Oleh FRANS OBON
Tahun 2014 dibaptis oleh
sejumlah kalangan sebagai tahun politik. Penamaan itu merujuk pada dua
peristiwa penting dalam kehidupan bangsa Indonesia yakni Pemilihan Legislatif
dan Pemilu Presiden. Dengan demikian dalam dua bulan terakhir sebelum Pemilu
Legislatif pada 9 April 2014, aktivitas politik para calon anggota legislatif
meningkat. Safari politik dari kampung ke kampung makin gencar dan serentak
pula aktivitas politik makin memperlihatkan citra politik sebagai “sebuah
berkah” musiman.
Di tengah hiruk pikuk
politik itu, kita mendapatkan fenomena baru di dalam praktik politik kita yakni
klaim-mengklaim program yang diturunkan ke masyarakat perdesaan. Hal ini
dilakukan baik oleh calon anggota legislatif daerah maupun calon
legislatif di Senayan. Salah satu contoh
yang dapat kita sebutkan adalah Program Pembangunan Infrastruktur Perdesaan
(PPIP). Disebutkan bahwa ada calon anggota legislatif tertentu mengklaim bahwa
program tersebut adalah hasil dari perjuangannya dan perjuangan partai tertentu
(Flores Pos, 3 Februari 2014 dan Flores Pos, 17 Januari 2014).
Menurut undang-undang,
DPR(D) memiliki tiga fungsi yani fungsi legislasi, fungsi budgeting (anggaran) dan fungsi pengawasan. DPR(D) memiliki fungsi
untuk menyusun undang-undang baik berdasarkan inisiatifnya sendiri maupun
undang-undang yang diajukan oleh pemerintah. Fungsi anggaran (budgeting) adalah peran DPR(D) untuk
membahas anggaran yang diajukan pemerintah terutama terkait dengan pembiayaan
program-program yang diajukan pemerintah. Kendati Dewan memiliki hak anggaran,
tetapi penggunaannya terbatas dalam pembahasan dan alokasi anggaran. Dewan
tidak memiliki kewenangan untuk mengelola program pemerintah, meskipun dalam
praktiknya hak anggaran Dewan ini diselewengkan oleh segelintir orang dengan
ikut campur tangan dalam pengelolaan proyek pemerintah. Sedangkan fungsi
pengawasan adalah peran DPR(D) untuk mengawasi pelaksanaan program pemerintah
dan melakukan check and ballaces terhadap
penggunaan kekuasaan pemerintah.
Namun pengawasan terhadap
pembangunan, terutama program pemerintah bukanlah wewenang eksklusif Dewan.
Memang anggota Dewan adalah wakil rakyat yang berfungsi menyalurkan aspirasi
dan kehendak rakyat, tetapi tidak benar seluruh aspirasi masyarakat diambil
alih seluruhnya oleh Dewan dan masyarakat berpangku tangan. Masyarakat memiliki
hak konstitusional untuk terlibat di dalam pengawasan program dan pembangunan
yang diselenggarakan oleh pemerintah. Oleh karena itu undang-undang korupsi
misalnya memberi kesempatan kepada masyarakat untuk melaporkan bila memiliki data dan informasi
mengenai kasus-kasus korupsi.
Lalu, dari mana datangnya
klaim-mengklaim proyek pemerintah ini? Masalah ini muncul dari sikap masyarakat
sendiri. Masyarakat kita selalu bertanya: Anda telah buat apa untuk kami
(masyarakat)? Politisi kita agak kerepotan untuk meyakinkan masyarakat
pemilihnya jika dia menjelaskan mengenai posisi dan perannya dalam menjalankan
tiga fungsi tadi. Calon anggota legislatif kita akhirnya terjebak di dalam
kultur politik masyarakat seperti ini.
Kultur politik masyarakat
kita yang menuntut “angpao politik” tidak sepenuhnya disalahkan kepada rakyat. Fenomena
ini lahir juga dari sikap dan praktik politik kita. Banyak politisi kita berada
jauh dari keluh kesah rakyat. Oleh karena itu sikap masyarakat ini lahir dari
rasa dicurangi (feeling cheated),
yang pada akhirnya menimbulkan apatisme politik.
Tetapi kekecewaan ini
melahirkan hal lain yakni tidak hanya membutuhkan visi dan misi tetapi juga
menuntut gizi. Masyarakat kita tidak lagi percaya pada kata-kata tetapi
menuntut gizi yang tidak lain adalah uang. Mereka ingin dibayar tunai karena
setelah pemilu, wakil rakyat dan rakyat tidak tersambung lagi secara baik.
Namun kemudian masyarakat tidak sadar bahwa politisi selalu lebih pintar daripada
apa yang mereka pikirkan yakni memberi sedikit untuk mendapatkan lebih banyak (to give less to take more).
Di tengah gencarnya
kampanye anti politik uang, polanya lalu berubah. Rakyat menuntut program nyata
karena di sana rakyat bisa mendapatkan bagiannya, bukan saja kepentingan
masyarakat luas, tetapi mengambil bagian keuntungan di dalam pengelolaan
program pemerintah. Oleh karena itu klaim-mengklaim ini bukan saja ciptaan
politisi, tetapi juga rakyat mengambil bagian di dalamnya.
Bentara, 4 Februari 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar