08 Juli 2007

Mencari Rakyat dalam APBD

Para pembicara dalam diskusi ini adalah (dari kiri ke kanan) Alfons Devi Gadi Djou, P Paul Budi Kleden SVD, Willy Lanamana (moderator), Bernadus Guru, dan Frans Badhe.

Oleh FRANS OBON

KITA mungkin akan dengan mudah menemukan kata rakyat dalam pidato. Dalam seminar. Dalam kertas kerja. Politik, apalagi. Namun alangkah sukarnya kita menemukan kata itu dalam angka-angka anggaran pendapatan dan belanja daerah.
Fakultas Ekonomi Universitas Flores ingin memecahkan persoalan ini dalam sebuah diskusi, 22 Februari lalu. Temanya “Fenomena Pengelolaan APBD yang Berpihak kepada Rakyat”. Diskusi ini berlangsung sehari dengan tiga pembicara Bernadus Guru (Asisten III Kabupaten Ende), Paul Budi Kleden (STFK Ledalero), Josef Alfons Gadi Djou (Uniflor), dan Frans Badhe (Uniflor).
Mudahnya, diskusi ini ingin mendapatkan gambaran berapa besar alokasi anggaran dalam APBD untuk kepentingan publik dan berapa untuk kepentingan aparatur.
Peserta mungkin kecewa karena harapan itu tidak terpenuhi. Bernadus Guru, asisten III Kabupaten Ende tidak menyajikan data-data alokasi anggaran publik dan aparatur dalam APBD Kabupaten Ende. Minimal APBD 2007. Padahal peserta ingin mendapatkan gambaran komposisi anggaran APBD 2007 sebagai contoh konkret untuk melihat apakah porsi anggaran APBD sebagian besar bagi kepentingan publik atau sebaliknya lebih kecil dibanding anggaran untuk membiayai aparatur negara.
Guru mengaku sudah 18 tahun terlibat dalam pembahasan APBD. Tetapi dia menghindari pembahasan yang lebih rinci komposisi anggaran, dan lebih memilih menyajikkannya secara normatif hanya dengan membahas prosedur pembahasan APBD beserta regulasi yang mengaturnya.
Makalahnya setebal satu halaman, berjudul “Fenomena Pengelolaan APBD yang Berpihak Kepada Rakyat” berisi siklus pembahasan APBD mulai dari perencanaan yang mengacu pada sederetan undang-undang dan peraturan pemerintah, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban dan pengawasan.
Alfons Josef Gadi Djou – biasa dipanggil Devi – juga berbicara mengenai prinsip-prinsip umum pengelolaan APBD. Makalah yang dibawakannya merupakan ringkasan dari tesis masternya di Universitas Gajah Mada. Dia menyesuaikannya saja dan mengambil tema “Belanja APBD yang Berpihak kepada Rakyat”.
Dia mengatakan, sumber pendapatan dalam APBD (2003) berasal dari pemerintah provinsi dan pemerintah pusat. Sedangkan sumbangan pendapatan asli daerah hanya 3 persen. Sehingga 97 persen anggaran pemerintah daerah diperoleh dari dana alokasi umum dan dana alokasi khusus.
Dia menyoroti prioritas pemanfaatan anggaran pendapatan dan belanja daerah. Efektivitas dan efisiensi serta dampak penggunaan anggaran bagi kesejahteraan rakyat tergantung pada prioritas yang diberikan pemerintah daerah. “Karena alokasi yang tepat dan baik akan mencerminkan arah pembangunan daerah”.
Ada lima prinsip dalam menentukan prioritas. Dia sebutkan (1) tingkat pentingnya pencapaian tujuan; (2) risiko atau biaya dan manfaat yang timbul; (3) kapasitas sumber daya organisasi; (4) kendala-kendala yang mungkin dihadapi; dan (5) dampak akhir dari setiap strategi.
Moderator Willy Lanamana – dosen Fakultas Ekonomi Universitas Flores – membiarkan begitu saja pembicara menyampaikan prinsip-prinsip umum pengelolaan ABPD. Dia tidak berusaha mengarahkan pembicara untuk menyentuh langsung pada APBD Kabupaten Ende.
Di deretan peserta ada Ketua Bappeda Anton Se, Pemimpin Redaksi Flores Pos dan Mingguan Dian Frans Anggal, Ketua Partai Golkar Ende Marsel Petu, Koordinator Universitas Terbuka di Ende Irama Pelaseke, dosen-dosen Uniflor dari berbagai fakultas, dan undangan lainnya.
Gelapnya hutan belantara masalah APBD ini membuat peserta bikin gaduh. “Saya tidak bisa membuat perinciannya,” kata Guru.
Dalam sesi dialog, peserta meminta Guru memberikan contoh konkret alokasi anggaran pendapatan dan belaja daerah Kabupaten Ende. Guru lalu menyebut angka-angkanya.
Tahun 2005 sebesar Rp211 miliar, naik menjadi Rp310 miliar pada tahun 2006, dan Rp385 miliar pada tahun 2007. Tetapi 94,50 persen APBD Ende ditopang dana pemerintah Pusat, sedangkan pendapatan daerah hanya menyumbang 5,50 persen atau ditargetkan Rp13 miliar tahun 2007. “Besar sekali ketergantungan kita pada pemerintah pusat,” kata Guru.
Dari total APBD 2007 sebesar Rp385 miliar, biaya aparatur yang jumlahnya 6.272 orang sebesar Rp273 miliar lebih dan belanja publik sebesar Rp163 miliar lebih. Belanja publik ini dibagi lagi, belanja modal dan belanja barang dan jasa. Belanja modal adalah dana-dana proyek pemerintah, sedangkan belanja barang adalah belanja alat tulis kantor, dan biaya perjalanan dinas pejabat dikategorikan sebagai jasa.
Guru juga membuat peserta kaget. Ternyata, pendapatan asli daerah terbesar ditopang orang sakit. Dari target Rp13 miliar, rumah sakit umum daerah Ende menyumbang Rp4,8 miliar, sedangkan sumber pendapatan lainnya di bawah Rp1 miliar.
Hal ini kemudian memicu diskusi makin tidak terarah. Diskusi membias ke persoalan korupsi, mencari sumber-sumber pendapatan lain di luar rumah sakit. “Jangan hanya mendiskusikan penggunaan APBD, melainkan bahas juga soal pendapatan daerah. Karena pendapatan daerah erat kaitannya dengan pengelolaan APBD,” kata Anton Se, kepala Bappeda.
Panitia lalu bilang topik pencarian pendapatan alternatif di luar rumah sakit akan dibahas pada kesempatan lain.

DISKUSI ini berbicara juga mengenai partisipasi masyarakat dalam membahas APBD. Frans Badhe, dosen Fakultas Hukum (sekarang dia menjabat Pembantu Rektor II) membahas topik “Partisipasi Masyarakat dalam Membuat Perda APBD”.
Selain mengupas acuan hukum dari proses penyusunan APBD, Badhe mengkritik penyusunan APBD Kabupaten Ende yang dinilainya tidak transparan dan terbuka kepada masyarakat luas.
“Cenderung elitis, pembahasan di DPRD tertutup, sehingga keputusan yang dihasilkan juga elitis,” kata Badhe. Karena sifatnya elitis, APBD tidak menyentuh persoalan dan kebutuhan dasar masyarakat sehingga anggaran APBD tidak membawa perubahan bagi kehidupan rakyat.
“Harus diumumkan secara terbuka terkait penyusunan APBD, dalam pembahasannya di DPRD. Yang terjadi sekarang, pembahasan APBD bersifat elitis, hanya diketahui pemerintah daerah dan DPRD”.
Selama ini, kata Badhe, partisipasi masyarakat hampir tidak ada. Adanya produk hukum yang tidak responsif ini berakar pada ketidakterbukaan pemerintah. Padahal ada ruang untuk partisipasi itu.
Kepala Bappeda Anton Se yang duduk di antara 100-an peserta menolak tudingan bahwa penyusunan APBD tidak melibatkan masyarakat dan elitis. Dia mengatakan, pemerintah sudah menyediakan wadah partisipasi itu mulai dari tingkat desa hingga kabupaten. Wadah itu dinamakan musyawarah perencanaan pembangunan desa/lurah (musrenbangdes/musbanglur), di tingkat kecamatan disebut musrenbangcam, dan di tingkat kabupaten musrenbangkab. “Hanya saja waktu dosen-dosen Uniflor diundang, Anda tidak pernah datang”.

TEMA ini disoroti pula dari sudut etika. Paul Budi Kleden, dosen Sekolah Tinggi Filsafat Katolik (STFK) Ledalero mengatakan, APBD mencerminkan visi dan misi kabupaten, termasuk kebijakan yang diambil oleh bupati dan wakil bupati.
Dia melihat peluang otonomi daerah kurang dimanfaatkan pemerintah daerah untuk mendorong masyarakat menghidupkan lagi potensi lokal yang tersedia. Pemerintah yang baik harus bisa mendorong masyarakat otonom dalam tatanan ekonomi politik. Rakyat tidak boleh menjadi pengemis, menadahkan tangan menunggu bantuan orang lain. “Yang penting adalah otonomi pengelolaan APBD dan otonomi warga masyarakat”.
Dia menjelaskan otonomi pengelolaan APBD sebagai konsistensi menjalankan kewajiban publik. Seorang pemimpin menjadikan tanggung jawab publik sebagai hukum pribadi, bukan sebaliknya hukum pribadi menjadi hukum publik. “Kalau tidak, ini akan sangat feodal”.
Demikian pula dengan sikap dan perilaku anggota DPRD sebagai penjaga kepentingan publik. Mereka perlu membebaskan dirinya dari relasi bisnis dan keluarga yang mempengaruhi fungsi pengawasan.
Dia mengusulkan APBD memprioritaskan bidang pendidikan, pertanian dan perikanan, kesehatan, dan gender budget. Dia menempatkan pendidikan pada urutan pertama mengingat Nusa Tenggara Timur umumnya minim sumber daya alam. Jika sumber daya alam terbatas ini dikelola sumber daya manusia yang juga terbatas, maka NTT tetap saja berkubang dalam kemiskinan.
Dia menekankan pendidikan etika (bukan etika pergaulan), terutama etika bisnis dan etika lingkungan. Menurut dia, etika bisnis itu penting karena etika bisnis menekankan kejujuran. Kejujuran tidak kontras dengan bisnis.
“Petani mengeluh karena orang-orang di Surabaya sudah tidak mau membeli komoditas di Flores karena telah terjadi kecurangan. Label nama Flores jadi rusak,” katanya. *

Tidak ada komentar: