04 Juni 2009

Agar Mereka Bicara

Koperasi memberi akses modal usaha bagi sebuah kelompok penjahit perempuan.

Oleh FRANS OBON


MATA Nyonya Tien Wignyanta berkaca-kaca. Santy Wignyanta berdiri di samping kanannya. Sedang di sisi kiri berdiri Mikhael H Jawa, Manajer Pusat Koperasi Kredit (Puskopdit) Bekatigade Ende, Ngada, dan Nagekeo. Berdiri setengah lingkaran Ketua Koperasi Kredit Bahtera Andreas Reku dan Manajer Koperasi Kredit Bahtera Ignas Tegu. Nyonya Tien terus berbicara menjelaskan awal usaha kelompok jahit Santy, yang mempekerjakan 16 orang perempuan.


Ranjith Hettiarachchi, Chief of Executive Officer dari Asosiasi Konfederasi Koperasi Kredit Asia (Association of Asian Confederation of Credit Unions/ACCU) Bangkok terus merekam gambar dengan handycam. Mikhael Jawa menerjemahkannya ke dalam bahasa Inggris.


“Gaji pensiun suami saya hanya tiga ratus ribu,” katanya. Suaminya Thom Wignyanta, selama hampir 30 tahun bekerja sebagai wartawan Dian dan Flores Pos, berbasis di Ende, Flores.

Sepeninggal suaminya, ia bersama anaknya Santy mau membuka usaha menjahit. Tapi dia tidak punya modal. Dia pun beruntung mendapatkan modal usahanya sebesar sepuluh juta rupiah dari Koperasi Kredit Bahtera. Tahun terakhir ini Koperasi Kredit Bahtera punya kekayaan 11,7 miliar lebih dengan pinjaman yang tengah beredar 9,8 miliar dan jumlah anggota tiga ribu lima ratus tujuh orang.

Usaha mereka membuahkan hasil. Awalnya hanya enam orang tenaga dan dua mesin jahit. Sekarang dengan mempekerjakan 16 orang perempuan, kelompok usaha jahit Santy ini sebulan punya omzet 15 juta hingga 16 juta rupiah. Di depan rumah mereka dipasang papan “Penjahit Santi”. “Tapi banyak juga yang belum ambil pakaian yang telah dijahit,” kata Santy kepada saya.

Di belakang tempat mereka menceritakan kisah usahanya, tergantung gaun-gaun pengantin yang indah, hasil jahitan tangan-tangan perempuan terampil ini. Sesewaktu pakaian pengantin tersebut disewapakaikan. Di dinding di depan mereka juga digantung pakaian pengantin pria dan perempuan. Ranjith bersama para manajer dan petugas lapangan dari koperasi kredit diajak ke tempat usaha jahitan di sebuah kamar yang penuh sesak dengan dua mesin jahit obres dan tujuh mesin jahit. Ini sebuah rumah tinggal. Sebuah kamar agak memanjang di sebelah timur dijadikan tempat usaha menjahit dengan pintu yang berbeda dengan pintu rumah utama.

Di pintu masuk ruangan jahit, sebuah spanduk bertuliskan CUMI Anggrek. CUMI adalah Credit Union Microfinance Inovation, sebuah program microfinance yang difokuskan membantu perempuan untuk mengembangkan usaha produktif. Program ini disebut WECUMI (Women Credit Union Microfinance Inovation).

Pada pagi hari, Rabu pekan lalu Ranjith Hettiarachchi memberikan pelatihan bagi para manajer dan petugas lapangan dari koperasi-koperasi kredit di bawah Pusat Koperasi Kredit Bekatigade Ende, Ngada, dan Nagekeo di aula Puskopdit. Ada 61 koperasi kredit tingkat primer berada di bawah naungan Puskopdit ini.

Ranjith bukan pertama kali datang ke Flores. Beberapa tahun lalu dia pernah ke Ende dan Maumere. Puskopdit menjalin kerja sama dengan ACCU Bangkok. Orang-orang dari Puskopdit pernah melakukan studi banding ke Bangkok, Bangladesh dan Filipina. Dengan jumlah anggota pada tahun 2009 sebanyak 47.855 orang tentu bukanlah sebuah tanggung jawab yang ringan bagi para pengurus. Bagaimana mereka menjaga agar kekayaan koperasi kredit yang pada tahun 2009 sebesar Rp203,4 miliar tetap terpelihara dengan baik dan memberikan keuntungan bagi para anggotanya.

Beberapa kali dalam rapat anggota tahunan koperasi kredit Wakil Ketua Induk Koperasi Kredit Theofilus Woghe minta para pengurus koperasi agar menjaga kepercayaan anggota. Modal utama dalam koperasi adalah menjaga kepercayaan anggota. Salah satunya adalah mengelola keuangan dengan jujur. Sekaligus bagaimana menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan anggota melalui pinjaman beredar sebesar 172miliar lebih pada periode 2009.

Saya bertemu dan wawancara Ranjith di Puskopdit. Dia mengatakan, krisis keuangan global di dunia telah mengajarkan kita bahwa kelompok usaha kecil dan menengah akan tetap survive dan mampu memberikan solusi karena usaha mereka melibatkan kelompok-kelompok masyarakat kecil. Meski demikian, krisis ini juga mengajarkan orang-orang koperasi kredit untuk mampu mengelola tantangan dan perubahan-perubahan di dalam gerakan koperasi.

Koperasi kredit, kata pria asal Srilangka ini, terus bertumbuh menjadi organisasi yang besar. Proses demokratisasi di dalam pemilih pengurus, di mana pengurus dipilih dari para anggota memberikan tantangan tersendiri. Pada awal gerakan koperasi kredit, tentu saja tidak diperlukan skill yang luar biasa karena hanya mengelola uang dari anggota yang jumlahnya tidak banyak. Tetapi ketika jumlah anggota terus meningkat, maka ada tantangan besar di depan mata. Karena itu bukan saja soal menegakkan rule of the game di dalam koperasi, tetapi ke depan adalah bagaimana membimbing pengurus.

“Ini memerlukan adanya latihan dengan training modul competence programme, melalui Chief Executive Competency Course, Credit Union Director Competence Course, kriteria anggota yang lebih baik, pengelolaan tabungan dan pinjaman (well create loan and saving program). Paling penting adalah bagaimana menolong anggota mengontrol sumber daya koperasi dan melayani anggota dengan lebih baik,” ujarnya.

Pada sesi pagi pertemuannya dengan 30 peserta dari koperasi kredit primer, dia bicara khusus mengenai program microfinance, sebuah program untuk menolong kaum perempuan.

Dia bilang, koperasi kredit awalnya dibangun untuk menolong orang-orang miskin dan sebuah inisiatif yang tumbuh dari kelompok akar rumput untuk menolong diri mereka. Tetapi lama kelamaan, koperasi kredit bertumbuh besar, menggunakan standar bank dalam pengelolaan keuangan dan kredit kepada anggotanya. Koperasi kredit punya counter, staf bisnis.

“Kita kehilangan konteks dari gerakan ini. Kita mau membawa kembali ke semangat awal yakni menolong orang miskin. Kembali ke akar yakni menolong orang miskin. Kita kumpulkan uang dari rumah ke rumah, dari tempat kerja ke tempat kerja, dan menciptakan pelayanan yang lebih bersahabat. Kita membantu mereka untuk mengembangkan usaha produktif, bukan mengejar keuntungan yang besar,” katanya.

Pola pendapatan orang-orang miskin ini tidak tetap setiap bulan. Karenanya dalam pengembalian pinjaman, kita merancang program agar pengembalian pinjaman disesuaikan dengan waktu mereka memperoleh pendapatan. Katakanlah para petani baru akan mengembalikan pinjaman mereka pada saat musim panen.

Kelompok yang paling rentan (vulnerable) dalam masyarakat Asia adalah perempuan. Mereka dibuat seakan tidak punya hak untuk berpendapat. Mereka bergantung pada pendapatan suami. Mereka berdiri di belakang. “Mereka tidak mendapatkan penghormatan baik pada tingkat keluarga, komunitas dan masyarakat. Akan berbeda halnya dengan perempuan yang bekerja, yang punya penghasilan mereka mendapatkan penghargaan dari keluarga, dari komunitas, dan masyarakat mereka,” katanya.

Koperasi kredit harus menolong mereka. Kita kembangkan program WECUMI (Women Credit Union Microfinance Inovation), sebuah program yang secara khusus memberi pinjaman kepada kelompok perempuan untuk membangun usaha ekonomi. Program ini akan memberikan pinjaman produktif kepada kelompok perempuan. “Kita mau menolong perempuan untuk ikut membangun ekonomi keluarga, sekaligus membangun rasa banga (pride) di dalam keluarga, komunitas, dan masyarakat,” ujarnya.

Dia bilang, di Asia ada perbedaan perlakuan terhadap perempuan yang bekerja dan menghasilkan uang untuk ekonomi keluarga daripada perempuan yang tidak memberikan penghasilan ekonomi.

“Kalau mereka sudah punya pendapatan, mereka akan dapat penghargaan dari komunitas dan keluarga mereka. Mereka juga bisa bersuara di level komunitas, keluarga dan masyarakat. Kita bisa lihat ada perbedaan penghargaan terhadap perempuan yang bekerja dan menghasilkan uang dalam keluarga mereka,” katanya.

Perempuan di pedesaan, misalnya, memiliki keahlian (skill) yang mereka peroleh secara turun temurun. Keterampilan dalam usaha tenun mereka peroleh dari generasi mereka sebelumnya. “Mereka punya skill product”. Tetapi yang tidak mereka punya adalah skill dalam berbisnis. Mereka tidak punya informasi mengenai pasar (market demand).

“Keahlian untuk berbisnis (skill trading) tidak mereka miliki. Di sini koperasi bisa membantu mencari informasi dan memberikan informasi kepada pasar (market) mengenai usaha dari anggota koperasi melalui jasa internet atau show room di kantor koperasi,” katanya.

Dia contohkan, perempuan terampil buat tas tangan, selendang, dan kain dan baju. Tetapi mereka tidak mengerti mengenai mode, yang dibuat berdasarkan selera pasar. Tugas koperasi kredit adalah membantu mereka mendapatkan bantuan untuk merancang sesuai dengan kebutuhan pasar. “Apa yang dituntut pasar, itulah yang mereka harus produksi. Kualitasnya yang perlu diperbaiki dan diberi sentuhan teknologi sesuai dengan mode,” ujarnya.

Kesulitan yang kerapkali mereka jumpai adalah jaringan pasar. Kopdit membantu menyediakan informasi pasar dan promosi.

Pembicaraan kami terhenti karena dia hendak masuk ke sesi setelah makan siang untuk topik yang sama: program microfinance. Semangat kembali ke titik awal ini dengan rancangan Program Microfinance yang difokuskan pada pemberdayaan perempuan telah membersitkan sebuah harapan: semoga perempuan bisa bersuara.*

Tidak ada komentar: