatan pastoral yang terfokus pada gerakan-gerakan sosial yang membebaskan umat dari belenggu-belenggu. Strategi pastoral yang mengutamakan inisiatif dan prakarsa-prakarsa untuk secara bersama membangun sebuah kehidupan bersama yang lebib baik. Ada usaha untuk memperbarui kehidupan sosial baik secara ekonomis, budaya, maupun politis.

Dalam konteks seperti ini sangatlah ditekankan dibangunnya kebersamaan. Komunitas basis tidak hanya memberi tempat pada kesalehan pribadi melainkan kesalehan sosial. Iman yang peka terhadap kehidupan sekitarnya. Peka terhadap masalah-masalah sosial. Peka terhadap isu-isu politik. Peka terhadap masalah sosial. Kepekaan itu harus disertai dengan munculnya prakarsa dan komitmen untuk terlibat di dalamnya dan aktif mencari solusi. Iman yang peka adalah iman yang merasakan apa yang dirasakan oleh gereja (sentire cum ecclesiae), apa yang menjadi keprhatinan Gereja, dan apa yang menjadi kepentingan umum demi kebaikan manusia. Sebab bagaimanapun gloria Dei, vivens homo.

Karena itu kemeriahan ibadah seperti yang terjadi pada perayaan liturgis Gereja Katolik Flores harus pula dibarengi lahirnya komitmen sosial di dalam masyarakat. Perayaan ekaristi harus bisa membangkitkan semangat untuk semakin terlibat di dalam gerakan sosial untuk membarui masyarakat.

Sebab itu konsep komunitas umat basis sebagai lokus gerakan pembebasan menuntut adanya perubahan mendasar dalam pola kehidupan menggereja. Kesalehan pribadi harus disertai dengan kesalehan sosial. Kesalehan sosial tidak lain adalah sebuah tindakan nyata sebagaimana ditunjukkan orang Samaria di dalam Injil yang membantu sesamanya yang menderita. Kesalehan sosial dipupuk melalui komitmen dan keterlibatan dalam memecahkan masalah bersama agar kehidupan manusia makin sempurna.


Karena itu kemeriahan ibadah seperti yang terjadi pada perayaan liturgis Gereja Katolik Flores harus pula dibarengi lahirnya komitmen sosial di dalam masyarakat.



Keterlibatan sosial ini harus passing over dalam semangatnya. Semangat beralih dari sibuk dengan diri sendiri ke sibuk dengan urusan bersama. Sehingga iman tidak semata-mata soal urusan pribadi dengan Allah tetapi dilihat secara horisontal, dalam hubungannya dengan sesama. Semangat passing over inilah yang mengharuskan orang Katolik membuka tangan dan hatinya kepada semua orang dari berbagai agama, etnis, dan budaya. Gereja sendiri telah menjadi contoh bagaimana pluralisme di dalam suku dan budaya menjadi kekayaan yang luar biasa untuk saling memperkaya satu sama lain.

Pluralisme tidak saja dalam konteks asal, melainkan dalam konteks pandangan dan pilihan politik. Dari apa yang saya lihat di beberapa kesempatan pandangan dan pilihan politik telah memisahkan dan menghancurkan semangat solidaritas. Dalam hal-hal yang krusial, perhitungan kepentingan politik menyumbangkan bagian terbesar pada sikap meremehkan kepentingan umum.

Sebenarnya gagasan-gagasan kemandirian di dalam kehidupan Gereja telah lama menjadi pokok perhatian Gereja Katolik Flores. Seluruh reksa pastoral yang dirancang oleh misi Gereja Katolik baik dalam bidang ekonomi, budaya, dan politik diarahkan menuju kemandirian umat. Membangun Gereja Katolik yang mengakar dalam kehidupan umat. Secara teologis, inkarnasi adalah dimensi terdalam dari berakarnya iman dalam kehidupan umat. Mengakar tidak saja dalam hal secara numerik banyak yang menganut iman Katolik, melainkan bagaimana iman mengarahkan seluruh kehidupan.

Di tengah banyak keraguan, apakah sebuah daerah misi yang usianya masih muda bisa dihasilkan calon imam untuk memenuhi kebutuhan tenaga pastoral gereja, didirikanlah seminari pertama di Lela, Kabupaten Sikka, yang kemudian dipindahkan ke Mataloko. Seminari pertama didirikan setelah Serikat Sabda Allah hadir di Flores sepuluh tahun lebih. Apa yang kita saksikan sekarang yakni hampir tiga ratusan misionaris dari Flores dan Timor bekerja di berbagai negara. Fakta ini menunjukkan bahwa tidak ada yang mustahil atau tidak ada yang terlalu sulit untuk mewujudkan sebuah mimpi besar.

Ketika pemerintah mengambil kebijakan membatasi bantuan tenaga dan dana asing untuk pembangunan keagamaan di Indonesia, Gereja Katolik mengembangkan konsep gereja yang mandiri. Kemandirian gereja dalam beberapa hal seperti tenaga sebagiannya sudah dipenuhi. Yang masih sulit adalah kemandirian finansial. Gereja belum sepenuhnya bisa membiayai dirinya sendiri dengan dana dari umat. Meski kita dapat berharap bahwa hal ini pun akan terpenuhi sejalan dengan kemajuan ekonomi umat dan makin tertibnya pengeluaran ekonomi rumah tangga untuk hal-hal yang produktif.

Di beberapa tempat konsep kemandirian ini memang membawa efek yang positif bagi kehidupan gereja di mana umat Katolik merasa bertanggung jawab terhadap kehidupan gereja. Gereja tidak lagi dimengerti sebagai urusan hirarki gereja melainkan seluruh umat adalah Gereja sesuai dengan konsep menggereja dari Konsili Vatikan kedua. Tapi haruslah diakui bahwa di beberapa tempat konsep kemandirian gereja dalam hal finansial telah membawa gereja pada relasi yang tidak independen pada kekuasaan politik. Bantuan-bantuan pemerintah kepada gereja sering menyulitkan posisi hirarki gereja dalam hal-hal krusial. Jika semua orang belajar dari pengalaman-pengalaman ini dan berusaha membangun sistem finansial yang teratur baik dalam menggalang dana maupun pengelolaannya yang transparan, maka perlahan-perlahan secara finansial paroki-paroki akan bisa lebih mandiri dan membiayai dirinya sendiri.

Iman yang dewasa tidak lain adalah iman yang berakar dalam kehidupan. Iman yang diinspirasi oleh nilai-nilai Injili. Benih-benih Injil telah ada sejak tahun 1516 di Flores yang dimulai oleh imam-imam Dominikan, dilanjutkan oleh Serikat Jesus, hingga penyerahan misi Flores dan Timor ke Serikat Sabda Allah tahun 1913/1914. Secara numerik telah terjadi peningkatan jumlah sehingga disebutkan bahwa Flores memang “naturaliter christiana”. Tetapi pertumbuhan ini tidak berjalan sebanding dengan pertumbuhan dimensi etis keagamaan dalam praksis hidup. Dari respon terhadap politik, korupsi, lingkungan hidup, pertambangan, dan pengorbanan pada kepentingan umum, kita tahu bahwa iman kita belum dewasa.

Melbourne Oktober 2009

Tidak ada komentar: