Oleh FRANS OBON
Bagi
Gereja Katolik, telah menjadi proposisi dan prinsip dasar bahwa keterlibatan
umat Katolik dalam kehidupan politik adalah sebuah panggilan keniscayaan dari
keimanan mereka. Orang-orang Katolik dipanggil agar mengambil bagian aktif di
dalam politik untuk menentukan mengarahkan dan membarui kehidupan bersama
sebagai bangsa dan negara ke arah kebaikan bersama. Dengan demikian
keterlibatan di dalam politik tersebut dipandang sebagai panggilan, yang harus
dipertanggungjawabkan di hadapan Allah.
Oleh
karena itu pula Pemilu sebagai jalan demokrasi untuk penyelenggaraan kehidupan
bersama perlu dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya dan
lembaga-lembaga demokrasi hasil Pemilu tersebut diisi oleh orang-orang yang
dinilai jujur, bersih, adil, mumpuni, dan mengutamakan kepentingan umum
daripada kepentingan pribadi.
Kebetulan
atau tidak, persiapan Pemilu Legislatif pada 9 April 2014, bertepatan dengan
masa prapaska atau masa puasa bagi umat Katolik. Di dalam konteks Pemilu
sebagai jalan demokrasi untuk pembaruan kehidupan bersama kita sebagai bangsa
dan negara, maka tepatlah jika para Uskup sebagai gembala umat merefleksikan
keterlibatan umat Katolik dalam kehidupan politik ini di dalam konteks
pembaruan pribadi dan pembaruan sosial sebagai buah dari pertobatan. Hal itu
tercermin di dalam surat Gembala Uskup Ruteng Mgr Hubert Leteng (Flores
Pos, 7 Maret 2014 dan Surat Gembala Uskup Agung Ende, Mgr Vincentius Sensi
Potokota (Flores Pos, 8 Maret 2014)
dan menjadi sikap dasar Gereja Katolik pada umumnya agar keterlibatan umat
Katolik di dalam politik lokal dan nasional harus membawa pembaruan bagi
kehidupan bersama kita. Bahwa pertobatan pribadi kita haruslah tampak dalam
usaha kita yang tidak ada henti-hentinya bagi pembaruan kehidupan sosial kita. Dengan
demikian, lembaga legislatif kita mulai dari daerah hingga nasional diisi oleh
orang-orang yang bisa membawa pembaruan bagi kehidupan bersama kita.
Di
dalam konteks pertobatan dan pembaruan diri dan pembaruan sosial tersebut,
sumber kekuatan utama bagi orang-orang Katolik hendaknya mengalir dari
pengalaman akan Yesus Kristus yang tersalib, yang rela mengosongkan dan
menghampakan diriNya. Maka tepatlah apa yang dikatakan Uskup Agung Ende, Mgr
Vincentius Sensi Potokota bahwa kendati
Prapaska atau puasa dan politik adalah dua hal berbeda, namun bagi orang
Katolik keduanya tidak bisa dipisahkan. Dunai politik harus menjadi “medan
perwujudan tindakan-tindakan yang mengalir dari renungan dan penghayatan spiritualitas sengsara dan wafat Kristus,
sehingga hidup berimannya menjadi konkret. Di sisi lain, spiritualitas sengsara
dan wafat Kristus menawarkan cara pandang dan penghayatan hidup tertentu bagi
dunia politik sehingga perjuangan politik orang Kristiani disinari dan diresapi
oleh spiritualitas sengsara dan wafat Kristus itu”.
Spiritualitas
politik yang bersumber pada sengsara dan wafat Kristus itu mengharuskan
politisi-politisi Katolik untuk mematikan kepentingan diri sendiri dan
mengarahkan seluruh energinya pada kebaikan dan kepentingan umum. Spiritualitas
politik yang bersumber pada sangsara dan wafat Kristus itu melahirkan askese
politik yang akan membawa politisi Katolik untuk mengutamakan kebaikan umum
daripada kebaikan pribadi dan kelompok. Tanpa spiritualitas seperti ini politik
akan dengan diselewengkan. Politik harus memiliki dimensi kerohanian seperti
ini agar kita bisa menggapai kembali sisi utama dari tujuan asali politik yakni
kepentingan dan kebaikan bersama. Tanpa spiritualitas demikian, seluruh aksi
politik akan lebih diwarnai siapa mendapatkan apa dengan menggunakan segala
cara.
Jika
kita memahami politik sebagai panggilan dan aktivitas politik kita didasarkan
pada spiritualitas salib, maka kita akan dengan mudah memahami seluruh kriteria
yang ditetapkan dalam Surat Gembala itu dalam menentukan pilihan kita. Intinya
adalah lembaga demokrasi kita haruslah diisi oleh figur-figur yang melihat
politik sebagai panggilan dan menghayati politik dalam spiritualitas salib.
Bentara, 11 Maret 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar