19 Juli 2007
Mengendarai Perubahan
Oleh Frans Obon
Jenazah uskup pertama Keuskupan Larantuka, Mgr Gabriel Manek SVD (1951-1962) telah dibawa kembali ke Larantuka dari Techny Illinois Amerika Serikat. Meski sudah meninggal 17 tahun lalu, jenazahnya masih utuh. Tentu saja dari kaca mata iman, dia sungguh menjadi orang pilihan Tuhan, yang dengan kemampuan, kecakapan, keteguhan imannya, ketabahan dan kesabarannya menggembalakan kawanannya dan membawa mereka ke visi gereja masa depan. Dia merasakan semua duka dan derita, kecemasan, dan harapan umatnya meski oleh karena cintanya itu dia menjadi abdi Tuhan yang terluka. Kini dia terbaring dengan tenang di tengah-tengah kawanan yang dia bimbing dengan setia dan orang-orang yang mencintainya di Lebao, biara pusat Tarekat Putri Reinha Rosari (PRR). Dia tentu bangga dengan tarekat yang dia dirikan 15 Agustus 1958 itu karena sebagai pekerja kebun yang setia dia telah menuai buah dari apa yang dia tanam.
Dia tahu dan sadar bahwa membawa gereja ke masa depan, beralih dari gereja yang menerima (tanah misi) menjadi gereja mandiri dan bahkan kemudian mengambil bagian dalam tugas misi gereja universal, bukanlah tugas yang ringan. Tetapi dia juga sadar bahwa dia hanyalah salah satu dari sekian banyak tukang yang meletakkan batu di atas batu lainnya dalam membangun umat Allah agar mereka berjalan dalam Roh Kebenaran dan Roh Kemerdekaan. Kekayaan rohani yang dimiliknya dan devosinya kepada Bunda Maria membawa dia untuk menyerahkan seluruh umatnya di bawah perlindungan Maria. “Maria Protegente,” itulah moto tahbisan uskupnya.
Pilihan itu seakan meneguhkan kembali tradisi religius yang telah berurat akar di Tana Nagi bahwa Kerajaan Larantuka dan seluruh rakyatnya telah diserahkan di bawah perlindungan Bunda Maria.
Angin Perubahan
Jika kita melihat konteks karya pada masa kepemimpinannya, terdapat dua arus besar yang harus dia sikapi. Di satu sisi, ada arus perubahan dalam dunia modern yang hendak ditanggapi Gereja universal, yang memuncak pada Konsili Vatikan II, dan arus balik dari gereja yang menerima menjadi gereja yang mandiri dan bahkan dalam visi jauh ke depan menjadi gereja yang aktif mengambil bagian dalam karya misi sejagat. Ini artinya dia sebagai gembala agung jiwa-jiwa, harus berusaha dan berjuang mengarahkan perubahan itu dan menyiasatinya seturut konteks lokal, atau dalam bahasa keren sekarang ini think globally, act locally (berpikir global, bertindak lokal). Ini tidak lain adalah cara pandang yang coba menarik makna dari perubahan global untuk diimplementasikannya secara lokal demi kemajuan harkat dan martabat manusia yang dia layani.
Masa Uskup Manek adalah sebuah era di mana angin perubahan tengah berembus deras di dalam Gereja Katolik universal. Gereja Katolik membuka lebar-lebar jendela dan pintunya agar angin segar perubahan masuk ke dalam kehidupan Gereja, sehingga Gereja tidak menjadi asing dengan perubahan, sebaliknya memberi arah pada perubahan itu.
Di sini terdapat keinginan kuat di dalam Gereja Katolik untuk membarui diri, memperlengkapi dirinya dengan kemampuan dan daya membaca tanda-tanda zaman sehingga Gereja mengendarai perubahan, bukan melawan perubahan, menghindarinya, lalu menutup diri.
Gereja mulai mendefinisikan dirinya secara baru dalam hubungan dengan tata dunia, dalam hubungan dengan agama-agama, dan yang paling penting adalah membuka diri terhadap perubahan zaman, menyesuaikan diri dan menggunakan semua sarana-sarana dan alat-alat yang merupakan pencapaian akal budi manusia untuk memberitakan kabar baik.
Gereja yang terkenal dengan organisasinya yang rapi memahami dirinya tidak lagi dalam konteks hirarki yang kaku, melainkan sebuah communio, persekutuan umat beriman yang mengelilingi meja perjamuan Tuhan untuk merefleksikan SabdaNya dan menimba dari kekayaan yang sama untuk dibawa ke dalam diri, keluarga, dan masyarakat.
Dengan demikian, Uskup adalah seorang gembala yang dengan tongkat kegembalaannya menuntun domba-dombanya ke padang yang subur nan hijau dan ke sumber-sumber air yang menyegarkan.
Dalam konteks lokal, angin perubahan itu juga menuntut Gereja lokal mengubah reksa pastoralnya agar menjawabi masalah zaman. Seperti dikatakan oleh dokumen Konsili Vatikan II tentang Para Uskup, Christus Dominus (CD No. 13), “Ajaran kristen hendaknya mereka (baca: uskup) sajikan atas cara yang sesuai dengan kebutuhan zaman, yakni yang menjawab kesulitan dan masalah-masalah, yang sangat menekan dan menggelisahkan umat manusia. Ajaran itu pula harus mereka lindungi dan hendaknya mereka mengajar orang beriman untuk melindungi dan menyebarluaskannya.”.
Dalam nafas yang sama dengan Gereja universal, dalam Gereja lokal visi baru menggereja ini diejawantahkan sedapat mungkin. Seluruh perspektif menggereja di Flores dan Lembata pun dituntut berubah sesuai dengan semangat Konsili Vatikan II. Tantangannya adalah bagaimana Gereja muda ini menghidupi dirinya sendiri, memimpin diri sendiri, menghasilkan buah iman dan memberikan sumbangan bagi Gereja universal.
Tentu bukan hal mudah di saat-saat peralihan seperti ini. Ada tarik menarik kepentingan, ada yang ingin beralih (passing over), tetapi ada yang sukar beralih. Ada pertarungan dan dalam pertarungan kepentingan, selalu ada dua sisi, the winners and the loosers.
Konsili Vatikan II (1965) memahkotai dan memberi bingkai pada angin perubahan ini sehingga Gereja berjalan dalam koridor tradisi yang selalu terbarui. Gereja lokal pun memperlihatkan perkembangan yang menggembirakan dan makin dinamis.
Iman dalam Kehidupan Publik
Pembaruan diri terus menerus adalah semangat dari Konsili Vatikan II. Gereja pun memahami dirinya sebagai Gereja yang selalu membarui diri (ecclessia semper reformanda). Gereja tidak pernah menutup kembali pintu dan jendelanya, sehingga angin perubahan tak pernah berhenti berembus ke dalam kehidupan Gereja.Dengan itu berarti, lain masa, lain pula masalahnya dan lain pula tanggapannya. Masa Uskup Manek berbeda dengan masa kini, dan menuntut jawaban yang berbeda pula. Tetapi semangatnya tetap satu: memberi jawaban pada masalah manusia zaman modern ini. Bagaimana iman menjadi nyata dalam kehidupan publik.
Dewasa ini Gereja berhadapan dengan angin perubahan sekularisasi yang berusaha mengeluarkan Allah dari kehidupan publik. Allah yang berseru di dalam hati kita tidak lagi dirasakan di dalam kehidupan publik kita. Dengan kata lain, iman tidak lagi menjadi ragi yang membuat roti kehidupan kita menjadi enak. Garam tidak lagi kita temukan sehingga kehidupan kita menjadi tawar.
Ada kekeliruan antropologis sekarang dalam memandang otonomi manusia. Krisis antropologis inilah yang menjadi akar dari krisis manusia masa modern. Sekularisasi adalah penegasan dari otonomi manusia, tetapi tidak berarti memotong dimensi transendensinya. Sebab pribadi manusia tidak dapat dimengerti tanpa keterbukaannya pada hal-hal transenden. Semestinya ada keseimbangan antara yang natural dan supernatural, antara kekuasaan politik dan kekuasaan spiritual. Ada koherensi dengan “memberikan kepada Kaisar apa yang menjadi hak kaisar, dan kepada Allah apa yang menjadi hak Allah”.
Hal-hal demikian juga sangat konkret kita alami di Flores dan Lembata. Penghayatan keagamaan kita sebatas perayaan. Ekaristi tidak menjadi daging dalam kehidupan nyata. Ada disparitas yang luar biasa besarnya antara perayaan dan penghayatan. Lugas kita katakan, iman tidak lagi menjiwai kehidupan bersama kita. Kita dalam pengelolaan politik, misalnya, tidak lagi dibimbing oleh prinsip-prinsip moral objektif.
Inilah tantangan baru untuk reksa pastoral ke depan. Bagaimana Gereja lokal baik hirarki maupun awam Katolik mempersembahkan Injil kepada manusia, pria dan perempuan zaman ini, pengertian dan orientasi dari eksistensi manusia secara utuh, sehingga gereja memiliki peran yang mengarahkan dan melaksanakan kekuasaan dengan efektif dalam perjalanan bangsa menuju masa depan. Bagaimana kehadirannya dirasakan. Bagaimana umat mendengar suara penuh wibawa soal iman dan moral, yang bisa menggugah dan menggerakkan hati manusia, pria dan perempuan.
Sesuai dengan wewenangnya, uskup adalah pengajar iman dan moral yang harus ditaati dengan ketaatan hati beragama. Lumen Gentium (No. 25) mengatakan, “Antara tugas-tugas utama Uskup, pewartawan Injil menonjol. Karena Uskup adalah bentara iman, yang mengantar murid-murid baru kepada Kristus. Merekalah guru otentik atau yang dilengkapi dengan wewenang Kristus, yang mewartakan kepada umat yang diserahkan kepadanya, iman yang harus dipercaya dan yang harus diterapkan dalam perilaku”.
Ini berarti seorang uskup sebagai gembala agung jiwa-jiwa mempersembahkan Injil kepada kawanannya, meyakinkan pria dan perempuan zaman ini agar memiliki iman yang timbul dari pengajaran dan menghayatinya dalam perilaku.
“Para beriman harus mengikuti paham uskupnya mengenai iman dan susila yang diajukan atas nama Kristus, dan menganutinya dengan ketaatan hati yang beragama” (LG 25). Tugas ini tidak mudah. Seperti telah dikatakan sebelumnya, manusia zaman ini telah memotong dimensi transendensi dari manusia dan mereduksi eksistensinya. Manusia telah jatuh ke dalam perangkap sekularisme yang mengeluarkan iman dari kehidupan publik.
“Memberikan kepada kaisar apa yang menjadi hak kaisar dan kepada Allah yang menjadi hak Allah” (Mat 22:21) adalah tidak lain dari tanggung jawab sipil dan tanggung jawab politik orang Katolik. Tugas uskup adalah membawa Injil ke dalam kesadaran manusia zaman ini agar hati dan budinya diterangi agar sanggup mengemban tanggung jawab ini.
Kewajiban dasar orang Kristen dalam ruang publik politik lokal ke depan adalah membangun masyarakat adil dan kewajiban para awam Katolik untuk mendedikasikan diri mereka dengan kebenaran, diterangi oleh iman dan ajaran Magisterium Gereja dan dijiwai oleh cinta Kristus untuk membangun budaya adil, jujur, jernih hati, dan demokratis.
Di sini awam Katolik harus didorong untuk memberikan kesaksian tentang kekayaan iman dan moral Katolik dalam ruang publik. Semangat ini tidak dimengerti dalam arti semangat membangun sarana ibadah, memperbanyak doa dan tapa, tetapi bagaimana nilai-nilai kekristenan menjiwai derap pembangunan di sini. Flores dan Lembata harus menjadi tanah yang memberikan kesaksian mengenai iman yang nyata dalam perbuatan. Iman yang memberi inspirasi dalam melayani kepentingan publik. Bagaimana tanah Flores dan Lembata menjadi tanah yang subur bagi kepekaan moral dari anak-anak kita. Biarkanlah anak-anak kita diingatkan, “Jangan sampai uang yang saya gunakan ini hasil dari korupsi babe”.
Uskup dalam tugasnya mewartakan Sabda Allah hendaknya terus menerus menyuarakan hal ini untuk mengingatkan kita agar kita berusaha dengan sekuat tenaga memenuhi kewajiban kita. Iman dan moral menjadi nyata dalam kehidupan publik menjadi tugas mahaberat kita ke depan. Wibawa iman dan moral dari Magisterium Gereja akan dapat membantu dalam usaha menjadikan iman nyata dalam kehidupan publik. Biarkan tingkat kegembalaan menuntun kita dalam roh kebenaran dan kemerdekaan.
Artikl ini dimuat pada Flores Pos, 3 Mei 2007
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar